Sulitnya Menjadi LGBT: Bertahan Hidup Selama Dua Tahun Masa Pandemi

Bagaimana kondisi LGBT selama hampir 2 tahun masa pandemi? Laporan “Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia,” dilaunching oleh Konsorsium CRM menyoroti sulitnya LGBT hidup di wilayah yang terdampak berat pandemi COVID-19.

Distigma pendosa, berpenyakit dan menyimpang, lalu mendapatkan persekusi? Ini sudah sering kami alami. Di-PHK sampai diusir dari kontrakan? Itu juga sudah terlalu sering kami alami, demikian ungkap beberapa lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)

Lengkaplah penderitaan LGBT, jadi sasaran kekerasan fisik dan mental. Inilah kondisi kehidupan yang sudah jadi langganan para LGBT, jalan terjal sulitnya menjadi LGBTQ di Indonesia sampai hari ini. 

LGBTQ jadi salah satu kalangan yang paling rentan di masa pandemi. Mereka semakin terhimpit dengan berbagai problem multidimensi seperti sektor ekonomi, sosial hingga hukum akibat banyaknya kekerasan yang terjadi. 

Laporan “Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia,” yang dilaunching oleh Konsorsium CRM menyoroti kondisi kelompok LGBT di berada di wilayah-wilayah yang terdampak berat pandemi COVID-19.

Selain itu riset juga mencatat strategi bertahan hidup para LGBT di masa pandemi. 

Riset memaparkan 6 wilayah yang terdiri dari 2 wilayah dengan risiko COVID-19 tinggi, 2 wilayah dengan risiko COVID-19 sedang, dan 2 wilayah dengan risiko COVID-19 rendah, berdasarkan data situs tersebut per-Desember 2020. 

Proses pengumpulan data melalui aplikasi KoBoToolbox itu melibatkan 300 responden dengan proporsi 50 responden setiap wilayah. Proses penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan data risiko sebaran kasus COVID-19 dalam situs https://covid19.go.id/peta-risiko. 

Hasil survei menunjukkan mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta (30.3%), pelaku usaha/wiraswasta (20.5%), dan pekerja LSM (19.5%). Terdapat sebelas orang responden (5.6%) yang menjawab pekerja seks sebagai pekerjaan utama mereka.

Salah satu temuan penting, lebih dari delapan puluh persen (80%) komunitas LGBTQ yang menjadi responden dari penelitian ini mengalami penurunan pendapatan sampai 25% hingga 50% selama pandemi. Penurunan yang signifikan dari pendapatan ini menempatkan setidak-tidaknya 63% dari komunitas LGBTQ jauh bawah garis kemiskinan Nasional yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Mayoritas responden survei yang saat ini tidak bekerja, mengatakan mereka tidak bekerja sebagai akibat dari pandemi COVID-19 (79%). Begitu pula untuk responden yang saat ini masih bekerja, mayoritas responden juga mengatakan bahwa mereka terdampak oleh pandemi COVID-19 (88%). 

Data survei menunjukkan, dampak terbesar COVID-19 terhadap pekerjaan adalah diberhentikannya responden dari pekerjaan yang dilakukannya. Sebanyak 29 orang responden (27.6%) mengatakan hal tersebut. Berbagai kebijakan pembatasan terhadap sektor usaha membuat banyak perusahaan mengurangi kegiatan produksi bahkan menutup usahanya sehingga membuat terjadinya PHK besar-besaran, yang juga berdampak secara langsung terhadap 27.6% responden yang saat penelitian dilakukan tidak bekerja. 

“Di masa pandemi ini, teman-teman minoritas gender ini yang sebelumnya tidak baik-baik saja, semakin tidak mudah,” ujar Khanza Vina, Perwakilan SWARA (Sanggar Waria Jakarta) dalam paparan hasil penelitian secara daring, Jumat (22/10/2021). 

Khanza melanjutkan, sebagian besar responden (88.7%) mengatakan pandemi COVID-19 berdampak terhadap pendapatan yang mereka terima selama enam bulan terakhir. Lebih dari 80% responden mengatakan, pendapatan mereka berkurang dengan variasi antara 1/4 hingga lebih dari 1/2 pendapatan awal. 

