Mitos Perempuan di Film ‘YUNI’: Sulit Dapat Jodoh sampai Haram Tolak Lamaran

Ada banyak mitos yang membelenggu perempuan dalam film “YUNI”, mitos-mitos inilah yang membuat perempuan jatuh dalam perkawinan yang tak mereka inginkan.

Sementara upaya kerasnya mendapatkan beasiswa kuliah tak berjalan mudah, Yuni mesti dihadapkan pada tawaran-tawaran pernikahan. 

Film Yuni bercerita tentang kegamangan tokoh utama bernama Yuni (diperankan Arawinda Kirana), remaja perempuan berusia belasan tahun yang akan segera meninggalkan bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Di tempat tinggal Yuni masih kental mitos-mitos untuk perempuan. Jika sampai menolak lamaran lebih dari dua kali, kata orang-orang sekitarnya akan sulit mendapat jodoh. 

Film Yuni telah mendapatkan penghargaan Platform Prize dari Festival Film Internasional Toronto (TIFF) tahun 2021. Penghargaan ini, diberikan kepada film-film bernilai artistik tinggi yang juga menunjukkan visi penyutradaraan yang kuat. Pemeran Yuni, Arawinda Kirana, juga terpilih sebagai Pemeran Utama Perempuan terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2021.

Sejak pertama kali menonton trailer film ini, saya langsung tertarik karena sutradara Kamila Andini lagi-lagi menolak menyajikan film yang Jakarta-sentris. Dalam film-film Kamila sebelumnya, seperti Sekala Niskala, hingga Laut Bercermin sentuhan kedaerahannya terasa sangat kuat. Hebatnya, semua karya Kamila itu mendapatkan penghargaan internasional. 

Melalui Yuni, akhirnya kita mendapatkan representasi kehidupan remaja perempuan yang tidak berbahasa Lo-Gue. Yuni tinggal di Cilegon, Banten, dan sehari-hari menggunakan bahasa Jawa-Sunda Banten.

Kisah Yuni mengingatkan pada ibu saya, yang lahir dan besar di Kebumen, Jawa Tengah. Ibu pernah bercerita, saat baru lulus SMA, ia dilamar seorang laki-laki, tapi ia menolak karena ingin mencari pengalaman dan bekerja di Jakarta.

Saat itu ibu saya memang lebih beruntung karena memiliki paman yang tinggal di Jakarta, yang bersedia menampungnya saat jauh dari rumah. Kakek saya pun merelakan kepergian ibu. Namun, sisa teman-teman perempuan ibu lainnya, direpresentasikan oleh teman-teman Yuni: beberapa dari mereka harus menikah di usia muda.

Sayangnya, meskipun teknologi telah berkembang, kehidupan di Kebumen tak banyak berubah. Sepupu perempuan saya kemudian bernasib sama seperti Tika (Anne Yasmine) dalam film Yuni. Ia menikah bahkan saat belum genap berusia enam belas tahun. Masuk kategori perkawinan anak ya?

Perkawinan Anak, Patriarki, dan Konservatisme Islam

Film yang memotret soal perkawinan anak akibat kehamilan tidak direncanakan (KTD) sebelumnya pernah muncul dalam film Dua Garis Biru (2019). Tapi film itu mengambil latar kelas menengah atas

Ini jelas berbeda dengan sosok Yuni dan lingkungan sekitarnya yang dipotret di film ini. Para remaja perempuan dalam Yuni ditampilkan berasal dari keluarga kelas pekerja menengah ke bawah yang memiliki banyak keterbatasan akses dan kapasitas. 

Selain terkenal sebagai kota industri, Cilegon juga dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam. Masyarakat di sana masih memegang kuat norma-norma agama Islam , termasuk nilai-nilai konservatisme yang patriarkis.

Tak pelak, saat mengalami KTD, kebanyakan dari remaja perempuan di kota seperti Cilegon tidak memiliki banyak pilihan, selain mesti meninggalkan bangku sekolah, menkah, melahirkan bayi dalam kandungannya, dan mengurusnya. Mereka pun harus terus menuruti suami. 

Para perempuan ini, tak sedikit pula berada di usia anak dan dibesarkan di lingkungan sosial yang minim edukasi seputar hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) hingga pengasuhan anak. 

Film Yuni berusaha mengingatkan kita bahwa perkawinan anak masih menjadi “pekerjaan rumah” di Indonesia. Dalam film ini, perkawinan anak erat kaitannya dengan budaya patriarki sebagai bagian dari menjaga moralitas hingga melanggengkan konservatisme islam. 

Lingkungan yang masih melanggengkan patriarki ini menganut paham, bahwa Perempuan itu begitu “istimewa”. Perempuan kemudian dianggap perlu dijaga nilai dan nama baiknya. Namun, caranya malah seringnya justru dengan merenggut kebebasan perempuan. 

Bahkan dengan mengikis kemampuan dan kepercayaan diri perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri. Begitulah yang terjadi pada Yuni. 

Satu sorotan yang menarik dari film ini, juga ada pada adegan saat Wali Kota perempuan yang berkunjung ke sekolah Yuni mengatakan ingin mengadakan “tes keperawanan” untuk seluruh siswi. 

Ini sungguh menunjukkan, penilaian terhadap perempuan dalam kacamata patriarkis memang kerap begitu dangkal: sebatas persoalan selangkangan.

