Kekerasan Seksual di Pesantren Shiddiqiyyah: Korban Butuh Waktu Panjang Tuntaskan Kasus

Untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang dialami, korban ada yang butuh waktu sampai 2 tahun atau lebih. Hal ini juga terjadi pada santriwati Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang yang menjadi korban kekerasan seksual dari salah satu pengurus pesantren.

Kasus kekerasan seksual yang menimpa sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Shidiqiyah Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang akhirnya dinyatakan P21. Kekerasan seksual ini diduga dilakukan oleh MSAT, anak dari pemilik dan pengasuh Pondok Pesantren Shidiqiyah dan pengelola sejumlah usaha pesantren tersebut. Peristiwa ini sudah dilaporkan ke polisi sejak Oktober 2019 atau lebih 2 tahun lalu.

Berkas penyidikan kasus kekerasan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang, dengan tersangka Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT) dinyatakan lengkap atau P21 dan telah dilimpahkan Polda Jawa Timur ke Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur beberapa hari lalu. 

Kekerasan seksual ini berlatar belakang relasi kuasa, mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren, serta pemilik pusat kesehatan ternama disana.

Kala itu Pondok pesantren tersebut sedang melakukan rekrutmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok. Sedangkan para korban adalah anak didiknya.

“Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan. Demikian pula fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan di bawah ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya,” terang komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers bersama pada Kamis (6/1/2021). 

Jumpa pers bersama ini untuk memaparkan panjangnya perjuangan para santriwati dalam menuntaskan kekerasan seksual yang mereka alami. Jumpa pers dihadiri Ketua Kompolnas Irjenpol purn. Benny Jozua Mamoto, Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, dan komisioner Ombudsman RI J. Widijantoro.

Agar bisa dinyatakan P21, penanganan kasus ini cukup panjang. Sejak dilaporkan ke Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 dengan No. LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG butuh waktu lebih dari dua tahun penyidikan sebelum kemudian ditingkatkan ke tingkat penuntutan.

Polisi juga harus tujuh kali bolak-balik melengkapi berkas pemeriksaan agar bisa dinyatakan P21. Selain itu, intervensi dari pihak-pihak tertentu juga sangat kuat dirasakan, baik oleh para korban, saksi, pendamping hingga pihak Polres Jombang yang menangani kasus ini.  

“Faktanya para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah diberhentikan. Relasi kuasa demikian pula yang mengakibatkan para korban takut melapor dan kekerasan seksual berlangsung dalam kurun waktu lama dan makin meluas terjadi pada santriwati lain,” tambah Aminah. 

Menurut Siti Aminah, hal ini juga tak lepas dari perspektif aparat penegak hukum dalam memaknai ‘kekerasan’ dan ‘ancaman kekerasan’ yang harus bersifat fisik, kesalahan penulisan hasil visum dan barang bukti yang dimintakan telah hilang HP. 

Penanganan kasus ini kian pelik, dengan terjadinya tindak penganiayaan, ancaman kekerasan pada seorang Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang tergabung dalam Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS) pada 9 Mei 2021. 

Peristiwa penganiayaan tersebut adalah salah satu akibat dari penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual serta pada ketidakpastian hukum, impunitas pelaku kekerasan seksual, dan risiko pelanggaran hukum yang berkelanjutan. 

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, sejak Januari 2020, pihaknya telah memberikan perlindungan kepada 7 saksi dan/atau korban untuk kasus Kekerasan Seksual dan 4 saksi dan/atau korban untuk kasus penganiayaan pada saksi. Hal ini karena adanya tingkat ancaman yang tinggi dalam kasus ini sehingga membahayakan keselamatan saksi dan korban.  

“Karena proses yang berlarut maka perlindungan bagi korban telah dilakukan perpanjangan, dan Februari nanti akan memasuki perpanjangan yang kelima kalinya,” ujar Livia. 

Sementara Komisoner Ombudsman RI, J. Widijantoro mengatakan pihaknya harus turun tangan ikut mengawasi penanganan kasus ini, karena adanya intervensi yang sangat kuat dari pihak-pihak tertentu. Untuk itu ia memberikan apresiasi atas keberanian dan kekukuhan saksi dan/atau korban dan para pendamping dalam menyuarakan dan mengklaim keadilannya melalui sistem peradilan pidana. 

Apresiasi juga diberikan kepada Polda Jawa Timur yang tidak kenal lelah mengumpulkan bukti-bukti sesuai petunjuk Jaksa dan terbuka untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk membuat terang dugaan kekerasan seksual ini. 

“Bahkan sampai Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang memberikan perhatian terhadap penanganan kasus ini,” terangnya.

Untuk itu ia merekomendasikan agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani kasus ini bekerja secara professional, adil dan tepat waktu agar kasus ini tidak berlarut-larut lagi seperti dalam proses penyelidikan dan penyidikan. 

Kementerian PPA diminta memberikan layanan rujukan akhir melalui penyediaan ahli yang membantu terangnya kasus ini. 

Proses penanganan yang rumit

Penanganan kasus ini memang sangat rumit, mengingat MSAT sebagai tersangka memiliki pengaruh yang kuat di Jombang. Polisi harus bertindak ekstra hati-hati karena pelaku memobilisasi massa untuk membela dirinya. Mereka menghalangi petugas masuk ke lingkungan pondok pesentren untuk menggelandang pelaku. 

“Bahkan sempat ada upaya membelokkan kasus ini menjadi pencemaran nama baik Pondok Pesantren,” terang Siti Aminah Tardi.

Lemahnya koordinasi antara Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim membuat proses hukum kasus kekerasan seksual ini menjadi lambat. Celah ini dimanfaatkan MSAT untuk mengajukan permohonan praperadilan. 

Setelah ditetapkan menjadi tersangka, MSAT juga tetap melakukan perlawanan. Ia mengajukan permohonan ke pengadilan agar status tersangkanya dicabut dan meminta Polda Jatim didenda Rp 100 juta. Namun, pada 16 Desember lalu hakim Pengadilan Negeri Surabaya menolak permohonan ini. 

Namun gugatan praperadilan yang diajukan tersangka MSAT ini berdampak kepada korban untuk menjadi kembali menjadi korban secara berulang-ulang (reviktimisasi) saat proses pembuktian di pengadilan.

Naiknya kasus ini ke penuntutan tak lepas dari sinergi yang erat antara lembaga-lembaga terkait, yakni Kompolnas, Komnas Perempuan, LPSK, organisasi masyarakat sipil dan juga media.

Untuk itu Benny Mamoto meminta semua pihak untuk mengawal kasus ini. Menurutnya, salah satu kendala penanganan kasus kekerasan seksual adalah minimnya saksi dan bukti. Apalagi di banyak kasus, kasus baru dilaporkan setelah jeda waktu tertentu. 

“Untuk itu mari kita dukung Polri untuk membangun database DNA. Ini akan memudahkan pengusutan kasus kekerasan seksual meski kejadiannya sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya,” ujarnya. 

Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKs) juga menjadi harapan bagi penyelesaian kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Jombang ini. Maka ia berharap agar undang-undang ini tidak lagi diperdebatkan dan segera disahkan. 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!