Para Dosen HAM Ajak Kampus Stop Kekerasan Seksual dan Dukung Permendikbud PPKS

Para dosen di sejumlah universitas yang tergabung dalam Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia menyatakan dukungannya pada pemerintah untuk menghentikan kekerasan seksual di kampus

Para dosen di universitas yang tergabung dalam Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) ini melihat, kasus kekerasan seksual khususnya di kampus telah membawa dampak yang luar biasa merusak bagi korban, menimbulkan rasa ketakutan pada publik khususnya civitas akademika, menyerang kehormatan korban dan dunia pendidikan, serta merendahkan harkat dan martabat korban beserta keluarganya.

Maka para dosen pengajar ini menyerukan untuk mendukung pemerintah dalam stop kekerasan seksual di kampus

Perwakilan Sepaham, Muktiono menyatakan pada Konde.co bahwa surat ini sekaligus pernyataan dukungan, salah satunya dengan mendukung adanya Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi (Permendikbud PPKS) yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim. Hal ini diungkapkan Sepaham dalam konferensi pers virtual, 1 Desember 2021

“Para dosen melihat secara sosiologis-yuridis, ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban, kelemahan atau ketiadaan norma hukum yang dapat digunakan secara dasar untuk menindak pelaku, tidak optimalnya daya kerja norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, budaya patriarki yang kuat, serta budaya permisif di perguruan tinggi, merupakan faktor-faktor yang mendorong terjadinya pembiaran kekerasan seksual di kampus sehingga terus-menerus membawa korban,” kata Muktiono, salah satu dosen anggota Sepaham

Dansecara yuridis, perguruan tinggi wajib menjalankan perintah undang-undang dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan bertanggungjawab untuk menjamin bahwa setiap civitas akademika di lingkungannya menghormati hak asasi manusia, melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual, menghentikan serta mengambil langkah-langkah cepat apabila kekerasan seksual terjadi dalam relasi antara civitas akademika tersebut;

Cekli Setya Pratiwi melihat bahwasecara filosofis yuridis, negara, khususnya pemerintah, memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi, memajukan, menegakan dan memenuhi hak asasi setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, serta bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

“Secara faktual, praktek-praktek baik (best practice) upaya pencegahan kekerasan seksual bukanlah barang baru, namun telah lama dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta dengan memberdayakan Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak, Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Perguruan Tinggi, namun perlu didorong agar hal ini juga mampu dilakukan oleh perguruan tinggi lain di seluruh Indonesia.”

Sepaham juga melihat bahwa secara yuridis normatif, keberadaan Permendikbud-Ristek PPKS adalah bentuk tindakan hukum yang konkret dari pemerintah untuk mencegah kekerasaan seksual di perguruan tinggi, yang mana hal ini merupakan amanah konstitusi dan sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, serta Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Secara sosiologis, berbagai kalangan mengakui bahwa keberadaan Permindikbud PPKS ini memiliki tujuan yang positif dalam mencegah kekerasan seksual di kampus dan layak mendapatkan dukungan; sedangkan secara yuridis normatif, bahwa keberadaan frase “dengan persetujuan korban” dalam konsep kekerasan seksual yang dikhawatirkan mendorong sex bebas merupakan pandangan yang sempit dan keliru, tidak memahami substansi Permendikbud PPKS secara komprehensif, serta tidak memiliki basis argumentasi yang memadai.

Berdasarkan fakta empiris, sosiologis, yuridis, dan filosofis di atas, maka SEPAHAM Indonesia secara penuh mendukung keberadaan Permendikbud-Ristek PPKS yang merupakan terobosan hukum yang cepat dan progresif untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

“Keberadaan Permendikbud-Ristek PPKS tidak akan merusak atau mencegah berbagai norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma agama yang selama ini hidup dan tumbuh di masyarakat, melainkan menjadi penguat norma-norma tersebut.” Kata Muktiono

Lalu mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meneruskan penerapan Permendikbud-Ristek PPKS dengan segara bekerja sama dengan berbagai pihak serta para ahli yang relevan untuk menyiapkan segala Sumber Daya Manusia, serta Sarana dan Prasarana yang memadai dalam menjalankan isi Permendikbud-Ristek PPKS serta terus-menerus melakukan sosialisasi terhadap isi Permendikbud-Ristek PPKS sehingga tidak disalahpahami oleh masyarakat.

Menghimbau agar masyarakat secara bersama-sama menjadi bagian dalam upaya memerangi kekerasan seksual di perguruan tinggi mengingat bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan keji yang merendahkan harkat dan martabat manusia, melanggar norma kesusilaan, norma kesopanan, serta norma agama.

Konferensi pers Sepaham ini juga didukung oleh 15 Pusat Studi HAM di Indonesia seperti Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) Surabaya, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta, Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (PPHD) Malang, Center for Human Rights, Multiculturalism and Migration Universitas Jember (CHRM2), Jember, Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Unair Surabaya (HRLS), Surabaya, Pusat Studi Gender Universitas Jember (PSG Unej), Jember. Lalu Pusat Studi Pluralisme Hukum Fakultas Hukum Unair Surabaya (Clep), Surabaya, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (PPHG), Malang, Pusat Kajian Law, Gender, and Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (LGS), Yogyakarta, Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada (PSW UGM), Yogyakarta, Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed), Medan. Lalu Pusat Studi Hak Asasi Manusia FH Universitas Mataram (Pusham Unram), Mataram, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dan Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!