Aktivis: Tak Boleh Lagi Ada Alasan Teknis, RUU TPKS harus Segera Disahkan!

Maraknya kasus kekerasan seksual menandakan makin sempitnya ruang aman bagi perempuan, termasuk di dunia pendidikan maupun di institusi keagamaan. RUU TPKS sebagai payung hukum mendesak untuk segera disahkan. Aktivis perempuan menolak kalah.

“Pada 2017 saya berorasi seperti ini.  Dan hari ini, setelah empat tahun saya masih melakukan hal yang sama. Karena hingga kini kita masih harus memperjuangkan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meski korban kekerasan terus berjatuhan dan tidak tertangani sebagaimana semestinya.Semoga ini kali terakhir kita menggelar aksi, kita tidak perlu beraksi lagi karena RUU TPKS sudah disahkan,” 

Dengan wajah berpeluh Niniek Rahayu, mantan anggota Ombudsman RI menyampaikan orasinya di sela aksi “Menagih Janji DPR untuk Mengesahkan RUU TPKS” yang dgelar Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual di depan Gedung DPR RI pada Rabu (22/12/2021). Aksi ini digelar bertepatan dengan lahirnya Gerakan Perempuan Indonesia.

Niniek yang juga mantan komisioner Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menambahkan, Gerakan perempuan di Indonesia sudah memperjuangkan nasib perempuan sejak 22 Desember 1928 dalam Kongres Perempuan pertamanya. Di hari itu, para perempuan dari Jawa hingga Sumatera berkumpul dalam kongres perempuan untuk pertama kalinya.

Hari ini hampir seratus tahun lalu, ujarnya, menjadi saksi sejarah berkumpulnya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Beberapa isu dan permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam kongres tersebut antara lain tentang kedudukan perempuan dalam perkawinan, memperjuangkan nasib perempuan yang ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya, juga memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan Indonesia. Perjuangan para aktivis perempuan pada masa itu menjadi spirit perjuangan kami untuk lepas dari kekerasan seksual sebagaimana cita-cita dan perjuangan gerakan perempuan dulu.

Bertepatan dengan momentum peringatan Hari Pergerakan Perempuan Indonesia. Sebagai gerakan perjuangan, para aktivis mendesak DPR dan pemerintah mengembalikan spirit dari pencanangan hari Pergerakan Perempuan Indonesia 22 Desember, termasuk memastikan perempuan Indonesia bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual.

Mereka mendesak DPR untuk tidak lagi menunda pengesahan RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR.

“Tidak boleh lagi ada lagi alasan teknis seperti kemarin, RUU TPKS harus disahkan pada sidang paripurna DPR pembukaan masa sidang II 2021/2022, pada 13 Januari 2022!” Tegas Ratna Batara Munti dari Koalisi LBH Apik.

Tak hanya di Jakarta, jaringan aktivis yang terdiri dari 1.500 lebih individu dan 200 lebih lembaga yang fokus melakukan pendampingan, mengawal isu perempuan dan anak melakukan aksi secara serentak di sejumlah kota di Indonesia, seperti Yogyakarta dan Makassar.

Aksi di depan Gedung DPR RI dilakukan dengan membawa simbolisasi pakaian perempuan korban-korban kekerasan seksual. Simbolisasi pakaian korban ini dilakukan agar masyarakat luas, DPR, dan pemerintah mengetahui gentingnya kondisi kekerasan seksual di Indonesia.

Selain orasi, aksi juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi, pertunjukan seni serta  musikali puisi yang dilakukan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang datang jauh-jauh dari Bandung.

Para aktivis perempuan juga menyatakan mendukung perjuangan anggota dewan yang ada di dalam Baleg DPR yang telah membahas RUU TPKS, menyelesaikan tugasnya dan menyetujui RUU TPKS untuk disahkan dalam Sidang Paripurna DPR.

Namun, aksi juga meminta anggota dewan untuk memperjuangkan dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) dan segera mengagendakan pengesahannya dalam rapat paripurna DPR RI pada 13 Januari 2021.

Di akhir aksi para aktivis menyerahkan amplop besar berisi pernyataan sikap tentang kemendesakan pengesahan RUU TPKS. Kekerasan seksual di Indonesia saat ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Indonesia sudah dalam status darurat kekerasan seksual.

Data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dalam kurun waktu 1 Januari hingga 9 Desember 2021, ada 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari angka ini, 73,7% di antaranya  merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Selain itu juga terdapat 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 59,7% atau lebih dari separuhnya.

“Kasus kekerasan seksual yang makin marak terjadi menandakan makin sempitnya ruang aman bagi perempuan, termasuk di dunia pendidikan maupun di institusi keagamaan,” tegas Kustiah Hasyim dalam orasinya.

Dari fakta dan peristiwa di atas sudah cukup menggambarkan betapa perempuan, anak perempuan dan juga laki-laki sangat tidak terlindungi secara hukum.

Sudah saatnya DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU TPKS untuk melindungi masyarakat dari kekerasan seksual dan menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya.

Negara harus memastikan tidak ada lagi korban kekerasan seksual. Karena, kekerasan seksual berdampak serius terhadap kehidupan korban dan perilaku pelaku kekerasan seksual menjadi musuh bersama sebagai bangsa yang bermartabat.

Untuk itu Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual mendesak Badan Musyawarah (Bamus) sebagai, alat kelengkapan DPR RI segera mengagendakan dan mengajukan RUU TPKS kepada pimpinan DPR RI

Menagih janji dan mendesak pimpinan DPR RI mengesahkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR RI yang akan dilaksanakan pada Sidang Paripurna pembukaan masa sidang 2022 pada 13 Januari 2022.

Mendesak dilakukannya evaluasi terhadap Bamus sebagai alat kelengkapan DPR RI supaya melakukan kerja-kerja yang efektif dan transparan. Meminta publik mendukung pengesahan RUU TPKS

Para aktivis juga meminta kepada media untuk memberikan dukungan konten di media dan kampanye pengesahan RUU TPKS.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!