Dewi ‘Dee’ Lestari dan Buku “Rapijali”: Pertemukan Penulis dan Pembaca Lewat Digitribe

Cerita bersambung 'Rapijali' karya Dee atau Dewi Lestari diciptakan dari adanya interaksi antara penulis dan pembaca yang intens lewat sebuah forum digital yang menekankan peran penting pembaca dalam proses kreatif digitribe

Penulis kenamaan Dewi “Dee” Lestari akhirnya menamatkan cerita bersambung (cerbung) berjudul Rapijali yang merupakan karya terbarunya, pada 17 November lalu.

Serial ini berkisah tentang Ping, gadis asal Batu Karas, Pangandaran, Jawa Barat, yang mendadak harus pindah ke Jakarta dan terjun dalam petualangan yang tak pernah ia kira.

Terbit pertama kali 25 Januari 2021, novel Rapijali terdiri atas tiga seri dan ketiganya dilepas ke pasar dalam dua format, yaitu versi cerita bersambung (cerbung) digital dan buku fisik.

Wawancara yang saya lakukan dengan 15 anggota Digitribe Rapijali dan Dee menunjukkan bahwa yang menarik dari cerbung Rapijali ini adalah adanya interaksi antara penulis dan pembaca yang intens lewat sebuah forum digital yang menekankan peran penting pembaca dalam proses kreatif karya.

Fenomena ini meruntuhkan anggapan John Tulloch dan Henry Jenkins , ahli teori media dan budaya, yang meyakini bahwa pembaca tidak berdaya. Meski memiliki pengetahuan mendalam mengenai karya idola, para penggemar umumnya tak berdaya di depan kekuatan budaya dan ekonomi besar, seperti yang dimiliki penerbit buku dan organisasi media.

Peran penting Digitribe Rapijali

Penerbitan setiap seri Rapijali dilengkapi dengan forum komunikasi daring untuk para pembaca yang menyebut diri mereka Digitribe. Sebutan ini diciptakan pertama kali ketika Dee merilis novel Aroma Karsa (2018) yang juga memiliki format cerbung digital.

Sejak itu, pembaca cerbung digital karya Dee Lestari mengidentifikasi diri dengan nama Digitribe. Forum diskusi Rapijali 3 di aplikasi Discord berjumlah mencapai seribu orang Digitribe.

Keputusan untuk mendirikan forum digital merupakan inisiatif Dee sendiri.

“Ketika saya mengikuti dan menyukai sebuah serial, timbul keinginan alamiah untuk membahas, mendiskusikannya, dan mengobrolkan hal-hal seputar serial tersebut,” ujarnya dalam wawancara yang dilakukan via surel.

Forum ini akhirnya menjadi wadah berinteraksi dan berbagi perspektif mengenai jalan cerita novel.

Wawancara dengan 15 anggota Digitribe Rapijali menunjukkan bahwa forum memberikan tempat bagi pembaca untuk menyampaikan kesan dan perasaan sekaligus membandingkan interpretasi masing-masing tentang jalan cerita.

Lebih dari itu, saya melihat peran penting fans di balik proses kreatif Rapijali.

Sebagai contoh, sejumlah anggota Digitribe menyampaikan kritik keras ketika muncul gangguan teknis yang signifikan di platform penerbit cerbung Rapijali 1 dan 2.

Menyempitnya kesenjangan antara penggemar dan idola berkat adanya teknologi media, membuat Digitribe berkesempatan memberikan umpan balik tanpa tunda kepada penulis, produser, dan pengelola platform penerbit.

Reaksi itu kemudian dijadikan pertimbangan oleh Dee maupun Reza Gunawan (suami Dee sekaligus produser Rapijali) untuk mengganti platform penerbit cerbung digital di perilisan Rapijali 3.

Selain itu, forum tersebut juga melibatkan Digitribe dalam mendeteksi kekeliruan teknis dalam tulisan.

Di forum Discord, Reza yang juga moderator forum menyediakan “kamar” khusus untuk menampung semua kesalahan ketik atau tata bahasa, hingga kekeliruan waktu dan tempat yang ditemukan pembaca cerbung. Cerbungnya sendiri selalu dirilis ketika cerita utuhnya sudah tamat. Ketika forum Rapijali 3 berjalan, naskah bahkan sudah menjelang proses cetak. Namun, Dee menerima semua masukan itu untuk memperbaiki naskah digital maupun naskah buku fisik di cetakan berikutnya.

Contoh respons Dee Lestari terhadap masukan dari pembaca di forum diskusi Rapijali 3. (Dokumen pribadi penulis)

Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa pembaca adalah agen aktif dalam sebuah penerbitan karya.

Ini sekaligus mengkonfirmasi gagasan Henry Jenkins bahwa fans adalah pemain aktif dalam ‘budaya partisipatoris’ (participation culture).

Pada masa ketika teknologi memungkinkan berbagai fungsi media menyatu dalam satu perangkat tertentu (convergence culture), partisipasi penggemar terakselerasi ke level yang berbeda dari era sebelumnya.

Selain kritik dan masukan yang dapat langsung diarahkan ke sasaran, karya-karya kreatif penggemar juga dapat berkembang lebih luas dan lebih mudah diakses.

Apa selanjutnya?

Konsep budaya partisipatif menjelaskan bahwa fans semestinya dipahami lebih dari sekadar sekelompok fanatik dan militan yang menerima begitu saja karya idolanya tanpa banyak berpikir.

Loyalitas fans pun tidak selalu identik dengan gaya hidup konsumtif – meski transaksi ekonomi hampir tak bisa dihindari.

Faktanya, fans juga merupakan analis sekaligus kritikus atas teks yang mereka konsumsi. Mereka menggunakan karya idola mereka untuk terkoneksi dengan komunitas alternatif, bahkan menjadikannya strategi untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan pribadi.

Fan art Rapijali karya Carly, salah seorang Digitribe. Menurutnya, diskusi di forum Discord cukup memengaruhi interpretasi dan inspirasinya dalam membuat fan art. (Dokumen pribadi Carly)

Setidaknya, hal-hal itulah yang terlihat dari interaksi komunitas Digitribe Rapijali.

(Foto: Facebook Dewi Lestari)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Pratiwi Utami

PhD Candidate in Film, Media and Journalism, Monash University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!