Ironi Film ‘Penyalin Cahaya’: Didedikasikan untuk Korban, Sayang Krunya Lakukan Kekerasan Seksual

Film “Penyalin Cahaya” adalah sebuah film yang diproduksi untuk melawan ketidakadilan yang dialami para korban kekerasan seksual. Tapi diam-diam, salah satu kru yang punya peran penting, diduga justru melakukan kekerasan seksual. Ini merupakan ironi, sekaligus tantangan yang harus dihadapi di industri film

Ironi itu terungkap tiga hari menjelang film Penyalin Cahaya dirilis di Netflix. Salah satu kru film yang banyak dipuji karena sukses mengangkat tema perjuangan korban kekerasan seksual ini, dilaporkan terkait pelecehan seksual yang dilakukannya di masa lalu.

Lebih ironis lagi, sang kru yang diduga melakukan pelecehan ini mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia perfilman Indonesia yakni: Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2021.

Ironi itu diungkap dalam surat pernyataan Rekata Studio dan Kaninga Pictures, dua rumah produksi yang berada di belakang produksi film terbaik di FFI 2021 ini. Surat pernyataan ini diunggah di akun Instagram resmi Rekata Studio dan akun Wregas Bhanuteja @wregas_bhanuteja pada Senin (10/1/2022). Berikut isi lengkapnya:

Kami Rekata Studio & Kaninga Pictures berkomitmen untuk memberikan ruang aman yang bebas dari pelecehan seksual dan kami akan selalu berpihak pada penyintas. Menjaga lingkungan produksi film yang bebas dari pelecehan seksual adalah juga merupakan misi utama kami. Proses syuting film ‘Penyalin Cahaya’ yang berjalan dengan aman selama 20 hari di Januari 2021 adalah bukti komitmen kami.

Berdasarkan informasi yang kami terima dari suatu komunitas yang mengelola pelaporan terhadap peristiwa pelecehan seksual, kami mendapati sebuah nama dari tim film Penyalin Cahaya tercatat sebagai terlapor akan dugaan perbuatan di masa lalunya.

Sebagai tanggung jawab etik atas koitmen kami dan untuk menghormati pelaporan dan proses yang akan terjadi setelahnya, kami memutuskan untuk menghapus nama terlapor dari kredit film ‘Penyalin Cahaya’ dan di materi-materi publikasi film. Pihak terlapor tersebut tidak lagi menjadi bagian dari film Penyalin Cahaya dan Rekata Studio.

Rekata Studio & Kaninga Pictures sangat serius dalam menyikapi kejadian ini dan kami berharap proses-proses yang terjadi setelah pelaporan ini berjalan denga mengakomodir kepentingan penyintas dan dapat terselesaikan sesuai jalur yang tepat.

Terima kasih”

Dalam pernyataan tersebut, Rekata Studio dan Kaninga Pictures memastikan komitmen mereka memberantas pelecehan seksual sekaligus menghormati pelaporan berikut proses hukum yang terjadi setelahnya. Namun pernyataan itu tidak menyebutkan kasus apa dan siapa nama kru film Penyalin Cahaya yang menjadi terlapor kasus kekerasan seksual.

Surat pernyataan ini tak urung bikin gempar penggemar film Tanah Air. Pro kontra pun riuh di media sosial. Banyak warganet yang mengapresiasi dan menyatakan sikap respek mereka atas sikap yang diambil Rekata Studio dan Kaninga Pictures yang mencoret nama sang awak dari kredit title. Sikap ini sebelumnya jarang dilakukan.

Namun, tidak sedikit juga yang bersikap skeptis karena dari info yang beredar, tim film ini sudah tahu kasus ini sejak lama, namun mendiamkannya. Informasi dari salah satu narasumber yang didapatkan Konde.co, korban pelecehan tak hanya satu orang. Namun ketika dimintai konfirmasi mengenai kasus ini, pihak Rekata belum bersedia memberikan jawaban.

Didedikasikan untuk korban kekerasan seksual

Film fiksi panjang yang menjadi debut Wregas ini mengisahkan tentang Sur, mahasiswi berprestasi penerima beasiswa yang menjadi korban kekerasan. Foto selfienya yang tengah mabuk saat menghadiri pesta kemenangan teater kampusnya beredar luas di lingkungan kampus.

