Dear Bapak Mertua, Rahim Aurel Hermansyah Bukan Mesin Pencetak Bayi

Mertua Aurel Hermansyah, Anofial Asmid, baru-baru ini jadi sorotan publik karena meminta Aurel untuk lahiran normal, agar Atta Halilintar bisa punya banyak anak. Dear bapak mertua, ketahuilah, bahwa rahim Aurel bukanlah mesin pencetak bayi

Mertua Aurel Hermansyah, Anofial Asmid, baru-baru ini tengah ramai jadi sorotan publik.

Itu terjadi, usai pernyataannya yang meminta pada istri Atta Halilintar ini agar dia melahirkan dengan normal. Menurutnya, persalinan caesar bisa menyebabkan Atta Halilintas tidak mempunyai anak banyak.  

“Biar lahirnya normal, jangan sampai operasi, jangan sampai cesar. Kalau caesar, Atta nggak bisa punya anak banyak,” ujar Anofial Asmid dalam sebuah video call dengan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, yang tersebar di sosial media sepekan ini. 

Keinginan yang tanpa bertanya dulu pada apa yang diinginkan Aurel– si empunya rahim– ini merupakan problem patriarki dimana perempuan selalu distandarisasi menurut keinginan laki-laki atau harus melakukan sesuatu sesuai keinginan orang lain

“Harus lahiran normal, ya.”

“Harus punya banyak anak, ya.”

Termasuk pertanyaan-pertanyaan khas patriarki yang sering ditujukan pada perempuan atas rahimnya: “kapan punya anak?.”

Pertanyaan Bapak mertua ini seolah-olah ia merasa punya hak atas rahim Aurel dan atas hal-hal yang terjadi pada tubuh Aurel. Padahal rahim Aurel bukanlah mesin pencetak rahim yang bisa dimanage oleh siapapun. Yang berhak menentukan mau lahiran seperti apa adalah: Aurel yang punya rahim

Keluarga Gen Halilintar memang dikenal sebagai keluarga besar dengan jumlah 11 anak. Suami dari Lenggogeni Faruk ini, memang sepertinya menginginkan Aurel-Atta bisa seperti halnya Gen Halilintar. 

Dalam video yang viral itu, Anofial dan Lenggogeni tampak sedang menghubungi Atta-Aurel yang sebentar lagi akan menjelang masa kelahiran. Mereka pun memberikan pesan-pesan utamanya untuk Aurel. 

Sebelumnya, Anofial mengingatkan agar Aurel lebih santai menjelang waktu melahirkan. Makanya dia mengatakan ada film-film yang bisa Aurel tonton agar pikirannya bisa lebih santai menghadapi persalinan. 

Pernyataan mertua ini banyak dikecam netizen, karena Aurel Hermansyah juga mengalami tekanan darah tinggi. Sehingga, perlu pemeriksaan lanjutan jika melahirkan secara normal agar justru tidak membahayakan ibu dan bayinya. 

Apa yang dikatakan Anofial ini, seolah memang “tak asing” di tengah masyarakat kita. Bahwa persoalan melahirkan normal ataupun caesar, menjadi seolah urusan sosial ataupun keluarga di luar keputusan perempuan itu sendiri. Betapa banyak selama ini, perempuan direnggut otoritas atas pengalaman tubuhnya termasuk saat melahirkan. 

Seorang ibu yang melahirkan anak pertamanya secara caesar, Marina Nasution pernah bercerita hal serupa di Konde.co. Pengalaman maternitasnya tak lepas dari campur tangan orang lain. Bahkan, diiringi pula dengan lontaran pernyataan berisi sindiran atau cemoohan. 

Suatu hari sepulang cek rutin kandungan, Marina dan suami, pernah “diceramahi” oleh supir transportasi online yang mengantar mereka ke rumah. Supir yang kebetulan laki-laki itu, bercerita panjang lebar mengenang pengalaman kehamilan istri dan anaknya yang melahirkan secara normal. 

Mendekati rumah, Ia berkata, “Ibu, nanti melahirkan harus normal ya, Bu. Melahirkan caesar itu melawan kodrat.”

Tak berapa lama kemudian, Marina melahirkan dengan cara caesar. Itu adalah pilihannya setelah mendapat rekomendasi medis dari dokter. Kondisi kehamilan pertamanya yang tak berjalan mulus karena didiagnosa memiliki plasenta previa totalis (plasenta menutupi jalan lahir secara total) hingga beberapa kali mengalami pendarahan. Kondisi itu, bahkan masih membuatnya trauma tiap kali mengingatnya. 

“Setelah melahirkan, saya merasa sangat lega. Saya berhasil melahirkan bayi saya dengan selamat dan sehat. Saat itu, tidak ada hal lain yang lebih penting,” tulis Marina pada Konde.co  pada 4 Agustus 2021 lalu. 

Problem Struktural Patriarki: Perempuan Distandarisasi

Pandangan yang mengecilkan pengalaman perempuan dalam melahirkan ini, bisa terjadi karena adanya beban ekspektasi gender tertentu yang akarnya dari sistem patriarki. Dampaknya, menempatkan perempuan harus mencapai sebuah standarisasi tertentu agar peran gendernya sebagai perempuan diakui secara utuh. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati tak memungkiri bahwa cara melahirkan bagi perempuan seringkali diintervensi dan bahkan dipaksa. Tak jarang, perempuan bahkan mendapatkan stigma-stigma atas pilihan yang diambilnya dalam melahirkan. 

Mike menyebut, apa yang dialami oleh Aurel ataupun perempuan lainnya yang diintervensi bahkan dipaksa untuk melahirkan secara tertentu, tak lepas dari konteks relasi kuasa. Problem struktural patriarki yang lagi-lagi menempatkan perempuan, sebagai yang harus memenuhi standar tertentu.

“Ini yang membuat perempuan tertekan, sebagai perempuan (jika tak memenuhi ekspektasi sosial), merasa sebagai perempuan ‘saya tidak sempurna’,” kata Mike ketika dihubungi Konde.co, Jumat (18/2/2022). 

Selama ini, Mike menyebutkan, perempuan kaitannya dengan pilihan melahirkan masih mempunyai banyak ‘belenggu’. Bukan saja ekspektasi sosial, tapi kesadaran perempuan sendiri terhadap hak atas otonomi tubuhnya. Dia mencontohkan, banyaknya kasus keterlambatan penanganan melahirkan hingga kematian ibu saat melahirkan, diakibatkan mesti menunggu keputusan dari pihak suami maupun keluarga. 

“Apalagi kondisi di wilayah yang akses puskesmasnya sudah jauh, perempuan bahkan tidak bisa mengambil keputusan sendiri,” lanjutnya. 

Di sisi lain, aktivis perempuan itu juga mengatakan bahwa terdapat kontradiktif yang selama ini juga lagi-lagi mendiskreditkan perempuan. Kajian angka stunting yang tinggi misalnya, menempatkan perempuan yang memikul tanggung jawab atas ketubuhannya. Namun kondisinya berbalik ketika perempuan juga “diatur” sedemikian rupa seperti saat melahirkan. 

“Kontradiktif dalam mengambil keputusan, tidak bisa independen. (Karena keputusan seringnya) pada laki-laki yang tidak mengalami (persalinan),” tegasnya. 

Laki-laki Harus Diberi Pengetahuan: Bahwa Perempuan berhak Atas Otoritas Tubuhnya

Seperti yang dialami Marina, perempuan berhak atas otoritas tubuhnya, termasuk menentukan dengan cara apa ia ingin melahirkan anaknya baik itu normal ataupun caesar. Terlebih, jika ada kondisi tertentu secara medis. 

“Ini tubuh saya, saya yang memilikinya, saya yang merasakan setiap sakitnya, saya yang mengalami semuanya, kenapa mereka merasa berhak menilai saya hanya dari cara saya melahirkan anak saya?” kata Marina. 

Mike Verawati juga mendorong tiap-tiap perempuan untuk memberitahu pasangan atau orang di sekitar bahwa dirinya berhak atas tubuhnya termasuk merasakan pengalaman maternity sesuai dengan pilihan serta yang terbaik untuknya. 

Para perempuan, menurutnya, bisa memulai dengan terbuka dan berani mengutarakan apa yang dia alami hingga apa yang menjadi pilihan terbaik untuknya. Negara juga harus hadir dalam menjamin hak-hak perempuan kaitannya dengan pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang relevan. 

“Hari ini kita perlu mulai berbicara soal otonomi tubuh, memberi penguatan bukan hanya memahami apa yang ada di tubuh mereka, tapi mereka juga bersuara semisal menstruasi itu sakit, ketika hamil ada persoalan hingga melahirkan itu ada dampak psikis,” terangnya. 

Selain itu, Mike juga menyampaikan agar media massa mengambil perannya dalam memberikan perspektif yang baik terkait hak-hak perempuan. Kaitannya dengan Aurel Hermansyah ini, perempuan bisa disadarkan untuk bisa menentukan pilihannya sendiri atas otoritas tubuhnya. 

“Media juga hati-hati, jangan sampai persoalan ‘intervensi’ yang sifatnya ‘entertain’ memberitakan berita, jangan-jangan menguatkan glorifikasi bahwa melahirkan itu harus diridhoi (atas keputusan) orang tua atau mertuanya (seperti Aurel).. harusnya dukungan keluarga apapun yang dipilih, itu adalah hak kesehatan ibunya, anaknya,” pungkasnya. 

(Foto: Tempo.co)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!