Melepas dan Mengenakan Jilbab karena Pilihan, Itu Baru Namanya Merdeka

Tak boleh ada pemaksaan jilbab bagi perempuan, karena perempuan bebas untuk memilih pakaiannya. Pilihan perempuan, ada di tangan perempuan

Simak pengalaman tak menyenangkan Silvia Ningsih Zebua, perempuan non muslim yang dipaksa memakai jilbab berikut ini.

“Sejak kelas 5 SD sampai SMA, kewajiban menggunakan jilbab di sekolah yang ada di Padang sangat bertentangan dengan keyakinan saya, karena saya non muslim. Tapi apa boleh buat. Semua sekolah negeri di Kota Padang mewajibkan siswanya menggunakan jilbab pada masa itu, berbeda dengan sekolah swasta yang membebaskan siswanya. Seiring dengan waktu semuanya juga menjadi kebiasan bagi saya dan saya terbiasa menggunakannya,” papar Silvia Ningsih Zebua. 

Silvia saat ini berusia 23 tahun dan bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan di Padang, Sumatera Barat. Namun, hingga kini ia belum bisa melupakan pengalamannya saat menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang bertahun-tahun silam. 

Kepada Husnul Hayati yang menghubunginya melalui sambungan telepon, Silvia mengungkapkan ketidaknyamanannya ketika harus mengenakan jilbab lantaran aturan sekolah mewajibkan jilbab bagi siswa perempuan sebagai seragam sekolah. Padahal Silvia merupakan perempuan non muslim, yang tidak semestinya mengikuti peraturan kewajiban menggunakan jilbab tersebut.

Silvia mengenakan jilbab sekadar agar bisa tetap bersekolah dengan tenang di sekolah negeri, yang seluruh biayanya ditanggung oleh pemerintah atau bisa dikatakan gratis. Maka mau tidak mau ia  mengikuti aturan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekolah.

Ia mengakui menggunakan jilbab hanya sebatas mengikuti peraturan sekolah saja, dan tidak meninggalkan agama yang dipeluknya. Meski akhirnya biasa, hal itu tetap menjadi pengalaman buruk karena dilakukan dengan keterpaksaan.

Pengalaman yang hampir sama juga dialami Sky (19 tahun), alumni SMK Negeri 6 Yogyakarta. Sky menyelesaikan pendidikan di SMK Negeri 6 Yogyakarta pada  tahun 2020. Sky yang beragama Islam juga mengaku menjadi korban pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Hal ini dimulai ketika pelajaran agama sewaktu ia duduk di kelas 10.

“Guru agama saya, seorang perempuan, awalnya menanyakan kenapa nggak pakai jilbab? ketika sesi presensi di kelas. Kemudian ketika berada di depan gerbang sekolah pagi-pagi, saya bertemu dengan guru tersebut dan lagi-lagi ditanya, kemana jilbabmu?” terang Sky. 

Pertanyaan yang sama terus berulang, hingga pada akhirnya guru itu menyuruh Sky keluar dari kelas, dan mengancam jika mau ikut pelajarannya maka harus memakai jilbab. Yang tak bisa diterima Sky adalah semua pertanyaan itu dilontarkan guru itu di depan banyak orang. 

Pengalaman tersebut berlanjut hingga Sky menginjak kelas 11. Pelakunya, guru yang berbeda. Awalnya sama, hanya menanyakan, namun pada akhirnya Sky dipaksa keluar untuk mencari mukena di musala.

Kebijakan mewajibkan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah, ditemukan di banyak sekolah negeri di Indonesia. Salah satunya terjadi di SMK Negeri 2 Padang yang sempat menjadi sorotan publik setelah orang tua salah satu siswa berani mengungkapkan dan melaporkan pemaksaan yang dialaminya. 

Berdasarkan laporan Human Right Watch (HRW) yang dirilis pada Februari 2021, terdapat 60 lebih aturan diskriminatif terkait aturan busana bagi perempuan dan anak di lingkungan pendidikan maupun kelembagaan. Salah satunya adalah larangan ataupun kewajiban siswa memakai jilbab.

Beberapa daerah di sejumlah provinsi di Indonesia, bahkan memiliki aturan secara tertulis yang mewajibkan anak perempuan muslim untuk mengenakan jilbab baik dari tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. 

Di Kota Padang misalnya, lewat instruksi Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005, wali kota mewajibkan jilbab kepada siswa muslim. Tapi dalam praktiknya sekolah-sekolah memukul rata kewajiban itu, baik kepada siswa muslim maupun non muslim. 

Terkait aturan ini, pada Februari 2021 pemerintah sudah merilis Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah.

