Akhir Perjuangan Stella Monica: Konsumen Pemberani Yang Divonis Bebas

Stella Monica, konsumen yang memprotes klinik kecantikan L’Viors Surabaya karena membuat wajahnya berubah memburuk, akhirnya divonis bebas Pada Desember 2021. Perjuangan Stella menunjukkan bahwa sebagai perempuan yang kritis dan berani, kita berhak untuk memprotes dan melawan jika dirugikan

Setelah pergi ke salon, wajah Stella Monica tiba-tiba berubah memburuk. Stella lantas membagikan pengalaman buruknya ini di media sosial. 

Ia mengunggah tangkapan layar percakapan dirinya dengan seorang dokter kulit di Instagram Story yang merupakan curahan hatinya tentang kondisi kulitnya yang meradang usai melakukan perawatan. 

Unggahan tersebut ditanggapi oleh kawan-kawannya yang juga membagikan pengalaman serupa karena pernah melakukan perawatan di klinik yang sama. Lalu Stella mengunggah komentar dan pengalaman kawan-kawannya tersebut.

Namun, ia justru digugat. Pada 21 Januari 2020, SAFEnet mencatat, Stella tiba-tiba menerima surat somasi dari pengacara klinik kecantikan tersebut yang menyatakan bahwa dia telah mencemarkan nama baik klinik dan harus memenuhi permintaan somasi dengan menerbitkan permintaan maaf di media massa (koran) minimal setengah halaman untuk tiga kali penerbitan berbeda hari. 

Setelah dikirimi somasi, Stella dan keluarga mencoba negosiasi berkali-kali karena permintaan tersebut dinilai memberatkanmereka.

Namun Pada 3 Juni 2020, sebanyak 6 orang anggota kepolisian dari Tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim mendatangi rumah Stella membawa surat laporan bahwa pihak klinik telah melaporkannya atas dugaan pencemaran nama baik. Polisi juga menyita HP sebagai barang bukti.

Konsumen yang kritis seperti Stella Monica, justru harus dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Padahal menjalani perawatan di klinik kecantikan jadi harapan Stella Monica, harapannya wajahnya bisa berubah dan ia akan mendapatkan pelayanan yang baik, dan informasi yang lengkap. Tapi hasil yang didapat ternyata tak sesuai harapan

Lewat perjuangannya selama 2 tahun, akhirnya putusan bebas tak bersalah dikeluarkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 14 Desember 2021 terhadap Stella Monica. Hal ini disambut positif oleh khalayak. 

Dibalik perjalanan ‘berliku’ yang dilakukan Stella monica, yang perlu kita perhatikanadalah penggunaan pasal karet Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang masih terus menjadi ancaman. Stella dilaporkan atas tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur pasal 27 ayat 3  Undang-undang (UU) nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Pasal karet yang dikenakan pada Stella kemudian diprotes banyak pihak. Unggahan Stella dinilai sebagai kritik dan review seorang konsumen yang merasa kecewa dengan apa yang dialaminya. Sementara dalam surat dakwaan disebutkan, Stella dianggap mendistribusikan dan mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dengan cara mengunggah screenshot percakapan direct message dengan saksi T, M dan A yang mengarah pada kegagalan klinik L’Viors dalam menangani pasiennya.

Tindakan yang diambil klinik L’viors untuk mengajukan gugatan, tak lain hanya berbekal curhatan Stella di media sosial media, tentang pengalamannya sebagai konsumen L’viors. Stella akhirnya tetap harus menjalani proses pengadilan karena kasus ini. 

Review Pelanggan, Jadi Jerat Hukum: Ancaman Kebebasan Berekspresi 

Pasal karet yang dikenakan pada Stella menuai banyak kritik, sebab apa yang dilakukan Stella tak lain hanya sebuah kritik, masukan atau yang dikenal dengan review dari seorang pelanggan (konsumen). 