Terdapat 11.7% responden yang mengatakan bahwa mereka tidak memperoleh pendapatan sama sekali karena pandemi COVID-19. 

Kebanyakan responden (64%) juga mengatakan mereka tidak memiliki akses/kesempatan untuk meminjam uang selama 6 bulan terakhir. Sebesar 75% responden mengatakan bahwa saat ini mereka masih meminjam uang. Kesempatan/akses meminjam uang mayoritas dilakukan/dimiliki oleh responden dengan pendapatan antara Rp 1.000.001-3.000.000. 

“Mayoritas responden juga mengaku kesulitan dalam pengembalian pinjaman mereka (68.4%) dan hanya 18.4% responden yang mengatakan tidak mengalami kesulitan,” lanjutnya. 

Sasaran Kekerasan dan Minim Akses 

Tak hanya soal ekonomi, Khanza juga mengungkapkan kalangan LGBTQ semakin mendapatkan tekanan secara sosial kultural yaitu stigma negatif yang banyak dilekatkan. Inilah yang turut menyebabkan kerentanan meningkat. 

Kekerasan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai “penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan secara sadar, baik berupa ancaman maupun tindakan langsung, terhadap diri sendiri atau orang lain, atau terhadap kelompok maupun komunitas, yang menyebabkan, atau berpotensi menyebabkan luka, kematian, dampak psikologis, gangguan pertumbuhan serta kehilangan dalam bentuk lain”.

Berdasarkan hasil survei, 16 responden (5.3%) menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik dalam enam bulan terakhir berdasarkan pembagian wilayah, Sumatera Utara menjadi daerah dengan persentase responden penyintas kekerasan fisik tertinggi, yaitu 10% (5 responden).

Sebanyak 94 responden (31.3%) menyatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan psikologis/emosional selama enam bulan terakhir. Jika dibandingkan dengan jenis kekerasan lain, persentase prevalensi kekerasan psikologis/emosional merupakan yang tertinggi. 

Adapun sebanyak 7  orang (44%) pelaku kekerasan adalah pasangannya sendiri, diikuti 6 orang (38%) pelaku anggota keluarga intinya. Dengan demikian, mayoritas pelaku kekerasan fisik yang tercatat adalah orang dekat responden.

Seluruh responden yang mengalami kekerasan fisik selama enam bulan terakhir (16) tidak melaporkan peristiwa tersebut ke pihak berwajib. Alasan mereka tidak melapor ke pihak berwajib adalah karena mereka tidak berani melapor (37.5% atau 6 responden), merasa tidak perlu melapor (37.5% atau 6 responden), dan merasa malu jika melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib (31.2% atau 5 responden). 

“Ada trust (kepercayaan) yang tidak terbabgun. Ada aparat ketika menghadapi ini, kasus tidak ditangani. Bagaimana aparat penegak hukum tidak ramah dan bias gender, yang menjadikan teman-teman (LGBTQ) diperlakukan tidak adil,” kata Khanza.  

Kalangan LGBTQ ini, menurut Khanza juga rentan secara sosial. Hasil survei menunjukkan sebagian kecil responden tidak memiliki KTP/ KK. Hal ini menjadi penting untuk digarisbawahi, karena kepemilikan dokumen kependudukan kerap menjadi syarat utama untuk mengakses layanan bantuan sosial. 

Mereka yang tidak memiliki dokumen kependudukan umumnya tidak memiliki tempat tinggal tetap, tidak memiliki dokumen pendukung, dan merupakan korban pengusiran. Hal ini secara efektif menempatkan mereka ke dalam posisi yang sangat rentan. Secara kultural, komunitas LGBTQ relatif terisolir secara fisik antara satu dan lainnya sebagai akibat dari pandemi COVID-19. 

Ini kemudian juga saling berpengaruh pada kerentanan kesehatan pada teman-teman LGBTQ. Khususnya mereka yang bekerja di sektor-sektor yang menuntut kontak erat dengan pihak lain. Setengah dari total responden bekerja di sektor yang mengharuskan kontak erat ini, yaitu sektor kecantikan dan kesehatan, dengan profesi seperti pekerja seks, penata rias, hingga penata rambut.

