Jadi Laki-Laki itu Berat: Gak Boleh Nangis, Mellow dan Ngeluh

Jadi laki-laki itu berat: dituntut untuk selalu kuat, gak boleh nangis, gak boleh mellow dan mengeluh. Kapan stereotype ini berakhir? Beratnya jadi laki-laki!

Apakah kalian pernah mendengar setidaknya satu dari ucapan-ucapan seperti ini? 

“Kamu anak laki, jatuh dikit aja kok nangis!”

“Kamu laki-laki, gitu aja kok ngeluh!”

“Laki-laki, diputusin pacar kok galau!”

“Laki-laki kok denger lagu mellow!”

“Jadi laki-laki tuh harus kuat!”

Ya, ucapan seperti ini sudah biasa kita dengarkan dalam kehidupan sosial bahkan mungkin setiap hari kita dengar. Ucapan ini ditujukan pada laki-laki supaya menjadi pribadi yang kuat, tangguh, pantang menyerah, calon pemimpin di berbagai bidang seperti pemimpin keluarga, pemimpin di lingkungan tempat tinggal, pemimpin di banyak tempat pokoknya!

Memang terkadang saya akui, kita sebagai laki-laki membutuhkan kata-kata penyemangat agar bisa menjalankan kehidupan. Kita sebagai laki-laki juga membutuhkan orang lain untuk menjadi support system agar bisa menjalankan kegiatan. Tetapi, apakah kami laki-laki harus selalu dituntut menjadi kuat?

Apakah kami laki-laki harus dituntut untuk selalu menjadi pemimpin di berbagai bidang? Apakah kami laki-laki harus dituntut untuk tidak menangis ketika kami merasakan kehilangan seseorang? Apakah kami laki-laki harus dituntut selalu menggunakan logika dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kami laki-laki harus selalu mengabaikan perasaan kami?

Apakah kami laki-laki  harus selalu mendengarkan lagu upbeat ketika dihadapkan dengan suatu masalah? Gak boleh dengar lagu dangdut? Apakah kami laki-laki wajib menjadi pengambil keputusan dalam suatu masalah? Apakah kami laki-laki harus dituntut menjadi dominan dalam segalah  hal? Apakah salah ketika kami laki-laki memilih untuk dipimpin daripada harus memimpin? Apakah salah ketika kami laki-laki tidak tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan sport?

Apakah salah jika laki-laki lebih tertarik fashion daripada otomotif? Apakah laki-laki harus selalu menjadi maskulin dalam bersikap dan berperilaku? Apakah laki-laki harus menyimpan masalahnya sendiri rapat-rapat? Apakah salah jika laki-laki juga peduli terhadap kesehatan kulitnya? Apakah salah jika laki-laki tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan? Banyak ya, pertanyaan dari kami laki-laki ini

Saya masih ingat ketika masih kecil, ketika ada suatu masalah atau sesuatu yang membuat hati tersentuh dan reflek diri aku jadi nangis. Seketika orang tua, terutama ayah, menegur aku dengan kata-kata “Jangan nangis! laki-laki kok nangis! Malu-maluin aja!”. 

Saya yang kala itu masih duduk di bangku SD selalu bertanya “memang kenapa kok anak laki-laki nggak boleh nangis? Apa anak laki-laki lain nggak pernah ngerasain sakit, ya?”. Pertanyaan semacam itu yang kemudian menghantui saya selama masa anak-anak hingga remaja.

Selain tidak diperbolehkan untuk menangis, laki-laki juga sering diajarkan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan. Saya masih ingat betul ketika orang tua saya memberikan semacam wejangan bagi saya ketika berangkat sekolah di suatu pagi, “nanti kalo kamu misal diganggu sama temenmu, pukul aja dia. Kamu kan laki-laki, jadi harus berani, jangan diem aja kalo digangguin!” 

Yah memang, bullying masih menjadi hal yang biasa saja ketika saya masih di masa sekolah, tidak seperti sekarang yang sudah menjadi concern bagi banyak orang khususnya para orang tua.  Tetapi, apakah hal semacam bullying harus dilawan dengan kekerasan? Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “apa setiap laki-laki harus menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah?

Harus jadi Pemimpin?

Lalu suatu ketika di sebuah komunitas yang saya ikuti, diadakan pemilihan untuk menjadi koordinator angkatan. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh tim panitia adalah lebih memilih memimpin atau dipimpin. 

Ketika saya menjawab “lebih suka dipimpin” segenap panitia kaget, lalu bertanya “kenapa lebih suka dipimpin? Kamu kan laki-laki, nantinya jadi pemimpin rumah tangga?”

Dan benar saja, hampir semua anggota laki-laki di sana menjawab lebih suka memimpin.  Sebenarnya tidak ada yang salah dengan memimpin atau dipimpin, tetapi kenapa harus selalu laki-laki yang diidentikkan menjadi seorang pemimpin? Bukankah perempuan juga layak untuk menjadi pemimpin? Apakah ketika ada perempuan yang sudah sangat kredibel untuk memimpin, tidak bisa menjadi pemimpin ketika ada seorang laki-laki yang menjadi lawannya? Bukan kah siapa saja bisa memimpin ketika mereka sudah kredibel?

Kami laki-laki juga seorang manusia, yang bisa merasakan emosi yang datang ketika dihadapkan pada suatu keadaan. 

Bagaimana jadinya ketika laki-laki dilarang untuk merasakan suatu emosi tertentu dan harus selalu terlihat dia baik-baik saja? Jawabannya adalah kesehatan mental kami terganggu. Sudah cukup kami harus menanggung masalah kami sendirian. Sudah berapa banyak laki-laki yang kemudian memutuskan untuk bunuh diri akibat rumitnya masalah yang mereka alami dan dipaksa untuk tetap baik-baik saja? Kami juga butuh orang lain untuk setidaknya mendengarkan keluh-kesah kami tanpa harus dihakimi tentang “kelelakian” kami.

Kami juga manusia yang perlu menangis untuk menenangkan perasaan kami. Karena menangis sejatinya adalah respon tubuh terhadap suatu kondisi yang sedang dihadapi. 

Hal tersebut tidak terbatas pada gender. Menangis bukan tanda kelemahan. Dengan menangis laki-laki justru menunjukkan sisi rentan nya dan memperlihatkan bahwa laki-laki adalah manusia, bukan sebuah robot yang tidak memiliki perasaan.

Berapa banyak kemudian laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan akibat dididik juga dengan kekerasan. Bukan kah mendidik anak laki-laki dengan kekerasan akan memberikan luka pada batin mereka? Luka batin yang tidak sembuh itu kemudian yang menuntun kami laki-laki untuk melakukan kekerasan utamanya pada perempuan. Sudah cukup kami dijadikan pelaku kekerasan akibat didikan dengan kekerasan. Kami juga butuh perasaan cinta dan kasih sayang dalam mendidik kami sejak kecil.

Kami juga butuh perasaan aman dan nyaman ketika kami menceritakan bahwa kami tidak selalu kuat. Sama seperti perempuan, kami juga menjadi “korban” dari sistem patriarki yang mengharuskan kami diatas perempuan. 

Dan peran yang kami dapatkan mengharuskan kami untuk menjadi dominan dan segala hal tentang maskulinitas lah yang harus ada pada diri kami.

Sudah saatnya laki-laki juga mengerti bahwa manusia tidak hanya terbatas pada maskulin atau feminin. Tidak terbatas pada kuat atau lemah. Lagi-lagi kami bukan robot yang harus selalu kuat. Karena kami manusia.

Vioranda Felani

Pemerhati feminisme yang suka menulis.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!