Pada 19 Mei 2021 eksepsi atau keberatan dibacakan oleh kuasa hukum Stella. Kuasa hukum Stella mengungkapkan sejumlah alasan, yakni tak ada landasan yang cukup kuat hingga Stella harus diajukan ke pengadilan. Namun pengajuan pra peradilan ini ditolak hakim, sebab dinilai sudah masuk materi perkara. Majelis hakim pun meminta jaksa penuntut umum untuk melanjutkan perkara.

Proses peradilan akhirnya dilanjutkan. Meski sempat kecewa, Stella tak menyerah begitu saja, apalagi dukungan padanya mulai berdatangan dari pelbagai pihak. Salah satunya yakni dari Kompak (Koalisi Pembela Konsumen).

Memperoleh banyak dukungan Stella mulai percaya diri, dan memiliki kekuatan lebih untuk melaporkan kembali klinik L’viors atas dugaan pelanggaran UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen.

Dalam proses persidangan, saksi ahli pidana, Ahmad Sofian, pada 6 Oktober 2021 sempat menegaskan bahwa apa yang dilakukan Stella tidak dapat dijerat dengan UU ITE. Namun ternyata kesaksian itu tak cukup menghentikan persidangan.

Berlanjut ke 21 Oktober 2021, jaksa penuntut umum menuntut Stella dengan tuntutan 1 tahun penjara dan denda 10 juta subsider 2 bulan. Menurut Safenet, Jaksa Penuntut Umum tidak menjalankan Surat Keputusan Bersama Nomor 229 Tahun 2021, 154 Tahun 2021, nomor KB/2/VI/2021 Tentang Pedoman Implementasi UU ITE sebagai rujukan. 

Jaksa juga tidak menguraikan unsur-unsur pasal 310 dan 311 dalam KUHP yang merupakan genus delik dari pasal 27 ayat 3 jo. 45 ayat 3 sesuai putusan MK nomor 50/PUU-VI/2008. Dalam pasal 310 KUHP dan SKB UU ITE pelapor seharusnya perorangan, bukan korporasi.

Hingga akhirnya pada 14 Desember 2021, Stella dinyatakan bebas dari tuntutan, dan ia dinyatakan tidak bersalah. Kurang lebih setahun, Stella dan keluarga harus menghadapi dinamika proses persidangan. Harapan yang hampir putus juga sempat dialaminya sebelumnya akhirnya dia dinyatakan tidak bersalah.

Tak banyak orang yang bisa mengakses layanan hukum dan pendampingan hukum dengan baik. Menurut catatan Amnesty Internasional Indonesia,setidaknya ada 15 kasus dari 18 korban UU ITE terkait kebebasan berekspresi.

Di sisi lain, kasus pemidanaan terhadap netizen mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam dua tahun terakhir, yakni dari tahun 2019 ke 2020. Hal ini tak lain dikarenakan oleh tafsiran yang tidak jelas, juga tolak ukur yang bias pada beberapa pasal di UU ITE.

Pasal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dianggap sebagai pasal karet karena siapapun bisa dengan mudah menggunakannya untuk memperkarakan orang lain. Termasuk pihak-pihak anti kritik.

Tentu ini sangat bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia untuk bersuara. Tak sedikit pejabat yang menggunakan pasal ini sebagai bentuk resistensi terhadap kritik yang diluncurkan kepada mereka.

Luhut Binsar Pandjaitan, juga menggunakan undang-undang yang sama, untuk melawan Haris Azhar dan Aktivis KontraS, atau masihkah kita ingat dengan nasib  Baiq Nuril beberapa tahun lalu, korban pelecehan seksual yang malah terkena UU ITE karena menceritakan pengalamannya di sosial media?

Kenyataan ini membuka mata kita, bahwa tak ada ruang aman yang bisa dijanjikan negara untuk warganya di era digital ini. Masih banyak celah bagi pemilik kepentingan agar bisa membentengi diri dengan pasal-pasal karet, seperti yang ada di dalam UU ITE. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Tentu mendesak DPR RI agar segera merevisi UU ITE, supaya tak ada lagi korban berjatuhan akibat pasal karet ini.

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!