Dear Magangers, Anak Magang Itu Adalah Pekerja, Ini Aturan yang Melindungimu

Saat magang, Shafira harus bekerja 12 hingga 13 jam sehari. Ia sampai kesulitan mendapatkan hari libur. Sementara Kenichi Satria yang sedang magang di bagian digital marketing di sebuah perusahaan merasa diremehkan setelah diketahui ia penyandang disable netra. Pekerja magang yang belum diakui sebagai pekerja, memang rentan dieksploitasi dan didiskriminasi.

Ini kisah para pekerja magang. Salah satunya adalah Shafira Salsabila,  yang magang di sebuah hotel bintang lima di Jakarta Pusat. Shafira harus mengikuti magang selama enam bulan sebagai salah satu syarat kelulusan dari sebuah sekolah Food and Beverage di Jakarta.

Berstatus sebagai pekerja magang, tugas dan tanggung jawab Shafira tidak berbeda jauh dengan mereka yang sudah berstatus sebagai pekerja tetap di hotel tersebut. Jika target yang diserahkan ke pundak Shafira belum terpenuhi, maka ia harus extend jam kerjanya. 

Sehingga tidak jarang, Shafira harus menjalani jam kerja 12 hingga 13 jam sehari. Untuk kerja kerasnya ini hafira memang sehari-hari ia mendapatkan uang transport dan uang magang. Namun ia dan kawan-kawannya tidak mendapatkan uang lembur untuk jam kerjanya yang lebih dari 8 jam kerja.

Padahal menurut perjanjian kerja jam kerja Shafira hanya 9 jam sehari, terdiri dari 8 jam kerja dan 1 jam istirahat. Tak hanya itu, Shafira juga mengaku kesulitan menentukan waktu libur. Tak jarang ia harus masuk kerja meski di kalender bertanggal merah.

Tak hanya itu, Shafira dan teman-temannya kadang harus menanggung pelecehan verbal. Untuk ‘kekerasan’ yang seperti ini Shafira harus memaklumi sebagai bentuk pelepasan rasa lelah akibat jam kerja yang panjang. Namun ketika salah seorang teman Shafira mengalami pelecehan seksual, mereka segera mengadukannya sehingga si pelaku dikeluarkan dari pekerjaannya.

“Enaknya, kami bisa mempraktekkan ilmu kami sekaligus mencicipi aneka masakan yang ada di hotel itu,” terang Shafira dalam talkshow bertajuk “Mengurai Problem Pekerja Magang” yang dihelat Konde.co dan Konsorsium Konvensi ILO 190 tentang Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja, pada Selasa (25/1/2022) yang diselenggarakan secara daring di Jakarta.

Pengalaman tak mengenakkan juga dikisahkan oleh Kenichi Satria. Kenichi yang menyandang disable netra mengaku tak kesulitan saat menjalani interview untuk mendapatkan tempat untuk magang. Kemampuannya menjawab pertanyaan yang diajukan perusahaan tempat magang, mampu membuat mereka terkesan sehingga ia diterima.

Ia pun menjalankan tugas sebagai staf di bagian digital marketing dengan lancar. Semua pekerjaan yang diberikan kepadanya diselesaikan dengan baik tanpa keluhan. Masalah kemudian muncul, ketika si pemberi kerja mengetahui jika Kenichi seorang disable netra.

“Mereka mulai meragukan rekomendasi saya untuk pemasangan iklan hingga akhirnya rekomendasi saya tidak dijalankan. Ketika akhirnya proyek itu gagal, rekomendasi saya yang disalahkan,” ujar Kenichi di kesempatan yang sama.

Pengalaman tak mengenakkan lain yang dialami Kenichi adalah, perusahaan tempat dia magang tidak menyediakan fasilitas bagi penyandang disable, baik bagi pekerja tetap maupun pekerja magang seperti dirinya.

Kenichi yang merupakan aktivis di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta ini juga menyoroti masih rendahnya kepercayaan perusahaan terhadap para disable. Kondisi ini tak hanya terjadi di perusahaan swasta tetapi juga di institusi pemerintahan.

Masih banyak institusi pemberi kerja yang belum berani mempercayakan posisi-posisi penting di lembaganya kepada kelompok disable. Saat ini, ujarnya, posisi untuk pekerja disable terbatas untuk pekerjaan yang bersifat administratif maupun pelayanan ke konsumen (customer service).

“Pergeseran teknologi membuat kesempatan semakin sempit, karena tugas-tugas itu digantikan dengan robot,” ujarnya.