Tersebarnya foto ini membuat Sur kehilangan kesempatan mendapatkan beasiswa karena dianggap mencemarkan nama baik fakultas. Oleh karena itu, Sur meminta Amin, sahabatnya yang merupakan pemilik kios fotokopi di kampus untuk menyelidiki apa yang terjadi pada dirinya ketika berada di pesta.

Penyalin Cahaya lahir dari pengamatan Wregas akan banyaknya penyintas kekerasan seksual yang tidak mendapat ketidakadilan. Pada konferensi pers film Penyalin Cahaya pada awal September 2021 lalu, Wregas mengungkap harapannya agar pesan perlawanan terhadap kekerasan seksual dapat tersampaikan kepada penonton.

“Film ini adalah suara untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat kita hari ini,” ujarnya kala itu.

Selama ini banyak penyintas yang menyimpan traumanya, bahkan kepada orang terdekat. Semua itu akibat sistem yang mengabaikan kasus kekerasan seksual dan menolak untuk percaya korban.

Penyalin Cahaya berhasil mencatat prestasi mengesankan dengan meraih 17 nominasi di FFI 2021, November lalu. Dan akhirnya menyabet 12 Piala Citra yaitu untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Wregas Bhanuteja, Pemeran utama laki-laki terbaik untuk Chicco Kurniawan. Piala Citra juga dberikan untuk Jerome Kurnia sebagai Pemeran pendukung pria terbaik, Penulis skenario asli terbaik untuk Wregas Bhanuteja dan Henricus Pria, Pengarah sinematografi terbaik untuk Gunnar Nimpuno, I.C.S. Penyunting gambar terbaik untuk Ahmad Yuniardi, Penata musik terbaik untuk Yennu Ariendra, Penata suara terbaik untuk Sutrisno dan Satrio Budiono, Pencipta lagu tema terbaik untuk Mian Tiara, Pengarah artistik terbaik untuk Dita Gambiro, dan Penata busana terbaik untuk Fadillah Putri Yunidar.

Sayang di balik gemerlap ini, tersimpan kisah suram tentang kekerasan seksual yang diduga dilakukan salah satu krunya.

Pelecehan seksual di industri film

Bagaimana kondisi dan situasi perempuan di industri film? Dalam sebuah talkshow daring yang pernah dihelat Never Okay Project (NOP) pada 2020 lalu terungkap, kekerasan seksual sudah sering terjadi di industri film Indonesia, namun jarang yang berani mengekspose. Pasalnya di industri film, pelecehan seksual masih tabu untuk dibicarakan.

Candaan bernada body shaming, stereotyping seolah menjadi hal yang biasa di dunia film. Sehingga dibutuhkan edukasi untuk menghentikannya. Jika ada korban yang berani membuka, seringnya justru dianggap berlebihan, atau dianggap suka mengeluh dan terlalu sensitif. Jadi para korban sering merasakan sendiri dan memendam bertahun-tahun. Para korban tidak bisa bicara karena ada gap di film, korban harus kuat dulu baru bisa bicara. Jadi tidak ada kepastian bagaimana menyelesaikannya.

Karena banyak yang tidak mengakui ini sebagai masalah, maka masalah ini sering terulang. Hal ini terpapar dalam diskusi tentang pelecehan seksual di industri film yang pernah digelar oleh Never Okay Project (NOP) tersebut

Pengamat film, Adrian Jonathan Pasaribu yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut mengatakan, pelecehan sering menimpa perempuan-perempuan muda yang sedang belajar atau merintis karier di dunia film, misalnya mereka menjadi relawan atau volunteer pada pemutaran film, festival film, workshop-workshop.

Pelecehan dan kekerasan juga menimpa filmmaker yang ingin filmnya bisa berkompetisi dalam festival film. Untuk itu kadang mereka harus mau diajak kencan terlebih dulu. Pelakunya adalah pimpinan mereka atau senior mereka.

“Jadi yang sering terjadi ketika ada relasi kuasa dan yang terjadi hampir semua korbannya adalah perempuan. Biasanya volunteer yang diterima ini juga karena panitia menganggap volunteer-nya cantik, padahal ini kultur patriakis, sangat diskriminatif. Selalu ada iming-iming untuk ajakan kencan, lalu mereka akan diberikan akses lebih. Dan rata-rata akses ini yang punya adalah pimpinan mereka yang kedudukannya di atas korban,” ujar Adrian.

