Diminta Selamatkan Lingkungan Tapi Diupah Murah: Ironi Buruh Perempuan di Perkebunan

Tahulah kamu: kerja-kerja pembibitan di perkebunan, lebih banyak dikerjakan para buruh perempuan. Buruh laki-laki kurang antusias dengan pekerjaan ini karena gaji yang rendah dan pekerjaannya yang berat. Sehingga, pekerjaan ini selalu dipandang sebelah mata. 

Di pertigaan jalan yang sunyi itu, berhenti sebuah mobil Avanza hitam. Seorang alki-laki lalu menurunkan kaca mobilnya, dan bertanya kepadaku yang hendak menemui para perempuan buruh pembibitan, di suatu sore. 

“Dek, coba tanyakan madu di rumah itu,” kata laki-laki itu sambil mengarahkan bola matanya ke sebuah rumah panggung beratap rumbia di samping jalan. 

Sontak, aku berpaling pada kumpulan ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung yang tidak jauh dari rumah itu. 

“Mamanya Kai, ada Madu?” teriakku. 

Perempuan tua yang masih tampak bugar itu pun segera menghampiri kami dan berkata bahwa bulan ini bukan musimnya. Jadi, madu belum bisa dipanen dari hutan. 

Laki-laki itu akhirnya harus pulang tanpa membawa apapun. Dilajukanlah mobilnya di jalan berbatu yang aspalnya sudah sangat rusak, kemudian bergerak meninggalkan kami. 

Daerah ini memang menjadi salah satu penghasil madu hutan yang sering dipesan oleh masyarakat perkotaan. Laki-laki dengan mobil Avanza tadi salah satunya. 

Namun seiring waktu, produksi madu di kawasan ini menjadi sangat berkurang, jadi sulit untuk memanen madu. Di sisi lain, masyarakat setempat juga belum mengenal ternak lebah, sehingga proses pengambilan madu masih langsung dari hutan.

Para Perempuan Penopang Keluarga: Kerja Keras, Upah Murah

Perempuan itu kupanggil “mamanya Kai”. Terlihat jelas kalau nama anaknya adalah Kai. Aku tidak menanyai nama aslinya, karena menurutku kurang sopan. 

Mama Kai menjadi pencari nafkah keluarganya, mengingat suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebelumnya, dia adalah seorang ibu rumah tangga dan peranjut rumbia. Dikarenakan sudah jarang peminat, membuat ia harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu menjadi buruh pembibitan.

Di usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi, dia masih harus membiayai dua anak terakhirnya yang belum menikah. Salah satunya adalah Isa. Isa adalah seorang perempuan muda yang telah berhenti sekolah sejak sekolah dasar. Isa kemudian memilih untuk membantu ibunya mencari uang. 

Siang itu, sehabis shalat jumat, aku berkunjung ke rumahnya. Dalam kunjungan ini ia menerangkan mengenai pembibitan. 

Mama Kai, Wa Lese dan beberapa ibu rumah tangga lainnya, sudah sejak bertahun-tahun lalu, menerima ajakan menjadi buruh pembibitan.

Sistem perekrutannya tidak menggunakan kualifikasi apapun. Yang penting siap bekerja keras, menggali tanah, membawanya dengan arko, memasukkannya ke dalam polybag, dan beberapa pekerjaan lain seperti menanam bibit dan membersihkan lahan. 

Pekerjaan sebagai buruh pembibitan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Selain karena tidak adanya syarat khusus seperti jenjang pendidikan, hal ini juga dikarenakan laki-laki kurang antusias dengan pekerjaan ini karena gaji yang rendah dan berat pekerjaannya. Sehingga, pekerjaan ini dipandang sebelah mata. 

Meski begitu, ada keuntungan lain yang diperoleh adalah ibu-ibu di daerah ini yaitu mereka bisa pulang ke rumah karena jaraknya yang dekat. Pekerjaan juga hanya berlangsung sampai siang saja.

Pekerjaan buruh pembibitan adalah pekerjaan yang berat, apalagi untuk perempuan, Namun hasil kerja dalam pekerjaan pembibitan juga tidaklah banyak, bahkan sangat kurang. 

Dalam kegiatan pembibitan terdapat beberapa tahap di mana masing-masing tahap memiliki upah tersendiri. Tahap pertama adalah pembersihan lahan, dengan upah Rp 50 ribu. Pembersihan ini sendiri menandakan bahwa bibit akan segera dibawa oleh pemilik lahan. Tahap kedua adalah pengisian polybag, dengan upah Rp 140 ribu untuk tiap 2.000 bibit. 

Tahap ini hanya berlangsung ketika kantung polybag yang akan diisi telah tiba. Tanah yang dimasukkan harus banyak, tebal dan perlu digali dahulu kemudian diangkut pakai arko. 

Untuk waktu pengerjaan juga tergantung dari kantung, jika kantungnya habis, pekerjaan selesai. Penerimaan gaji akan dilaksanakan bulan depan sebanyak dengan jumlah kantung yang mereka selesaikan. 

“Jika seorang diri mengisinya mungkin memakan waktu sampai sepuluh hari,” kata Wa Lese, perempuan pekerja lainnya.