Kebijakan yang ditanda-tangani Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ini tidak membenarkan kewajiban ataupun sebaliknya, larangan penggunaan jilbab di sekolah negeri. Keputusan untuk mengenakan jilbab diserahkan kepada anak didik maupun tenaga pengajar.

SKB ini belakangan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA), sehingga menuai pro kontra. Pihak yang kontra menilai, pemaksaan pemakaian busana adalah bentuk serangan terhadap hak asasi warga negara.

Pemaksaan penggunaan jilbab adalah bentuk intoleransi

Terkait pro kontra menggunakan jilbab ini, Nur Maulida, aktivis perempuan yang kini aktif di Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta pernah melakukan riset sederhana dengan melakukan wawancara ke anak muda. 

Hasilnya ternyata sangat menarik untuk dikaji. Ternyata perspektif perempuan muslim yang memakai jilbab itu beragam. Tidak semua perempuan yang berjilbab dan bercadar, menggunakan pakaian tertutup karena takut berdosa. Ada yang merasa takut dilecehkan dan dia merasa aman ketika menutup semua tubuhnya. 

Ada juga yang merasa ketika ia menutup kepala dengan jilbab, dia merasa bahwa tidak ada orang yang menjustifikasi dia karena seluruh keluarganya menggunakan jilbab. Jadi kalau nggak berjilbab dia dikatain sama keluarganya “Kamu kan Islam, kok nggak berjilbab!” 

Ada pula yang harus melepaskan jilbab karena pekerjaan. Sebaliknya ada juga yang berjilbab karena ada tuntutan dari lingkungan pekerjaannya. Jadi ada beragam perspektif dan kontrol atas tubuh perempuan.  

“Memakai jilbab atau melepas jilbab itu hak perempuan atas tubuhnya dia. Hak atas seksualitasnya tanpa ada paksaan. Perempuan itu berhak merdeka atas pikirannya sendiri. salah satunya keyakinan dia terhadap tubuh dia, tanpa embel-embel doktrin tertentu,” ucap Maulida kepada Himas Nur.

Menurut Maulida, konteks ini akan berbeda ketika dilakukan oleh orang tua kepada anak. Pembahasannya. Ujarnya,  akan berbeda sebab yang dilakukan oleh orang tua adalah penanaman akidah terhadap anak agar ketika besar, ia bisa memilih untuk mengenakan jilbab atau justru melepaskannya.

Dalam beberapa kasus, sering ditemui pemaksaan penggunaan jilbab yang dilakukan oleh kelompok tertentu atau individu kepada kelompok atau individu lain baik yang beragama Islam maupun yang tidak. Sikap ini sudah bisa dikategorikan sebagai sikap intoleransi.

“Pemeluk agama Islam sebagai mayoritas, kadang tampil dengan sikap eksklusif melalui kebijakan yang ada. Padahal, sebenarnya Islam mengatur dengan ramah bagaimana menyikapi perbedaan itu,” ujarnya. 

Aturan pemerintah dan aturan sosial

Lantas, bagaimana sih sebenarnya kewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan bernegara?

“Dalam Islam, negara memang diberikan hak dan bahkan kewajiban untuk membawa masyarakat ke dalam kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Jadi ruang-ruang  yang menjadi jalan menuju kebahagian dan kesejahteraan itu, negara wajib hadir.  Namun negara tidak bisa hadir di semua ruang. Melainkan ada ruang-ruang di mana menjadi wilayah individu dan juga wilayah agama.” ujar Imam Nahe’i, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Menurut Nahe’i, aturan terkait apakah berbusana masuk ke dalam ruang privat atau publik harus ditinjau terlebih dahulu. Apabila individu berada di rumah, atau sendirian jelas tidak perlu diatur sedemikian rupa. Sementara jika berada di tempat umum, maka tergantung pada dengan budaya dan norma atau kondisional. Diingatkan aturan itu harusnya tidak ada unsur paksaan, baik melarang maupun mengharuskan apalagi mendiskriminasi.

Adapun dalam agama Islam sendiri, banyak orang berpendapat bahwa berjilbab merupakan kewajiban bagi perempuan muslim yang sudah akil baligh. Beberapa ayat di Al Quran juga secara tersurat menyebutkan kewajiban mengenakan jilbab. 

Dalam surah An-Nur ayat 31 misalnya, menyebutkan, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. 

Sementara surah Al-Ahzab ayat 59 menyebutkan “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 

Lantas, surah Al-A’raf ayat 26 menyebutkan, “Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.” 

Dengan berlandaskan tiga ayat tersebut, perspektif Nahdlatul Ulama (NU) dengan tegas menyatakan jilbab sebagai kewajiban, sebagaimana dilansir dari Hamzah Sahal dalam Nuvoices (02/2021). Hanya saja, terkait bagaimana model, ukuran, bentuk pemakaiannya diberikan kebebasan pada perempuan sebagaimana kenyamanan dan kondisi kultural yang melingkupinya.

