Ivan Gunawan Punya “Spirit Doll”: Bukti Bahwa Boneka Bukan Cuma Mainan Perempuan

Ramainya orang punya "spirit doll atau boneka arwah", termasuk artis, Ivan Gunawan membuktikan bahwa boneka tak melulu merupakan mainan perempuan, tapi juga laki-laki. Jadi, mari kita menormalisasi laki-laki ‘bermain’ boneka.

“Kamu kok mainan boneka, kayak cewek”

“Cowok itu mainannya mobil-mobilan, kok sukanya boneka”

Pernah gak sih kamu dengar kata-kata seperti itu? Jika pernah atau bahkan sering, artinya kamu pernah berada di tengah masyarakat yang masih kental dengan stigmatisasi serta konstruksi sosial (gender) yang membedakan, bahwa laki-laki harus maskulin dan perempuan mesti feminin.

Bermain boneka termasuk dalam konstruksi feminin yang erat dengan kegiatan perawatan, pengasuhan, hingga mencurahkan kasih sayang. Hanya perempuan yang “sepantasnya” memegang peran ini. Sementara laki-laki, dituntut untuk bermain yang bisa mengasah ketangkasan, kekuatan dan petualangan. 

Munculnya designer, Ivan Gunawan, yang belakangan ini ramai diperbincangkan karena memiliki “spirit doll” menyerupai boneka bayi, seolah mematahkan anggapan itu. Bahwa boneka tak memulu hanya untuk perempuan.

Igun sapaan akrab Ivan Gunawan itu mengatakan, dirinya telah merawat dua boneka yang dianggapnya ‘anak’ bernama Miracle dan Marvelous. Layaknya seorang bayi, dia bahkan menyiapkan kamar khusus untuk mereka hingga babysitter

“Lebih happy… kalau mau liat keaslian Igun itu pada saat pulang ke rumah. Dari dulu aku gak pernah tidur sendiri, dia tidur di sebelah aku, ngerasa di kamar itu gak sendiri, kalau pagi, aku bawa ke teras aku jemur,” ujar Igun dalam channel youtubenya, Ivan Gunawan, pada 28 Desember 2021 lalu.  

Seperti halnya pehobi motor ataupun mobil, Igun bilang, merawat spirit doll-nya itu juga seolah bisa menjadikan hobinya itu bisa berinteraksi dengan sesuatu yang “bernyawa”. 

“Sama halnya dengan cowok-cowok memelihara mobil, itu kan kayak di lap-lap, diajak ngomong,” imbuhnya. 

Bukan hanya memberikan efek menenangkan, merawat keduanya boneka yang disapanya Eqqell dan Marvel, juga menjadikannya kreatif.  

“Jadi pekerja seni itu pasti ada gila-gilanya, gak mungkin gak ada gilanya, kalau menurut aku, ini part kegilaan aku aja,” kata Igun yang mendapatkan bonekanya itu dari sahabat artisnya, Ruben Onsu.

Dalam video itu, Igun berbincang dengan Furi Harun yang memang dikenal sebagai pemilik ratusan boneka arwah. Menurutnya, boneka yang dimiliki Igun itu hanyalah boneka biasa yang tidak berisi arwah. Hanya saja, Igun memang memperlakukan dan memberikan kasih sayang boneka itu dengan tulus layaknya bayi yang bernyawa.  

Tak hanya Igun, Ruben Onsu pun memiliki boneka bayi bernama Robby. Selain itu, ada pula, artis-artis tanah air yang memiliki “spirit doll” di antaranya, Wendy Walters, Celine Evangelista, Nora Alexandra, Soimah hingga Lucinta Luna.

Laki-laki ‘Bermain’ Boneka, Kenapa Tidak? 

Mirip dengan ‘pink untuk cewek dan biru untuk cowok’, boneka yang seolah diperuntukkan hanya untuk perempuan tak dipungkiri dinarasikan sejak kita kecil. Ini sebabnya, laki-laki yang menyukai pink dan bermain boneka tampak begitu aneh karena melawan konstruksi sosial yang masih berkembang hingga kini.

Dilansir The Conversation, sekitar tahun 1940-an produsen mainan menangkap gagasan bahwa perlu adanya pembedaan khas pemasaran berdasarkan gendernya. Maka lahirlah, ide warna pink untuk anak perempuan dan biru untuk anak laki-laki. 

Pada era itu, pemasaran mainan berdasarkan gender di Amerika Serikat kemudian sangat mencolok. Di tiap toko mainan misalnya, nyaris semuanya menampilkan sebagian besar boneka barbie untuk anak perempuan dengan nuansa pink. Sementara, lorong lainnya untuk anak laki-laki yang sebagian besar berwarna biru serta banyak menampilkan permainan pahlawan super dan truk. 

Dengan kata lain di Amerika kala itu, mainan untuk perempuan menekankan keindahan dan pengasuhan. Sedangkan mainan untuk laki-laki cenderung lebih agresif dan melibatkan akses serta kegembiraan.

Pada sekitar bulan September 2019, perusahaan Amerika sempat membuat pengumuman telah memasarkan boneka yang genderless dengan brand bernama Mattel. Boneka itu sengaja dibuat dengan tidak secara jelas mengidentifikasi laki-laki ataupun perempuan. Boneka itu memiliki berbagai set pilihan pakaian dan bisa didandani dengan aneka gaya rambut. 

Mattel disebutkan, dibuat berdasarkan penelitian pada anak-anak di AS yang tidak ingin mainan mereka didikte oleh norma-norma gender. Hasil penelitian terbaru, melaporkan bahwa 24% remaja di AS memiliki orientasi seksual atau identitas gender non-tradisional seperti biseksual dan non-biner. Dan keputusan itu, masuk akal secara bisnis. 

Adanya Mattel ini, juga telah menjadi sosialisasi bahwa soal gender itu tidak biner alias dibatasi hanya dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Namun, Mattel ingin menunjukkan bahwa sudah saatnya mainan termasuk boneka bisa digunakan untuk semua gender. Termasuk laki-laki, sebab yang selama ini stigma yang paling kuat adalah di kalangan laki-laki ketika memainkan sesuatu yang identik dengan feminin.

Sebuah studi tahun 2017 menunjukkan, lebih dari tiga perempat yang disurvei mengatakan 80% orang tua mendukung anak dan remaja perempuan bermain mainan yang berhubungan dengan lawan jenis (laki-laki).

Tetapi kondisi itu berbanding terbalik dengan dukungan terhadap laki-laki, kala dia memainkan mainan lawan jenis (perempuan), hanya sekitar 64% orang tua yang mengaku mendukung. 

Saatnya Mengajarkan Toleransi Gender

Seperti halnya boneka Mattel yang mengajarkan kita, bahwa perlu adanya variasi yang sangat dibutuhkan dalam mainan anak-anak. Orang tua perlu belajar lebih banyak toleransi tentang bagaimana anak-anak mengekspresikan gender secara berbeda-beda dari mainannya termasuk boneka. 

Baik perempuan maupun laki-laki, mereka berhak untuk mendapatkan dukungan dalam menghargai dan mempraktikkan sifat feminin salah satunya lewat merawat boneka bayi. Di antaranya lewat latihan mengkomunikasikan emosi, merawat orang lain, hingga keterampilan dan kasih sayang untuk merawat hubungan yang sehat. 

Dengan pemahaman seperti itu, setidaknya kita bisa mengikis patriarki yang selalu menempatkan maskulinitas menjadi paling utama. Sementara, feminin yang notabene dilekatkan dengan perempuan dianggap lebih lemah. Konstruksi gender yang selama ini banyak merugikan bahkan menyebabkan kekerasan pada perempuan. 

Seorang dokter yang menulis di laman resmi Klikdokter, dr. Devia Irine Putri mengatakan, tak perlu khawatir atau cemas jika laki-laki bermain boneka. Perilaku itu normal dan sangat sehat baik untuk perempuan maupun laki-laki. Kegiatan itu, justru bisa menjadi permainan imajinatif yang bisa memicu daya kreativitas anak. 

Bermain boneka menurutnya, juga mempunyai banyak manfaat lainnya termasuk dalam menanamkan sifat baik. Seperti, sisi lembut hingga tanggung jawab dalam pengasuhan serta perawatan. 

“Tidak ada hubungan antara perilaku bermain boneka dan homoseksualitas,” pungkasnya. 

Jadi, mari kita menormalisasi laki-laki ‘bermain’ boneka.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!