Sementara tahap ketiga, ada proses pembibitan dan pengangkutan. Pendanaan yang dibutuhkan tergantung pada pesanan. Kira-kira untuk tiap 6.000 bibit, dana yang dikeluarkan biasanya mencapai Rp 600 ribu. Itu semua akan dibagi rata kepada pengangkut dan pembibit. 

Pembibitan sendiri tidak dilakukan setiap bulan, melainkan saat ada bibit dan pesanan saja. Jadi bayangkan saja, selama sebulan mereka hanya menerima ratusan ribu. Itupun tidak rutin mereka pasti dapat pada setiap bulannya. 

Untuk menutup biaya hidup sehari-hari, Wa Lese selain menjadi buruh pembibitan, juga menyambi berjualan makanan tradisional berkeliling kampungnya. Sejak pagi, dia menggendong jualannya yang biasa disebut Lapa-lapa

Lapa-Lapa sebutan untuk makanan khas Sulawesi Tenggara. Dibuat dari beras putih yang dicampur dengan ketan merah yang dimasukkan ke dalam janur yang telah dilipat dan dialasi daun pisang. Setelah beras tadi telah dibungkus, janur kemudian diikat, lalu direbus. 

Makanan ini biasanya dibuat saat hari raya. Akan tetapi, Wa Lese menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau menjual lapa-lapa setiap sabtu dan minggu. 

Pembuatan lapa-lapa sangat bergantung pada janur dan daun pisang yang menjadi ciri khas utama. Keterbatasan janur bisa menghilangkan mata pencaharian Wa Lese. 

Mau tak mau, ibu dengan lima anak ini memang harus menjadi tulang punggung keluarga, setelah suaminya terserang stroke yang membuat kaki dan tangannya mati sebelah. 

Wa Lese adalah salah satu dari sekian banyak model perempuan di desa; menikah muda, tidak berpendidikan tinggi, dan bergantung kepada suami sehingga ketika suami mengalami masalah kesehatan, ekonomi keluarga pun ikut bermasalah. 

Hal ini kemudian memaksa mereka untuk bekerja serabutan, apa saja yang penting ada, salah satunya yang tersedia termasuk buruh pembibitan dan berjualan kecil-kecilan.

Buruh Pembibitan dan Upaya Penyelamatan Lingkungan

Pembibitan yang dilakukan ibu-ibu ini, sebenarnya secara tidak langsung terkait dengan penyelamatan lingkungan. Contohnya, bibit-bibit bakau yang mereka tanam dibeli oleh beberapa mahasiswa yang kemudian dibawa ke By Pass dan ditanam kembali sebagai salah satu cara mengurangi abrasi. 

Sebagai salah satu daerah pesisir, Kendari memang terancam mengalami abrasi. Guna menghindari hal tersebut, beberapa lembaga/organisasi salah satunya Polisi Daerah Sulawesi Tenggara, sampai melakukan penanaman bibit bakau sebanyak 2.000 pohon pada oktober lalu. 

Selain mengurangi dampak abrasi, fungsi bakau sangatlah penting bagi kehidupan manusia, karena bakau dapat mengembalikan ekosistem pantai. Tanaman ini mampu mencegah abrasi, menyerap kotoran yang berasal dari sampah manusia maupun kapal. Bakau juga menyerap semua jenis logam berat sehingga membuat kualitas air menjadi lebih baik dan mencegah tsunami.

Pembibitan menandakan adanya hubungan antara perempuan dengan alam. 

Hal ini ditandai dengan pandangan mengenai ekofeminisme alam yang diterangkan oleh Rosemary Ananta Tong dalam bukunya Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Dalam bukunya dijelaskan bahwa sifat-sifat sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan dengan perempuan—misalnya merawat, mengasuh, intuisi—bukanlah semata-mata hasil konstruksi kultural sebagai produk dari pengalaman aktual biologis dan psikologis perempuan. 

Nilai-nilai tradisional yang dimiliki perempuan dapat mendorong terjadinya hubungan sosial yang lebih baik dengan cara hidup yang tidak terlalu agresif dan berkelanjutan. 

Pembibitan menunjukkan relasi antara perempuan dan alam. Dibuktikan dengan proses penyemaian bibit yang membutuhkan benih dan perawatan yang tentunya tidak singkat. Bagai merawat seorang anak. Dan hal ini hanya dikerjakan oleh perempuan. 

Dalam pengamatanku, tidak ada laki-laki yang terlibat dalam perawatan benih, dikarenakan tidak ada ketertarikan di pekerjaan itu. Seandainya perempuan tidak terlibat dalam pembibitan, bibit tidak akan siap digunakan untuk projek penanaman bakau dan usaha perlindungan alam lainnya tidak dapat terlaksana. 

Rata-rata yang tertarik dengan pekerjaan ini adalah perempuan, karena mereka tidak memiliki pekerjaan yang pasti, tidak berpendidikan, dan dapat membagi waktu di rumah. 

Dari masalah-masalah ini dapat terlihat bahwa perempuan sebenarnya ikut andil bagian pada proses awal pemulihan lingkungan. Hanya masyarakat kadang tidak sadar akan hal itu. 

Ke depan, semoga tanaman-tanaman yang mereka tanam dapat membuat setidaknya gaji yang mereka terima bisa meningkat, setimpal dengan manfaat dari tanaman itu.

Ade Candra

Aktif di Organisasi Narasi Toleransi Kendari, LPM Katharsis dan di Rumah Buku Firza
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!