Sementara, M. Quraish Shihab, salah satu ulama tersohor di Indonesia, menyebutkan hukum mengenakan jilbab masih bersifat khilafiyah (masih bisa diperdebatkan). Menurutnya, kewajiban perempuan yang ditegaskan dalam Al-Quran sejatinya adalah menutup aurat.

Menanggapi lembaga pendidikan yang memaksakan penggunaan jilbab serta tidak berpihak pada minoritas dan pilihan siswa. Nahe’i, komisioner Komnas Perempuan menjelaskan bahwa ketika ada sekolah yang mewajibkan jilbab, sebagaimana agama mewajibkannya, maka sekolah itu sebenarnya menjalankan fungsinya sebagai penyampai nilai-nilai atau ajaran agama. 

Tetapi, Nahe’i mengingatkan bahwa pihak sekolah (khususnya sekolah negeri), sebagai lembaga pendidikan tidak boleh memaksakan kewajiban itu, apalagi kepada siswa yang agamanya tidak mewajibkan mengenakan jilbab. 

“Kebijakan sekolah tidak boleh memaksakan pada siswa untuk mengenakan jilbab, apalagi memaksakan agar agar siswa non muslim harus menyesuaikan diri, yang artinya menyesuaikan dengan mayoritas.  Sekolah boleh menganjurkan (benar-benar tanpa paksaan dan sanksi) agar seluruh siswa mengenakan busana yang sejalan dengan agama dan keyakinannya, tanpa diskriminasi,” ujar Nahe’i kepada Shohibatul Husna.

Tidak hanya Nahe’i, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Yogyakarta, Khotimatul Husna juga berpendapat bahwa penggunaan jilbab merupakan bagian dari privasi masing-masing perempuan. Hal itu berkaitan dengan pilihan dan keyakinan diri masing-masing. 

Perempuan yang biasa disapa Bu Khotim itu menegaskan, tidak ada yang dapat mengatur privasi masing-masing orang dalam pilihan berbusana, apalagi jika alasannya demi penyeragaman. Penyeragaman ini, menurutnya, lebih baik didiskusikan atau dicari jalan tengah agar bagaimana keseragaman yang diatur sesuai dengan masyarakat dan daerah yang bersangkutan. 

“Tidak bisa menyamaratakan sebelum kita tahu bagaimana identitas masyarakat dan daerah yang dituju,” ujarnya.

Kewajiban menggunakan jilbab yang diskriminatif tidak seharusnya diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya majemuk. Semua pihak, baik mereka yang bekerja di lembaga pemerintahan, aktivis, pekerja sosial atau orang yang memiliki otoritas, tidak boleh memaksakan penggunaan jilbab kepada orang lain. apalagi kepada warga  non muslim yang dalam ajaran agamanya tidak diwajibkan menggunakan jilbab. Setiap warga negara wajib menghormati ekspresi keberagamaan orang lain. 

Konstitusi secara tersurat juga menjamin kebebasan setiap warga negara dalam beragama dan berkeyakinan. Kebebasan menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaan merupakan hak asasi setiap warganegara dan itu secara tegas dan diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” harus menjadi dasar kita berpijak dan hidup bersosial di negeri ini. 

Onriza Putra, Koordinator Duta Damai BNPT Sumatera Barat kepada Husnul Hayati mengatakan bahwa sebagai muslim, sudah seharusnya memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan anti kekerasan. Menurutnya, aksi-aksi pemaksaan dan monopoli kebenaran yang mengarah pada intoleransi yang dilakukan oleh sementara orang bukan menggambarkan agama Islam. Hal itu karena adanya perbedaan tafsir terhadap Islam itu sendiri. 

“Hal ini yang justru memperburuk citra Islam,” ujar Onriza.

Lembaga pendidikan harus menjadi wadah dalam mendidik dan menanamkan toleransi pada setiap siswa yang akan menjadi tonggak peradaban bangsa. Ia harus menjadi penggerak utama dalam mengawal keberagaman dan peradaban bangsa, dan bukan sebaliknya. 

Tim penulis: Yayu Nurhasanah, Shohibatul Husna, Ifa Muallifah, Hurrotul Firdausiyah, Husnul Hayati, Fia Maulidia, Puput Enggar Pratiwi, Himas Nur, Eva Indriani.

Artikel ini merupakan kerjasama Konde.co, The Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Girl Ambassadors for Peace yang didukung UN Women dalam program Girl’s Camp 2021

Girls Ambassadors for Peace

Girl Ambassadors adalah duta perdamaian hasil program Girl's Camp 2021 yang didukung UN Women, The Asian Muslim Network (AMAN) dan Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!