Cerita Pelecehan di Industri Kreatif: Dari Pekerja Film, Penyunting  Buku Sampai Penyanyi

Tidak ada jaminan sosial, kepastian karir dan jam kerja yang panjang adalah beberapa contoh masalah yang dihadapi para pekerja kreatif. Untuk perempuan pekerja kreatif, daftar itu bertambah dengan risiko mendapatkan pelecehan seksual

Salah seorang penulis dan penyunting lepas di Bandung, sebut saja namanya A, mengalami diskriminasi sebagai pekerja seni dan kreatif perempuan. 

Dia tidak mendapat kontrak kerja, jaminan sosial, kepastian karir hingga diupah murah. Lengkap sudah penderitaannya sebagai pekerja

Di pekerjaannya yang terakhir, anak sulung yang jadi tumpuan keluarga itu, diupah begitu minim. Dia yang awalnya meminta kepada klien agar diupah per jam, “mau tak mau” menerima tawaran pengupahan kliennya secara per halaman pengeditan. Alasannya, perusahaan klien kini tengah seret akibat pandemi. 

“Dia minta satu halaman itu Rp 40 ribu. Gue (harusnya) Rp 40 ribu itu per jam, Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Kalau per jam harusnya kali dua (halaman), sekitar Rp 100 ribu. Satu setengah bulan kerja (cuma) dibayar Rp 1,4 juta, salah satu kendalanya feedback-nya lama,” ujar Musisi, Rara Sekar, menyampaikan wawancara A dalam risetnya bersama tim bertajuk Flexploitation (2020) secara daring, Senin (8/11/2021).     

Tidak hanya memangkas upah, klien A juga tak jarang ‘suka-suka sendiri’ dalam memberikan perintah revisi. Semisal, sudah diberi tahu maksimal editing 3 kali, yang di luar itu ada tambahan biaya. Tapi, si klien selalu ada saja alasannya seperti pura-pura atau sengaja lupa. 

Rara melanjutkan, sebagai anak pertama, A juga harus menjadi tulang punggung keluarga. Meski kini, A belum berkeluarga, tapi dia mesti merawat orang tua yang tinggal sendiri, membayar uang asuransi kesehatan mereka hingga mendapatkan tekanan keluarga besar. 

“Gue juga belum tahu apakah bidang penulisan ini, yang sebenarnya sangat gue cintai dari kecil ini, bisa menopang hidup dan seterusnya. Gue jadi enggak yakin banget sekarang kalua ngeliat gambaran kayak gini. Dan itu makin jadi pembenaran buat keluarga besar nyokap (bilang)’ tuh kan, yang bener dikit dong nyari kerja,” kata A. 

Kondisi sulit juga dialami salah seorang ilustrator perempuan di Surabaya. Gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Surabaya sekitar Rp 2-2,5 juta, menjadikannya sampai terjerat pinjaman online (pinjol). Syukurlah, belakangan ini, dia berhasil keluar dari kondisi ‘tutup lubang, gali lubang’ pinjol. 

Meski begitu, perempuan yang juga tulang punggung keluarga ini, masih harus merawat suaminya yang koma dan kini harus menjalnai perawatan di rumah. Dia pun, masih harus pindah-pindah rumah karena kondisi keuangan yang minim. 

Kedua pekerja itu merupakan sebagian kecil dari responden riset Serikat Sindikasi pada 2020 yang dilakukan oleh Rara Sekar dan tim Sindikasi. 

Penelitian itu mencatat, rata-rata pekerja industri kreatif terlebih perempuan di tiga kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya) mendapatkan upah minim yaitu berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta sebulan Kondisi kerja serba fleksibel, juga menjadikan mereka mengalami kerentanan yang berdampak bagi kesehatan fisik dan mental.

“Resah, cemas, dan merasa terisolasi merupakan beberapa kondisi mental yang sering mereka alami akibat kondisi kerja di bawah flexploitation,” ujar Rara Sekar. 

Kondisi Flexploitation menurut musisi dengan karya ‘Hara’ ini mengacu pada pekerja di sektor industri kreatif yang konon bisa bekerja di manapun (fleksibel ruang) sekaligus kapanpun (fleksibel waktu). 

Namun faktanya, mereka terbelenggu dan harus menghadapi jam kerja yang panjang. Jam istirahat pun juga tidak ada batasan jelas, kapan kerja dan istirahatnya. 

“Sebuah kondisi (ilusi) fleksibel yang menyebabkan kerentanan pekerja di saat ini maupun di masa depan,” kata perempuan yang memiliki podcast bertajuk Benang Merah itu. 

Rentan Kekerasan Seksual

Perempuan juga rentan untuk jadi korban kekerasan seksual. Tak terkecuali para pekerja seni. Kartika Jahja, aktivis perempuan yang juga pegiat seni menceritakan rekannya bernama Tiara yang pernah mengalami pelecehan seksual oleh aktor senior perfilman. 

Kala itu, Tiara yang masih tergolong baru di industri perfilman, sempat diajak latihan dialog di ruang terpisah. Aktor senior itu kemudian meraba paha perempuan yang juga penyanyi itu. Tak cukup itu, dia juga pernah menarik pinggul dan punggung Tiara saat sesi foto. 

“Beberapa waktu kemudian, dia (Tiara) bikin threat. Ini jadi bola salju. Para pekerja film dan TV berbagi cerita serupa ke Tiara. Ada yang pelakunya sama, ada juga yang berbeda” kata Kartika di kesempatan sama. 

Kartika juga menyampaikan cerita penyanyi dangdut yang acapkali mendapatkan pelecehan dari penontonnya. Pernah suatu kali rekan penyanyi dangdutnya yang berinisial CH bilang, pelecehan yang dialami perempuan yang berprofesi seperti dirinya bahkan seolah dinormalkan, hanya dikarenakan laki-laki yang mendominasi pelaku, selama ini mempunyai peran dalam saweran. 

“Yang nanggep, yang nyawer, yang kasih kita uang kan laki-laki. (Seolah) Kita harus bisa membuat mereka senang, tidak cukup sekadar bernyanyi,” ujar Kartika menirukan ucapan CH. 

Penyanyi dangdut perempuan, kata dia, harus ‘tahan banting’ jika masih mau naik pentas. Di kalangan para penyanyi dangdut, bahkan senior akan mewariskan pemikiran tersebut kepada para yuniornya di panggung. 

“Panas hujan harus tetap goyang panggung. Kadang kita dipuja, kadang dihujat, kadang dibelai, kadang diludahi. Kalau tidak siap begitu, minggir. Yang mau menggantikan dia sudah antri,” ucap penyanyi dangdut lainnya, DH, yang diceritakan oleh Kartika. 

Maraknya kejadian kekerasan seksual di kalangan pekerja seni, kemudian mendorong Kartika, Hannah Ar Rasyid beserta rekan lainnya, menciptakan forum-forum support system di kalangan pekerja seni. Termasuk, para pekerja di belakang layar. 

“Yang di belakang layar ini, kalau kena kekerasan seksual bisa dengan mudah digantikan yang lain. Mulai dari sentuhan, rabaan, ciuman sampai pengambilan on screen yang lebih Ketika produser menggunakan profesinya untuk pemerasan seksual,” kata dia. 

Mendesaknya Jaminan Perlindungan 

Perempuan yang bekerja di sektor seni dan kreatif memang rentan mengalami berbagai tantangan berlapis karena gender dan kelas sosialnya. Kerentanan ini makin besar bagi perempuan seni dan kreatif yang bekerja di balik layar. 

“Sebab, pekerjaan di balik layar ini seringkali tidak tampak sehingga minim perlindungan atas berbagai risikonya. Risiko ini tidak hanya kepada fisik mereka, tapi juga mentalnya,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya. 

Menurut Ratri, dalam survei daring yang dilakukan Koalisi Seni pada Juli 2021 terhadap 202 pekerja seni perempuan, dari tujuh dimensi kerja yang diteliti, kondisi paling buruk ada pada dimensi intensitas kerja dan aspek kerja emosional. 