Jadi, ujarnya, siapa yang berkuasa, dia yang akan memegang kendali. Dan korban biasanya takut untuk melawan karena posisinya lemah, mereka sedang bekerja dan diawasi.

Mian Tiara dalam diskusi tersebut juga membenarkan adanya relasi kuasa ini. Ia melihat adanya pola tertentu, seperti korban adalah anak baru dan pelaku adalah senior atau orang lama di film. Sebagai anak baru mereka bingung mau berbuat apa? Apakah diam atau harus mengikuti kebiasaaan ini ataukah menolak?

“Yang saya alami juga seperti itu, ketika sedang shooting, ada yang ingin melancarkan usaha tertentu. Lalu saya mencerna dan selalu ada yang mau masuk atau pola-pola untuk melakukan pelecehan,” terangnya.

Pelecehan juga kerap terjadi dalam proses produksi, ketika aktris dan aktor sedang membangun proses chemistry agar emosinya dapet. Pelecehan bisa secara fisik, verbal maupun psikis.

Vregina Diaz Magdalena dari Never Okay Project mengungkapkan pengalaman dan fakta yang dilihatnya. Bagaimana pekerja perempuan tiba-tiba saja digenggam tangannya, disentuh atau dilirik penuh nafsu.

“Saya pernah magang, hari itu saya harus bertemu investor bersama penulis. Investor ini dengan gampangnya menggoda aku. Saya bingung, kalau saya protes nanti projectnya tidak bisa jalan. Dia melancarkan godaan-godaan yang membuat saya dan teman saya risih, dan ternyata pelecehan ini sudah terjadi sejak masa proses pra-produksi,” katanya.

Adrian menyebutkan sejauh ini baru ada sanksi sosial untuk pelaku pelecehan seksual di dunia film. Untuk kasus senior film yang melakukan kekerasan seksual misalnya, komunitas film tidak lagi mengundang pelaku sebagai pembicara atau mentor.

Pihaknya juga pernah mengirim surat ke Dirjen kebudayaan di mana pelaku sedang mengerjakan pekerjaan Dirjen Kebudayaan, untuk memberitahu bahwa pelaku sedang berkasus dan berdampak pada korban. Sejak itu kementerian membuat Standar Operasional/ SOP untuk menjaga kegiatan pemerintah stop dari kekerasan seksual.

Menyikapi sering terjadinya kasus pelecehan di dunia film, Adrian bersama sejumlah praktisi perfilman seperti Lisabona Rahman, Agus Mediarta, Albertus Wida Wiratama, Amerta Kusuma, Arie Kartikasari, Lintang Gitomartoyo, Maza Radita, dan Vauriz Bestika lantas membuat kampanye #SinematikGakHarusToxic.

Kampanye yang diluncurkan pada Maret 2019 ini untuk melawan pelecehan kekerasan seksual di film, menyusul terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu senior di komunitas perfilman. Setelah diinvestigasi, ternyata korbannya banyak dan mereka bingung harus mengadu kemana.

“Kami membuat kampanye #SinematikGakHarusToxic, karena di film, ngobrolin hal seperti ini merupakan sesuatu yang baru yang jarang dibicarakan, situasinya sangat baru dan belum ada kebiasaan untuk saling bercerita,” kata Adrian kala itu.

Kabar baiknya, sejumlah rumah produksi sudah berupaya untuk mencegah pelecehan dan memasukkan klausul hukum yang memberikan keamanan dan kenyamanan pada pekerja. Salah satunya rumah produksi Miles, di mana Mira Lesmana sebagai pemilik akan memberhentikan kru filmnya ketika terbukti melakukan kekerasan seksual.

Rumah produksi Kalyanashira milik Nia Dinata juga sudah lama memberlakukan larangan kekerasan dan pelecehan seksual dalam produksi filmnya.

“Aku mempekerjakan banyak orang termasuk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), jadi ketika ada pelecehan seksual, 30 menit kemudian ada yang melapor, harus ada yang menyelesaikan segera. Nah, pemimpin produksi film seharusnya melakukan ini karena jika di film pendek yang dibuat komunitas biasanya relasinya sangat cair dan pemimpin filmnya kurang paham soal kekerasan seksual. Maka ini yang harus dibangun, harus ada pemimpin film yang menjadi leader,” kata Nia Dinata.

(Foto: Rekata Studio)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!