Dipukul, Dibunuh, Disiram Wajahnya: Istri Menjadi Korban Terbanyak Femisida

Mayoritas korban femisida adalah para istri. Kemudian berturut-turut diikuti pacar dan teman. Ada beragam cara pelaku dalam menghabisi korban, seperti dipukul, ditusuk hingga dimutilasi

Sarah, perempuan berumur 21 tahun asal Cianjur, Jawa Barat beberapa waktu lalu meninggal dunia setelah mengalami luka bakar serius akibat disiram air keras.

Pelakunya adalah suaminya, Abdul Latif, seorang warga negara Arab Saudi. Abdul kemudian terancam hukuman penjara seumur hidup karena dituduh membunuh istrinya yang baru satu setengah bulan dinikahinya secara siri. 

Polisi kemudian menjerat Abdul Latif dengan pasal berlapis, yaitu pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 dan 351 KUHP tentang penganiayaan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.

Kekerasan hingga menyebabkan kematian (femisida) pada perempuan seperti yang dialami Sarah ini hingga kini masih jadi masalah serius. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyebut kekerasan tersebut sebagai tindakan femisida yang terus saja terulang hingga saat ini.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, selama tiga tahun terakhir kekerasan yang mengakibatkan kematian perempuan alias femisida naik hingga melampaui 1.100 kasus per tahun.

Femisida diartikan sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida biasanya didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki perempuan, ketimpangan kuasa dan kepuasan sadistik.  

“Penyiraman wajah dan dada, ini penyerangan terhadap tubuh perempuan. Ini termasuk femisida, tindakan yang menyebabkan seorang perempuan meninggal atas gendernya,” ujar Andy dalam peluncuran kajian awal dan kertas kebijakan femisida, Rabu (25/11/2021). 

Meski kasus femisida sudah sangat genting, Komisioner Bidang Resource Center (RC), Siti Aminah Tardi mengatakan, upaya serta kebijakan penanggulangan femisida sampai kini memang masih belum optimal. Bukan saja karena pengetahuan yang masih minim di tengah masyarakat, namun juga masih belum adanya data terpilah. 

“Femisida (baik secara) langsung atau kelalaian hak perempuan adalah pelanggaran HAM. Ada keterbatasan pengetahuan dan pencatatan,” kata Siti Aminah di kesempatan yang sama. 

Pihaknya kemudian menginisiasikan sebuah kajian awal dan kertas kebijakan, yang nantinya diharapkan bisa menjadi data untuk penanggulangan femisida. Adapun metode yang dilakukan ialah melalui studi literatur, focus group discussion (FGD) dengan para pihak dan pantauan media sejak tahun 2018-2020.

Hasil dari kajian tersebut, memuat beberapa jenis femisida yang selama ini seringkali terjadi. Di antaranya, femisida intim, pembunuhan oleh suami/mantan suami/pacar/mantan pacar, femisida budaya, konteks konflik bersenjata, konteks industri seks, perempuan dengan disabilitas dan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. 

Komisioner bidang RC lainnya, Rainy Maryke Hutabarat mengatakan, jumlah paling banyak yang menjadi korban femisida selama ini justru banyak terjadi dari orang-orang terdekat korban. Padahal, semestinya lingkaran inti itu semestinya menjadi ruang aman bagi perempuan. 

“Paling banyak korban femisida, istri (143 kasus terlapor), pacar (74 kasus terlapor), dan teman (24 kasus terlapor),” ujar Rainy. 

Ada banyak ragam cara tindakan kriminal pelaku dalam membunuh korban yaitu ada sekitar 32 jenis. Mulai dari, dipukul, ditusuk, dimutilasi, ditelanjangi hingga dicincang. 

“Paling banyak pekerjaan korban ialah Ibu rumah tangga (IRT) 170 kasus, tidak teridentifikasi 115, pelajar 27 kasus dan karyawan 25 kasus,” imbuhnya. 

Belum masuk definisi di KUHP

Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid mengapresiasi upaya Komnas Perempuan karena kajian mendalam untuk mengenalkan konsep femisida tersebut. 

Kajian ini, menurutnya sangat berguna dalam mendorong pembaharuan hukum pidana.

“Sampai saat ini belum ada definisi Femisida di KUHP, termasuk UU KDRT dan UU Penghapusan diskriminasi rasial dan etnis,” kata Usman.

Dia juga menyebut, ruang lingkup femisida yang disebutkan oleh Komnas Perempuan sudah sangat komprehensif. Baik meliputi aspek intim dan nonintim, budaya, konflik bersenjata, konteks industri seks, dan lainnya. 

“KP telah merujuk pada definisi yang disusun oleh WHO, UNSR on VAW, dan juga yang disusun oleh OHCHR bersama UN women dan UNODC, dan deklarasi Wina,” ungkapnya.  

Usman kemudian menambahkan rekomendasi untuk pengayaan data yang bisa diperoleh dari berbagai sumber baik dari global maupun data yang disediakan oleh pemerintahan. Sehingga, hasilnya bisa lebih komprehensif. 

Ema Rachmawati, Komisaris Polisi Kanis 3, Subdit 5, Tipidum Bareskrim Polri mengatakan, selain upaya penanggulangan yang perlu dilakukan kaitannya dengan femisida. Dia juga menekankan agar ada pemulihan bagi keluarga korban. Termasuk anak-anaknya. 

“Itu juga harus diperhatikan dan kaji. Harus dirumuskan. Salah satu proses pemidanaan pelaku, salah satu upaya pencegahan,” kata Ema. 

Di samping, saat ini perlu juga mendorong RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) agar bisa segera disahkan. Hingga dibentuknya berbagai terobosan baru yang bisa diterapkan sebagai upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan femisida. 

“Pada prinsipnya kami berterimakasih. Untuk pendataan yang selama ini belum terperinci. Karena data itu (kajian femisida) penting, sehingga tau langkah apa selanjutnya,” pungkasnya. 

Pemantauan Komnas Perempuan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida mencatat jumlah yang memprihatinkan, yakni 145 kasus. Jumlah ini baru sebatas kasus femisida yang diliput oleh media massa, belum terhitung yang tidak diberitakan. Lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya itu suami (48 kasus) yang menunjukkan bahwa sebagian besar femisida dilakukan oleh suami terhadap istri. Selanjutnya, relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus). 

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal. Terdapat pola yang sama, yakni sadisme berlapis terhadap perempuan dengan dianiaya, diperkosa, dibunuh dan ditelanjangi. Dari perspektif kekerasan berbasis gender, penelanjangan korban yang telah menjadi mayat menunjukkan tindak pelucutan martabat korban.

Di Indonesia, penghilangan nyawa diatur tersebar dalam Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga di KUHP yaitu Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Namun motif, modus dan kekerasan berbasis gender sebelum atau yang menyertainya tidak menjadi faktor pemberat hukuman.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!