Survei juga menemukan lebih dari 50% responden bekerja tanpa kontrak tertulis, lebih dari 25% pernah mengalami kekerasan dalam setahun terakhir, lebih dari 80% tidak berserikat, hampir 70% tidak mendapatkan pembekalan untuk peningkatan kapasitas, dan 41% mendapat upah di bawah UMR. Meskipun demikian, hampir seluruh responden bekerja atas keinginan pribadi. Motivasi kerja tinggi yang tidak didukung kondisi kerja memadai bisa berdampak pada pemakluman hingga pelanggengan eksploitasi serta pensiun dini. 

Ratri melanjutkan, pelanggengan eksploitasi pekerja seni terjadi karena tiadanya ruang lingkup khusus dalam kebijakan Indonesia mengenai mereka dan haknya. Undang- Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan mengidentifikasi seniman sebagai “Sumber Daya Manusia Kebudayaan” namun belum spesifik mengatur perlindungan kerjanya.

Dalam UU Ekonomi Kreatif, jika seniman ingin dilindungi, ia harus menjelma jadi pihak lain dengan definisi dalam peraturan terkait, yang mungkin tak sepenuhnya mengakomodasi kekhasan bentuk dan cara kerjanya. 

Dalam hubungan kerja formal, pekerja seni dilindungi peraturan ketenagakerjaan yang bersifat umum. Sementara itu, kerja seni informal kerap luput dari perlindungan UU Ketenagakerjaan. Namun, perempuan harus menghadapi tantangan lebih besar lagi ketimbang kolega lelakinya, seperti kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. 

“Di dalam sistem kerja patriarkis, perlindungan hukum tidak memadai, dan ilusi akan fleksibilitas kerja seni dan kreatif, eksploitasi dilanggengkan,” kata Ratri. 

Pihaknya pun kemudian menyampaikan beberapa rekomendasi untuk jaminan perlindungan bagi pekerja seni dan kreatif, antaralain pemerintah perlu mencantumkan perlindungan terhadap hak-hak pekerja seni, termasuk mekanisme penanggulangan risiko kerja dalam peraturan turunan UU Pemajuan Kebudayaan dan UU Ekonomi Kreatif.

Perlu juga penguatan jaring pengaman untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan berbasis gender dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pelaksanaan dan pemantauan kebebasan berkesenian dengan fokus pada kekerasan berbasis gender dalam kerja seni juga perlu dilaksanakan. 

Lalupara pemberi kerja juga mesti membuat kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan di tempat kerja. Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja berdasarkan Surat Edaran Menteri SE.03/MEN/IV/2011 dapat menjadi panduan. Pedoman tersebut mencakup pembuatan standar prosedur penanganan serta mekanisme pemantauan dan pengaduan. 

Selain itu, perusahaan juga harus mengakui kerja emosional sebagai bentuk kerja berisiko dan menerapkan mekanisme penanggulangan seperti: memberi waktu istirahat cukup, merotasi staf untuk pekerjaan yang membutuhkan komunikasi intensif dengan publik, memberi durasi kerja tetap sesuai kesepakatan dua belah pihak dan menjamin biaya perawatan kesehatan mental pekerja. 

Perusahaan selanjutnya, juga perlu menciptakan tempat kerja lebih demokratis melalui: forum rutin sebagai wadah aspirasi pekerja, desentralisasi proses pengambilan keputusan dan bagi lembaga seni berbentuk perkumpulan, dapat merotasi pengawas, pengurus, dan staf harian secara berkala 

Pekerja seni juga perlu bergabung dalam serikat dan serikat pekerja seni dan kreatif juga sebaiknya memperkuat dan memperluas cakupannya.

Yang terakhir, lembaga pendonor perlu pula memantau praktik kerja penerima dana agar selalu bebas dari misogini, seksisme, dan transfobia, dan memberikan mekanisme penanggulangan implikasi kerja emosional.

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari “VOICE”)  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular