Bongkar Bias Kelas dalam Pembahasan RUU Perlindungan PRT, PRT Lancarkan ‘Bom’ Panci

Banyak pemberi kerja yang memperlakukan pekerja rumah tangga (PRTnya) dengan sangat baik, tetapi saat diminta mendukung RUU Perlindungan PRT menolak karena tak ingin PRTnya setara dengan mereka.

Tahun ini Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) bakal genap berusia 18 tahun. Namun demikian nasib RUU ini justru kian tak menentu.

Pada Juli 2020 sebenarnya RUU Perlindungan PRT sudah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas, dan sudah disetujui di Baleg. Namun pada 8 Desember lalu, pimpinan Fraksi Partai Golkar dan PDIP menolak membawa rancangan beleid ini untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR di rapat paripurna. Diskresi dari pimpinan dua fraksi mayoritas di DPR ini membuat nasib RUU Perlindungan PRT makin terkatung-katung.

Ada sejumlah alasan kenapa ada orang menganggap RUU ini tak penting. Salah satunya, adalah adanya bias kelas di kalangan anggota dewan dan sebagian anggota masyarakat sehingga nasib RUU yang diharapkan bisa memberi payung hukum bagi sekitar 5 juta PRT yang hingga kini belum diakui sebagai pekerja.

“Banyak pemberi kerja yang memperlakukan pekerja rumah tangga (PRTnya) dengan sangat baik, tetapi ketika diminta untuk mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT mereka angkat tangan. Ini karena mereka tak ingin PRTnya setara dengan mereka,” ujar Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari di sela diskusi daring bertajuk “Menuju Politik Berkesadaran Kemanusiaan: Pendidikan Karakter: Membangun Kesadaran Kemanusiaan dan Kerakyatan,” pada Jumat (7/1/2022)

Ditambahkan Eva, ada persepsi yang salah terhadap RUU Perlindungan PRT. Salah satunya, semangat gotong royong yang selama ini diterapkan dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dengan PRT atau juga akan ada lonjakan upah jika beleid ini disahkan.

Mantan legislator dari PDIP ini menegaskan, kekhawatiran itu tidak seharusnya ada karena salah satu asas penyusunan RUU ini adalah gotong royong dan kemanusiaan.

Eva menambahkan, segala hambatan itu tidak akan membuatnya menyerah. Ia mengajak para pendukung RUU Perlindungan PRT, seperti Jala PRT, Komnas Perempuan, Kowani, para aktivis dan tokoh agama untuk terus menggaungkan kampanye pengesahan RUU Perlindungan PRT.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Ruma Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan bahwa para pengambil kebijakan yang merupakan pejabat dan memiliki PRT di rumahnya, malah mengambil sikap sebagai majikan dalam menyikapi urusan ini,

“Ada conflict of interest. Jadi mereka lebih mewakili diri mereka sebagai majikan, dari pada sebagai wakil rakyat yang harus memberikan perlindungan bagi wong cilik seperti PRT dan pemberi kerja dari praktek-praktek yang tak baik,” kata Lita.

Titik Rahmawati pakar kesetaraan gender yang dihadirkan dalam diskusi ini menyebutkan, penolakan ini karena ada ketidak-siapan sebagian anggota masyarakat bakal akan ada aturan yang mengatur urusan domestik mereka.

“Padahal kalau mereka sudah sadar keadilan gender yang hakiki tidak akan berpikir seperti itu. Mereka yang sudah sadar gender tidak akan memandang PRT yang dipekerjakannya di posisi yang lebih rendah tetapi menempatkan mereka sebagai mitra,” tegasnya.

PRT dalam Islam

Pengesahan RUU Perlindungan PRT menjadi salah satu tugas yang diamanahkan PBNU dalam Muktamar di Bandar Lampung, awal Desember lalu. Anggota Komisi Qanuniyah NU Nyai Hj Badriyah Fayumi mengatakan, RUU Perlindungan PRT penting untuk memberikan pengakuan terhadap PRT sehingga mereka punya payung hukum perlindungan. Bentuk perlindungan itu antara lain adalah kontrak kerja yang fleksibel, yang berdasarkan kesepakatan dengan prinsip saling rela dan musyawarah.

“Yang penting kontrak kerja itu menjelaskan hak dan kewajiban,” ujarnya.

Alumnus Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah ini mengatakan di era Nabi atau lebih 13 abad lalu, masalah tentang khodim atau PRT ini sudah selesai. Sehingga ironi jika sekarang masih ada masyarakat yang menyoal atau menolak pengaturan tentang masalah ini.

Melengkapi penjelasan Nyai Badriyah, Anggota Komisi Qanuniyah, H Aniq Abdullah menjelaskan keputusan PBNU mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dilandasi oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan pandangan para ulama yang termaktub dalam kitab-kitab yang mu’tabar.

Dalam kitab Mughnil Muhtaj misalnya, dijelaskan bahwa menghadirkan pelayan merupakan salah satu kewajiban suami dalam memberi nafkah bagi istrinya. Namun, pelayan tersebut terkadang ada yang sukarela, ada pula yang dikontrak dengan upah tertentu (ijarah). Karenanya, pelayan di dalam rumah tangga ini tergolong kepada ajir, orang yang menerima upah.

Mengutip sebuah hadits, Aniq menambahkan bahwa hubungan pelayan dan pemilik rumah harus dilandasi dengan asas kekeluargaan. Di mana hubungan pekerja dan pemberi kerja itu harus dilandasi dengan semangat persaudaraan.

Selain itu Islam juga melarang adanya eksploitasi terhadap PRT. Sehingga harus ada waktu dan durasi kontrak yang jelas. PRT jug atidak boleh dituntut ganti rugi atas kerusakan akibat pekerjaannya kecuali ditemukan ada kelalaian di dalamnya.

“Selain itu harus ada upah yang jelas dan berhak melaksanakan ibadah,” terang Aniq.

Dari sisi agama, juga tidak ada satu agamapun yang membenarkan pembedaan posisi seseorang hanya karena kemampuan ekonominya.

Gerakan pukul panci

Untuk menggolkan pengesahan RUU Perlindungan PRT, Jala PRT menyerukan kampanye besar-besaran. Salah satunya adalah gerakan pukul panci untuk mengetuk nurani anggota Dewan sehingga RUU ini segera dibahas dan disahkan.

“Kita bom media social dengan kampanye pukul panci untuk menuntut pengesahan RUU Perlindungan PRT,” ujar Lita Anggraeni.

Lita menargetkan ada ribuan video aksi pukul panci yang akan meramaikan jagat maya pada hari Minggu 9 Januari 2022 nanti. Video-video ini akan diunggah serentak pada hari yang sama untuk menuntut pembahasan RUU Perlindungan PRT.

Sejak diusulkan pada 2004, baru pada 2010 RUU ini masuk dalam tahap pembahasan di Komisi 9 DPR. Sepanjang 2011 hingga 2012, Komisi Ketenagakerjaan DPR itu telah melakukan riset di 10 kabupaten/kota, uji publik di 3 kota, hingga studi banding ke dua negara. Pada 2013, draf RUU akhirnya diserahkan ke Baleg.

Namun masuk ke masa bakti DPR 2014-2019, RUU ini seakan lenyap dan hanya sebatas masuk ke daftar tunggu Prolegnas. Harapan baru muncul di periode DPR 2019-2024. Pada Juli 2020, RUU Perlindungan PRT selesai dibahas di Badan Legislasi dan tinggal masuk ke Badan Musyawarah (Bamus). Namun, RUU ini hampir hilang dari Prolegnas Prioritas 2021. Terakhir, rapat Bamus pada 8 Desember RUU ini tidak berhasil dibawa ke paripurna untuk dijadikan RUU inisiatif DPR untuk kemudian dibahas dan disahkan.

Ada delapan fraksi yang menyatakan dukungan pada RUU ini. Diketahui dua fraksi yang belum memberi sikap tegas adalah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Upaya untuk membawa RUU Perlindungan PRT ke Rapat Paripurna harus tetap dikawal. RUU Perlindungan PRT dinilai sangat penting. Ketiadaan payung hukum membuat jutaan PRT bekerja dalam kondisi kerja tak layak, tanpa jaminan sosial, diupah rendah, jam kerja panjang,

Data organisasi buruh sedunia (International Labour Organization/ILO) mencatat, pada 2015 jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang dan diperkirakan terus tumbuh. Data Jala PRT pada 2020 memperkirakan bahwa ada lebih dari 6 juta PRT di Indonesia.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!