Kenichi berharap, pemerintah tak lagi memberi bantuan, tetapi memfasilitasi para pekerja disable agar bisa mandiri. Untuk itu ia menegaskan pentingnya Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) lebih ketat mengawasi pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 tahun 2017 dan memasukkan sejumlah pasal di dalamnya ke dalam Permenaker yang mengatur Pekerja Magang.

Kekosongan payung hukum

Pekerja magang di Indonesia mengalami persoalan mendasar: tidak diakui sebagai pekerja, tidak diberikan upah, mengerjakan pekerjan-pekerjaan yang tak sesuai dengan job yang ia lamar.

Lalu ada pekerja magang yang diminta membuatkan kopi, diminta membelikan makan siang teman sekantor, disuruh menguras kolam renang, sampai disuruh foto copy—pekerjaan yang seharusnya bukan pekerjaan yang dilakukan para pekerja magang https://www.konde.co/2021/11/anak-magang-disuruh-bikin-kopi-ini-pelecehan-di-dunia-kerja.html/

Di sisi lain, para pekerja magang diposisikan sebagai orang yang butuh kerja atau butuh praktik kerja, ini yang membuat posisi mereka semakin rentan karena sebagai pihak yang membutuhkan pengakuan sebagai pekerja. Kondisi ini membuat ketergantungan mereka pada kantor tempat ia magang menjadi tinggi. Sertifikasi sebagai pekerja magang seolah menjadi penjamin bahwa mereka layak masuk dalam dunia kerja berikutnya.

Posisi rentan ini membuat para pekerja magang kemudian tak punya daya tawar untuk mempertanyakan persoalan mendasar mereka, bahkan ada pekerja magang yang mendapatkan pernyataan: “sudah syukur mendapatkan perusahaan yang mau menerima kamu untuk magang.”

Problem lain yang dialami pekerja magang, sejumlah pekerja magang juga mengalami bercanda yang mengarah ke bullying dan seksisme, sampai kekerasan dan pelecehan yang seolah dianggap biasa saja terjadi. 

Masalah magang atau permagangan, ternyata sudah diatur dalam Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pasal 21 – 30.

Dalam Peraturan Menteri tersebut, Pemagangan diartikan sebagai bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Artinya para pekerja magang berhak mendapatkan hak dan kewajiban peserta magang dan perusahaan, serta mendapatkan uang saku

Walaupun sudah ada aturan turunan dari aturan permagangan ini yaitu dalam Permenaker sebagai turunan dari UU Ketenagakerjaan  yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (“Permenaker 6/2020”), namun ternyata beberapa isi dalam Permenaker tersbeut masih diskriminatif, misalnya menyebutkan syarat pemagangan antaralain harus sehat jasmani dan rohani. Artinya pasal ini akan mendiskriminasi pekerja penyandang disable yang mungkin tidak bisa memenuhi persyaratan itu

Melawan situasi dan kondisi ini bagi anak magang yang baru masuk kerja, kadang malah dianggap aneh, diabaikan atau ada juga yang ditertawakan. Dalam situasi kerja yang timpang relasi kuasa tentu hal ini tidak mudah: pekerja magang akhirnya akan menurut atau tidak berani bersuara.

Sering terjadi pekerja magang diberi tugas dan tanggung jawab layaknya pekerja tetapi mereka sama sekali tidak diupah. Bahkan dalam beberapa kasus, pelajar yang magang harus membayar ke sebuah perusahaan agar bisa diterima sebagai pekerja magang.

Dirjen Bina Penyelenggaraan Pelatihan Vokasi dan Pemagangan (Bina Lavogan) Kemenaker Subandi mengatakan,  aturan yang dimiliki Kemenaker saat ini hanya mengatur pekerja magang yang tidak lagi berstatus pelajar  maupun mahasiswa.

Sementara mahasiswa atau pelajar yang magang untuk memenuhi syarat pendidikan berada dalam naungan Kemendikbud. Selain itu, banyak juga calon pekerja yang magang demi mendapatkan pengalaman kerja.  

Menurut catatan Subandi, banyak kasus pelanggaran kerja magang justru menimpa kepada para pekerja magang yang berasal dari mahasiswa maupun pelajar yang mengikuti magang.  Ia berharap, ke depan ada satu aturan yang bisa digunakan bersama antara Kemendikbud dan Kemenaker terkait hal ini. Sehingga jika di tengah jalan ada masalah, maka penanganannya akan menjadi mudah.  

Pelaksanaan pekerja magang yang diatur dalam Permenaker 6/2020 mensyaratkan adanya sebuah perjanjian kerja yang mengatur hak dan kewajiban penerima pemagang kerja dan pekerja magang. Perjanjian ini harus didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja terdekat, sehingga jika terjadi masalah, bisa dibantu diselesaikan.

Perusahaan yang menerima pekerja magang antara lain wajib memberikan uang saku kepada pekerja magang. Jika dirinci, uang saku itu terdiri dari uang transport, uang makan dan insentif.

“Mungkin tidak sebesar upah pegawai, tetapi juga tidak terlalu kecil. Jika hanya Rp100-200 ribu sebulan, itu melanggar ketentuan Permenaker,” terang Subandi.

Perusahaan penerima pekerja magang berhak memanfaatkan barang dan jasa yang dihasilkan pekerja magang. Mereka juga wajib sediakan fasilitas BPJS bagi pemagang, meski dengan status bukan penerima upah. Hal yang tak kalah penting adalah, dalam menerima pekerja magang perusahaan harus mendasarkan pada analisa kebutuhannya. Sehingga membuka peluang bagi pemagang untuk bekerja di perusahaan tersebut setelah masa magang selesai.

Sementara peserta magang diwajibkan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian kerja tersebut.

Posisi pemagang lemah

Pada Juni 2019 Badan perburuhan Dunia, ILO mengesahkan Konvensi 190 tentang stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang selanjutnya dikenal sebagai KILO 190. Salah satu yang baru dalam KILO 190 ini adalah pengakuan terhadap keberadaan pekerja magang. Pekerja magang juga tidak boleh mendapatkan kekerasan, pelecehan dan diskriminasi dalam dunia kerja

Konvensi ILO 190 merupakan konvensi yang spesifik mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di dunia kerja, termasuk para pekerja magang dan relawan. Yang artinya Konvensi mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja.

KILO190 dan Rekomendasi 206 dapat memberikan landasan hukum bagi semua pihak tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja; baik itu pekerja, pihak manajemen, dan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Sebagai anggota PBB yang telah mengadopsi ini dalam sidang ILO di tahun 2019, pemerintah didorong untuk meratifikasi KILO 190 untuk menghentikan stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Ratifikasi KILO 190 akan membuat pemerintah dipandang baik di mata internasional karena mempunyai kebijakan stop kekerasan di negaranya.

Vivi Widyawati dari Konsorsium Konvensi ILO 190 tentang Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja mengatakan, posisi pekerja magang sangat lemah. Relasi kerja yang tidak setara mengakibatkan banyak pekerja magang yang mengalami eksploitasi. Tenaga mereka dimanfaatkan untuk keuntungan perusahaan dengan dalih pemaganglah yang lebih membutuhkan pekerjaan tersebut.

Namun ada hal yang lebih mendasar yang disorot Vivi, yakni aturan di Permenaker 6/2020 yang mengatur kerja magang. Menurutnya, penggunaan istilah ‘peserta magang’ tidak tepat karena ini menghilangkan hubungan kerja yang ada.

“Harusnya menggunakan istilah ‘pekerja magang’ karena pemagang menghasilkan barang ataupun jasa yang bisa dijual oleh perusahaan,” ujarnya.

Penggunaan istilah “uang saku” juga dinilai tidak tepat. Vivi menekankan, upah lebih tepat yang besarnya disesuaikan dengan jam kerja, jumlah hari kerja serta jenis pekerjaan yang dikerjakan.

Koordinator Perempuan Mahardhika ini menambahkan apa yang menimpa para pekerja magang seperti pelecehan, jam kerja yang panjang, beban kerja yang besar serta upah yang tidak memadai sebagai salah satu bentuk kekerasan di dunia kerja.

Ia berharap Kemenaker sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas urusan ini mulai mengusahakan pelindungan bagi pekerja magang dengan memasukkan poin-poin yang termaktub di Konvensi ILO 190 tentang Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja dimasukkan dalam perjanjian kerja ataupun peraturan terkait ketenaga-kerjaan di Indonesia.

Konvensi ILO (KILO) 190 menyebut kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, karena kekerasan yang dialami pekerja tak hanya terjadi di tempat kerja, Kekerasan di tempat lain seperti di rumah, dalam perjalanan menuju tempat kerja, saat mengikuti workshop, magang, wawancara kerja, di tempat public juga mempengaruhi kerja para pekerja.

Konvensi ILO 190 yang disahkan pada Juni 2019 ini juga melindungi kelompok pekerja yang selama ini masih luput dari perlindungan, seperti pekerja rumah tangga, pekerja magang dan pekerja informal lainnya. Untuk itu Vivi melihat, perlindungan bagi pekerja magang juga harus diperjuangkan.

“Tidak boleh ada lagi diskriminasi. Tidak boleh ada pembedaan perlakuan antara pekerja dengan pekerja magang,” pungkasnya.

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari “VOICE”)  

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular