Tak Bisa Mengurus Akte Lahir dan Ijazah: Kisah Pilu Ibu Tunggal 

Permohonan Siti mengajukan akte kelahiran ditolak pihak Disdukcapil, dengan alasan yang berhak mengurus itu adalah kepala keluarga. Penolakan juga dialami Poppy, ibu tunggal yang meminta agar namanya yang dicantumkan di ijazah anaknya.

“Saya bilang saya ingin mengurus akte kelahiran anak saya, tapi ditolak. Padahal berkas saya lengkap, buku nikah, kartu keluarga, alasannya karena harusnya kepala keluarga yang mengurus ini”

Seorang ibu tunggal, Siti, ingat betul betapa memilukannya pengalaman yang dialaminya saat mengurus akte kelahiran untuk anaknya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) beberapa waktu lalu. 

Ibu tunggal seperti dirinya, tidak diterima untuk mengurus akte kelahiran sendiri. Pengurusan akta kelahiran mesti atas nama kepala keluarga, yang secara sosial dilekatkan dengan peran laki-laki. Tak peduli, meskipun dalam suatu keluarga perempuanlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Atau misalnya sang suami telah bertahun-tahun meninggalkan rumah. 

“Padahal sudah berulang kali saya bilang saat itu (ke petugas Dukcapil), kalau kepala keluarganya adalah saya, karena saya sudah berpisah (cerai),” lanjut Siti dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan Yayasan Pekka (Perempuan Kepala Keluarga) pada 22 Desember 2021 lalu. 

Siti menyesalkan, sistem administrasi serta aparatur pemerintah yang selama ini acapkali masih melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Meski semua persyaratan sudah lengkap dan sangat memungkinkan untuk dilakukan pembuatan akta berdasarkan persyaratan itu, namun nyatanya, pemerintah masih melihat perempuan tidak seberdaya itu untuk mengurus hal administrasi, bahkan untuk keluarganya.

Setelah mendapat penolakan itu, Siti memutuskan mendatangi kantor Dukcapil di Kawasan tempat tinggalnya itu. Namun, kali ini ia didampingi Kepala Desa serta beberapa perempuan yang di antaranya ada ibu tunggal seperti dirinya. 

Hal itu dia lakukan, sebab anaknya sangat membutuhkan akte kelahiran untuk keperluan sekolahnya. Apalagi kala itu, tahun ajaran baru sekolah sudah semakin dekat.

Meski telah datang bersama para perempuan lainnya termasuk Ibu Kepala Desa, Siti ternyata masih juga mendapatkan penolakan. Narasinya tetap sama: kepala keluargalah atau laki-laki yang berhak mengurus akta kelahiran. 

“Bu Kadesnya sampai marah-marah, padahal administrasi saya lengkap, dan saya menikah sah secara hukum. Petugas waktu itu hanya bilang jika pembuatan akta kelahiran masih belum bisa dilakukan sebab kepala keluargalah yang harus mengurusnya,” lanjutnya bercerita sambil terisak.

Tak sampai di situ, Siti pun berusaha untuk ketiga kalinya. Ada salah seorang pegawai perempuan di sana yang menyambut Siti, dan bersimpati untuk berusaha membantunya. Meskipun, hal tersebut mesti dia lalui dengan ‘memohon-mohon’ kepada para petugas yang mengurusi soal akte kelahiran.

“Saya sampai meneteskan air mata di sana, ada pegawai perempuan juga, saya memohon, menangis, sampai saya bilang ‘kita sesama perempuan bu, bagaimana kalau ibu berada di posisi saya?’ sampai akhirnya dia berjanji untuk membantu saya mengurus semua itu,” terang Siti menirukan percakapannya dengan petugas Dinas perempuan itu.

Kisah pilu juga dialami oleh ibu tunggal lainnya bernama lengkap Poppy Diharjo. Dia adalah seorang perempuan yang juga mengalami penolakan tatkala mengurus ijazah anaknya. Sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Poppy selama ini mengalami tindakan kekerasan (abusive) dan tidak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. 

Selama ini, Poppy berjuang sendiri untuk membesarkan anaknya tanpa bantuan dari suaminya yang pergi meninggalkan dia dan anaknya. Maka dari itu, dia mengajukan permohonan kepada pihak sekolah anaknya, agar nama orang tua yang ada di ijazah anaknya adalah dirinya selaku ibu tunggal.  

“Selama ini dia (mantan suami) tidak punya kontribusi apapun dalam membesarkan anak-anak. Saya berjuang sendiri, saya cari uang sendiri, dia gak pernah hadir sekalipun untuk menjenguk anak saya, jadi untuk apa namanya ada di ijazah?” jelas Poppy. 

Namun apa yang terjadi tak sesuai dengan harapan Poppy. Pihak sekolah justru menganggap keinginan Poppy itu tidak masuk akal serta berpotensi melanggengkan stigma terhadap posisi ibu tunggal. 

“Pihak sekolah malah bilang, ‘nanti kalau gak ditulis nama ayahnya, dikira gak punya ayah loh Bu, anaknya’,” kata Poppy menirukan ucapan pihak sekolah kala itu. 

Tak hanya soal ijazah, Poppy juga sempat mengalami ketidakadilan saat memegang peranan sebagai ibu tunggal yaitu menyoal biaya pendidikan. 

Saat itu, pihak sekolah memberikan formulir penghasilan orang tua untuk menentukan uang sekolah anaknya. Meski kondisi Poppy yang seorang ibu tunggal, pihak sekolah tetap menyuruhnya untuk mengisi penghasilan sang ayah: dengan menyamakan nominalnya dengan Poppy. 

“Mereka bilang samain aja dengan penghasilan saya, eh malah SPP anak saya jadi naik drastis karena dianggap berpenghasilan ganda,” katanya. 

Tak terima dengan logika pihak sekolah itu, Poppy sempat menuntut mantan suaminya untuk memberikan nafkah kepada anaknya melalui jalur hukum. Namun, begitu sampai pada proses pengadilan, hakim malah menyuruhnya legowo dan bersyukur saja dengan keadaan.

“Saya dibilangin, karena saya sudah bekerja seharusnya saya bersyukur dan terima saja keadaan, saya di sana (pengadilan) malah dinasehati dan dikenalin sama sesama perempuan juga yang sedang mengurus hak asuh anak, mereka bilang ‘udahlah kamu terima saja, syukuri saja,” ujar Poppy menirukan perkataan hakim yang membandingkan dirinya dengan sesama perempuan yang juga ibu tunggal lainnya.

Poppy melanjutkan, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ibu tunggal memang tak bisa dipungkiri masih banyak terjadi di tengah masyarakat. Bahkan, meskipun dia berada di kota-kota besar dengan akses informasi yang notabene lebih mudah, namun tak membuat stigma tentang ibu tunggal menjadi luntur atau hilang. 

“Itu sekolah favorit dan saya tinggal di Jakarta Selatan, tapi pola pikir instansi pendidikan di sini juga masih patriarki, saya tidak bisa mencantumkan nama anak saya dalam ijazah,” kata Poppy. 

Meski Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) saat ini sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 28 tahun 2021 agar nama orang tua atau wali murid bisa dituliskan pada ijazah termasuk ibu tunggal. Namun kenyataannya, jauh panggang daripada api, realita di lapangan masih ada yang tak sesuai dengan aturan berlaku. 

“Yang namanya orang tua ini ya ibu atau bapak, maka ibu tunggal masuk dalam kategori orang tua, maka kemungkinan besar untuk meletakkan nama ibu tunggal pada ijazah anak mereka ya sangat bisa, karena wali pun juga tidak harus orang tua, dan itu bisa,” pungkas Poppy. 

Dilansir hukumonline.com, kedudukan perempuan, termasuk isteri yang ditinggal suami, dalam hukum masih lemah. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya yang kemudian diwujudkan dalam kebijakan negara tepatnya di Undang-Undang Perkawinan tadi.

Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang direvisi menjadi Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pasal ini sering ditafsirkan salah, sehingga seolah-olah suami yang mengatur segala sesuatu dalam urusan rumah tangga. 

Padahal, menurut Undang-Undang yang sama, kedua belah pihak mempunyai kedudukan yang sama dan berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Ketentuan itu berlaku bagi keluarga lengkap di mana suami dan isteri masih etrikat dalam perkawinan. Seharusnya hal ini tidak berlaku jika suami tidak ada, baik karena bercerai ataupun meninggal. Aturan ini juga perlu ditinjau  jika yang menjadi ‘kepala keluarga’ adalah sang istri alias perempuan seperti yang dialami Poppy dan Siti. (*)

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!