Fakta lain yang penting untuk digarisbawahi adalah hampir setengah dari total responden tidak terdaftar dalam program BPJS Kesehatan baik karena iuran yang mahal, ketidaktahuan terkait cara membuat BPJS kesehatan, ataupun masalah kelengkapan administratif. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas LGBTQ relatif masih belum memahami secara penuh pentingnya asuransi kesehatan. 

Terkait akses terhadap fasilitas kesehatan, responden yang mengakses fasilitas kesehatan (termasuk akses alat kontrasepsi, terapi hormon, dan obat-obatan ARV) dalam enam bulan terakhir memang menyatakan bahwa dari segi kemudahan, tidak ada hal yang berubah.

“Teman-teman akhirnya bahu membahu. Kasih sembako atau akses transportasi kalau mereka mau berobat,” katanya. 

Mendesak Gerak Aktif Pemerintah

Meski mengalami berlapis-lapis kekerasan, kalangan LGBTQ masih belum mempunyai ‘ruang aman’ yang memadai. Ketika dihadapkan dengan berbagai macam kekerasan dan diskriminasi, penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas LGBTQ cenderung akan meminta tolong kepada organisasi LGBTQ dan teman dibandingkan meminta tolong kepada aparat pemerintah dan penegak hukum. 

Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan komunitas kepada organisasi LGBTQ dan potensi teman/allies sebagai perpanjangan tangan organisasi LGBTQ untuk mendampingi korban kekerasan. Di sisi lain, rasa enggan komunitas LGBTQ untuk menghubungi aparat pemerintah dan penegak hukum ketika mengalami kekerasan dapat kita runut kembali pada diskriminasi dan kekerasan yang cenderung dilakukan oleh aparat pemerintah dan penegak hukum kepada komunitas LGBTQ selama tiga dekade terakhir. 

Beberapa bahkan menyatakan bahwa mereka merasa keamanannya terancam, jika melaporkan kasus kekerasan. Mereka khawatir laporan tersebut akan merepotkan dirinya serta orang-orang dekatnya. Hal ini juga menjadi isyarat keraguan komunitas LGBTQ ketika berhadapan dengan hukum, sekaligus menunjukkan kompleksitas kasus kekerasan secara umum. 

Paralegal LGBTQ, Amek Adlian mencontohkan, salah satunya dalam upaya pemulihan secara psikologis bagi LGBTQ yang telah terpapar kekerasan. Menurutnya, hingga saat ini layanannya masih minim dari pemerintah. Jika begini, komunitas LGBTQ yang kemudian bersolidaritas mengambil peran. 

“Gak semua daerah juga punya psikolog yang ramah. Jadi akhirnya, kalau kami menjalin kerja sama,” katanya di kesempatan sama.  

Pihaknya merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah di antaranya, Kementerian Kesehatan untuk menjamin akses yang memadai untuk penyediaan layanan kesehatan dasar yang inklusif, termasuk bagi kelompok minoritas seksual, selama masa pandemi COVID-19, seperti penyediaan alat kontrasepsi, obat- obatan ARV, dan layanan kesehatan mental. Selain itu, pemberian layanan tes PCR COVID-19 yang menyeluruh, gratis, dan inklusif; termasuk bagi anggota komunitas LGBTQ.

Pemberian stimulus ekonomi yang inklusif juga penting dilakukan, yakni melalui kebijakan pemerintah bagi pelaku usaha (termasuk kemudahan dalam mengajukan pinjaman dan kelonggaran dalam pengembalian pinjaman di masa pandemi COVID-19). Di samping, memastikan masyarakat mendapatkan informasi mengenai bantuan sosial dan cara mengaksesnya, serta menja

Pemerintah diharapkan juga tegas mendorong penegakan hukum yang transparan dan akuntabel, serta peran aktif aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan, khususnya yang terjadi di masa pandemi COVID-19.

Selain itu, membangun kerja sama dengan forum-forum layanan pengaduan, seperti forum layanan yang dimiliki Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan masyarakat sipil agar dapat menangani kasus-kasus kekerasan dengan lebih baik.

(Artikel ini merupakan Program ‘KEDAP atau Konde dan Kalyanamitra Program: Peliputan Kondisi Perempuan Marginal di Tengah Pandemi Covid-19’ Konde.co yang didukung oleh Kalyanamitra. Hasil peliputannya dapat dibaca di Konde.co setiap Senin secara Dwi Mingguan)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!