Refleksi Awal Tahun dan Resolusinya, Sepenting Apa Buat Kita?

Apa pentingnya melakukan refleksi di awal tahun? banyak orang setuju, itu sangat penting untuk mengevaluasi sejauh mana proses kehidupan telah dijalani selama satu tahun yang terlewati, sekaligus acuan dan motivasi untuk menghadapi hal-hal baru di tahun ini

Hampir setiap tahun, di lini media sosial bertebaran ungkapan rasa syukur atas pencapaian satu tahun yang sudah terlewati.

Kebahagiaan dan kesedihan saling berkelindan bagai dua sisi mata uang, jatuh bangun mengawali proses kehidupan, serta kegagalan-kegagalan yang kerap membuat gamang untuk menatap masa depan.

Meski demikian, seburuk apapun pengalaman, ia tetap mengajarkan satu makna tentang pengelolaan emosi, bagaimana penerimaan kita atas keindahan dan rasa kehilangan.

Banyak orang yang kemudian juga membuat resolusi apa yang akan dilakukan dan apa yang tidak dilakukannya di tahun-tahun yang akan datang. Ini sudah rutinitas yang datang dan pergi setiap tahunnya

Resolusi tahun baru sendiri adalah tradisi sekuler yang umumnya berlaku di seluruh dunia. Menurut tradisi ini, seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang akan dimulai pada hari pertama di tahun baru.

Ada persamaan mengenai tradisi ini dalam pandangan agama (direct link: https://www.sophiainstitute.id/2022/01/Bagaimana-Teror-Atas-Nama-Agama-Itu-Terjadi.html).  Saat tahun baru Yudaisme yang dikenal dengan Rosh Hashanah, kelompok Yahudi merenungkan kesalahan yang telah mereka lakukan sepanjang tahun dan meminta pengampunan.

Para penganut agama Katolik juga melakukan hal serupa pada masa puasa pra-paskah, meskipun motifnya lebih ke pengorbanan dari pada tanggung jawab. Tradisi resolusi tahun baru ini sendiri sebenarnya berawal dari praktik puasa pra-paskah yang dilakukan umat Katolik.

Jika menilik konsepsi perspektif Mubadalah, yang membincang relasi personal, keluarga dan sosial, maka catatan refleksi dan resolusi bisa ditarik dalam relasi-relasi tersebut. Seberapa besar upaya yang sudah kita lakukan, dalam kerangka kebaikan, untuk menjalani kehidupan secara seimbang antara kebutuhan diri, keluarga dan aktivitas sosial ( https://www.sophiainstitute.id/2021/12/Spiritualitas-Sebagai-Esensi-Agama.html) termasuk di dalamnya soal karier dalam pekerjaan.

Tak mudah untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sama halnya, tak mudah juga menjadikan relasi ketiganya meraih keberhasilan jika targetnya dilihat hanya secara fisik. Salah satu akan terlihat nampak lebih menonjol dibandingkan yang lain. Tapi tak apa, bila semua proses dijalani dengan riang gembira, dan tak ada rasa prasangka yang berlebihan. Yang lebih penting tentu saja komunikasi, dengan siapa hari ini kita sedang berelasi. Baik dalam soal asmara, keluarga maupun pekerjaan.

Relasi Personal; sudah baikkah kita memperlakukan orang lain? Kembali pada adagium, perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan, menjadi satu motivasi tersendiri agar kita tahu batas mana cara kita mengapresiasi capaian diri sendiri, dengan menghargai keberadaan orang lain.

Relasi Keluarga (direct link https://www.sophiainstitute.id/2021/12/perempuan-dalam-jeratan-nikah-muda.html) ; hubungan-hubungan yang baik dengan masyarakat secara lebih luas, dimulai dari lingkungan keluarga. Selain ia adalah struktur kecil dalam negara, keluarga adalah ketika semua hal pokok tentang proses tumbuh kembang anak dipersiapkan, bahkan sejak dalam kandungan.

Kesadaran ini, tak hanya milik Ibu yang kerap dibebani dengan sekian kerjaan domestik dan tugas pengasuhan. Ayah dan Ibu punya peran dan tanggung jawab yang sama dalam mengantarkan anak-anaknya ke gerbang masa depan dengan perasaan aman, nyaman dan bahagia. Nir kekerasan, penuh kehangatan cinta serta kasih sayang.

Terakhir, pada relasi sosial. Jika relasi personal dan keluarga sudah terkelola dengan baik, saya percaya kehidupan sosial di masyarakat juga akan menjadi lebih baik. Sehingga perubahan sosial akan menjadi niscaya dengan prinsip kesalingan yang secara berkelanjutan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau ada pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak” yang artinya tak pernah ada kesempurnaan dalam hidup ini. Saya sepakat, karena memang kita tidak sedang mencari siapa yang paling sempurna. Tetapi bagaimana dari banyak ketidak-sempurnaan itu, kita bisa saling melengkapi dengan potensi masing-masing yang dimiliki, sehingga semua proses bisa berjalan sempurna sesuai dengan apa yang diharapkan.

Jadi kembali pada pertanyaan di atas, refleksi akhir tahun, dan resolusi tahun baru pentingkah? Bagi saya penting, sangat penting bahkan. Pertama untuk melakukan evaluasi diri sejauh mana proses kehidupan telah dijalani selama satu tahun yang terlewati. Kedua, sebagai acuan dan motivasi untuk menghadapi hal-hal baru di tahun mendatang.

Ketiga, sebagai pengingat di saat kita sedang jatuh terpuruk, tersungkur rapuh dalam ketakberdayaan dan kegagalan bahwa kita pernah memiliki kehidupan yang patut disyukuri. Terakhir, atau yang keempat tentu membuat hidup menjadi lebih produktif dan semakin menantang untuk ditaklukkan.

Jadi selamat menyambut tahun baru 2022 teman-teman, kita hadapi hari baru dengan semangat dan perspektif baru.

Fadhel Fikri

Mahasiswa ilmu filsafat yang juga Co-Founder Sophia Institute Palu.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!