Perkataan-perkataan seperti “Zina itu dosa besar yang hampir tidak termaafkan maka jauhilah” pun ditanamkan kepada anak-anak laki-laki dan perempuan sedari kecil. Harapannya, anak-anak akan mengamalkan nilai ini demi menjauhi dosa berzina. 

Karena itu, orang-orang di sekitar Yuni banyak yang berpendapat, kalau sudah punya pacar, seorang perempuan sebaiknya segera menikah daripada keburu berhubungan badan sampai hamil. 

Pernikahan pun kerap dipaksakan bahkan ketika si remaja tidak siap menjalaninya, atau lebih parahnya lagi, pernikahan masih kerap digunakan sebagai penyelesaian dari kasus perkosaan. Ini yang mengerikan!

Tinggal di lingkungan keluarga besar yang konservatif, saya belajar bahwa banyak alasan yang mengatasnamakan agama ataupun tabu, justru menjadikan batasan bagi kami untuk terbuka belajar mengenai HKSR. 

Problem yang ada selama ini, alih-alih mengedukasi, keluarga atau masyarakat cenderung lebih suka menjejali para perempuan muda seperti saya, dengan berton-ton konsep agama yang seolah menjadi “jalan pintas” agar kami tidak banyak bertanya soal seksualitas dan reproduksi. 

Ini seperti halnya kisah salah seorang sepupu saya, yang mesti cepat-cepat dinikahkan begitu tahu dia mengalami KTD. Sementara, saya rasa ada banyak remaja lainnya yang segera dinikahkan karena takut adanya KTD. 

Konservatisme seperti inilah, yang dihadirkan pula dalam film Yuni. Pemahaman yang kurang soal dampak negatif perkawinan anak sampai nilai-nilai patriarkis yang masih bercokol, menjadikan orang tua seolah sah-sah saja menikahkan anaknya. Meski belum cukup usia dan siap secara fisik serta mental. 

Ini juga yang membuat para pelamar Yuni, saya haqqul yaqin mereka berpikir bahwa memang sudah waktunya buat Yuni untuk segera menikah. Yuni sudah dewasa. Sudah sebaiknya ia dinikahkan daripada hamil duluan atau jodohnya sulit. 

Mitos-mitos yang menyudutkan perempuan ini pun nyata adanya. Orang-orang di sekitar Yuni pun menasehati agar Yuni tak banyak memilih jika tak mau jodohnya sulit karena menerima lamaran sampai dua kali. 

Enteng saja pikir mereka, terima saja salah satu lamaran. Jadilah perempuan, istri serta ibu, yang penurut.

Yuni dan “Penyakit Ungu”: Simbol Perlawanan

Dalam live IG bersama Plan Internasional pada Minggu (12/12/2021), Kamila Andini mengatakan ingin menghadirkan realitas yang dihadapi perempuan–dan sepertinya gender minoritas lain– dalam film ini. Namun tak sekadar menghadirkan realitas, ia juga berpihak pada perempuan-perempuan di dalam filmnya.

Permata Adinda dalam review di Cinema Poetica mengatakan bahwa “penyakit ungu” adalah lambang perlawanan Yuni sebagai perempuan. Yuni menggugat patriarki dalam Islam yang konservatif. Karena itu pada satu scene, ia menyanyi dengan riang gembira–merayakan suaranya yang tidak “haram”.

Yuni, seperti puisi yang ia tinggalkan di atas kasur, adalah hujan bulan Juni. Ia turun di musim yang tidak semestinya. Anomali.

Namun perlawanan Yuni tidak mendadak lahir dari ruang kosong. Ia hadir karena kedua orang tua dan neneknya lebih moderat dibandingkan kebanyakan orang lain di sekitar mereka.

Meskipun suka menakuti Yuni agar tidak pulang malam, nenek Yuni yang rajin sholat dan gemar menyanyi –dari dangdut sampai qosidah– sambil merokok membebaskan sang cucu untuk menentukan pilihan.

Sementara itu, ayah Yuni berharap anak perempuannya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi daripada menikah. Meskipun, pada akhirnya, kedua orang tua Yuni yang begitu demokratis hanya ingin Yuni bahagia.

Hubungan orang tua dan anak dalam film Yuni  akan terasa dekat dengan pengalaman anak perempuan kelas pekerja menengah ke bawah seperti Yuni. Terutama dengan orang tua demokratis yang kadang bikin terharu, kadang bikin bingung. Sebab seringnya mereka memberikan kebebasan, tapi tidak memberikan banyak arah karena keterbatasan pengetahuan mereka.

Pilihan dalam kebebasan yang dimiliki Yuni pun begitu terbatas. Ia hanya mengetahui dunianya sekecil Cilegon: pabrik-pabrik berdiri tanpa melibatkan perempuan setempat dan hanya menyebabkan jumlah ikan berkurang.

Melalui Yuni, Kamila Andini mengatakan ingin menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga juga penting bagi seorang perempuan. Meski bingung mencari jalan yang harus dipilih, dukungan itu mendorong Yuni terus berproses mencari suaranya sendiri. 

Yuni tidak ingin menjadi perempuan yang selalu menyesuaikan diri dengan standar moral orang-orang di sekitarnya, jika itu berarti ia tidak bahagia.

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!