Dear Oki Setiana Dewi, Jangan Normalisasi KDRT: Negara Ini Sudah Mengesahkan UU PKDRT Sejak Tahun 2004

Menormalisasi soal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan aktris Oki Setiana Dewi dalam dakwah, merupakan masalah serius. Dakwah mestinya mendukung istri yang jadi korban KDRT untuk melapor, bukan malah menyuruh menutupi kekerasan yang ia alami demi melindungi suami (pelaku). Ingat, Negara ini sudah mengakui UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sejak tahun 2004

Aktris sekaligus pendakwah Oki Setiana Dewi, 2 hari ini menjadi sorotan tajam pasca dakwah yang ia lakukan. 

Kritikan tajam banyak dilontarkan pada Oki, jadi trending topic di twitter karena Oki dianggap menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta berpotensi semakin meminggirkan posisi perempuan korban kekerasan. 

Semua itu, bermula dari ceramahnya yang beredar di sosial media. Video lengkap ceramah yang berjudul ‘Tingkat Tertinggi Akhlak Istri’ itu, sebetulnya telah tayang pada 20 Maret 2019. Namun semakin mendapatkan atensi publik, setelah video itu tersebar luas di berbagai platform seperti Tik Tok, twitter, instagram dan sebagainya. 

Dalam dakwahnya ia menyatakan: istri yang mendapat kekerasan dari suaminya dan menyembunyikannya merupakan tindakan terpuji.

Bermaksud mencontohkan ketaatan seorang istri kepada suaminya, Oki menceritakan sebuah kisah sepasang suami istri di Jeddah. Suami yang marah besar kepada istri kemudian menampar wajahnya. Kondisi perempuan itu menangis, kemudian terdengar bel pintu di rumah mereka berbunyi dan ternyata ibu sang istri. 

Diceritakan dalam ceramah Oki, istri tersebut kemudian tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya, istri itu pun justru mengatakan pada ibunya, bahwa dia menangis karena merindukan orang tua dan doanya dikabulkan dengan kedatangan mereka. 

Tak seperti kisah di Jeddah itu, menurut Oki, perempuan kerap kali melakukan dramatisasi terhadap masalah yang dialaminya. Termasuk jika ada konflik antar pasangan yang bahkan sampai menimbulkan kekerasan. 

“Kan kalau perempuan kadang-kadang suka lebay ceritanya, gak sesuai kenyataan, dilebih-lebihkan gitu, orang kalau lagi marah, sakit hati, itu ceritanya suka dilebih-lebihkan,” ujar Oki dalam video di Youtube yang telah ditonton lebih dari 82 ribuan itu. 

“Tapi sang istri malah menyimpan aib sendiri, makin cinta suaminya. ‘Tingkat tertinggi akhlak istri’,” tulis Oki dalam keterangan di video Tiktoknya. 

Unggahan Oki kemudian menuai banyak kecaman, baik itu dari kalangan masyarakat,aktivis dan jaringan perempuan hingga Komnas Perempuan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyayangkan adanya ceramah seperti itu. 

Pemerhati isu Perempuan, Iim Fahima dalam sosial media Perempuan Berkisah misalnya, menggarisbawahi enam poin penting terhadap ceramah Oki. Di antaranya, KDRT itu kriminal sehingga melaporkannya bukan hal tabu, menganggap pelaporan KDRT sebagai menjelek-jelekkan suami sama dengan tidak mengakui (invalidating) perasaan perempuan sebagai korban, dan tidak perlu adanya romantisme KDRT yang menganggap orang yang mencintaimu tidak akan memukul. 

Selain itu, Iim juga mengajak melihat ajaran agama secara lebih mendalam ‘apakah Nabi mengajarkan memukuli istri atau justru mengajarkan agar penuh kasih?’, saat ibunya dipukuli korban bukan hanya ibu tapi juga anak-anaknya, dan ceramah ala Oki dikatakan bisa berpotensi semakin membuat banyak korban KDRT takut speak up.

KDRT Tak Bisa Dinormalisasi

Wakil Direktur Institut KAPAL Perempuan, Budhis Utami mengatakan bahwa KDRT dalam bentuk apapun, tidak bisa dinormalkan dan dibenarkan. Melaporkan kasus kekerasan yang dialami juga bukan hal yang patut dicap lebay. 

“Sangat mendiskreditkan perempuan, sangat menganggap tidak penting sama sekali perempuan yang mengalami kekerasan oleh suaminya,” ujar Budhis kepada Konde.co, Kamis (3/2/2022). 

Budhis melanjutkan, Oki sebagai sesama perempuan apalagi ‘suaranya’ banyak didengar sebagai pendakwah, semestinya bisa memberikan dukungan atas banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT. 

Berdasarkan data Komnas Perempuan, selama 17 tahun yaitu sepanjang 2004-2021 setidaknya terdapat 544.452 kasus KDRT atau ranah personal. Secara khusus, lima tahun terakhir ini ada 36.367 kasus KDRT dan 10.669 kasus ranah privat. Dari jenis-jenis KDRT tersebut, perempuan sebagai istri yang paling banyak menjadi korban dengan persentase selalu di atas 70%. 

KDRT tak bisa dianggap main-main. Dampak yang ditimbulkannya serius, mulai dari guncangan psikologis yang menimbulkan perasaan takut, hilangnya kepercayaan diri-an, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban. Bahkan bisa memicu adanya keinginan bunuh diri hingga trauma berkepanjangan. 

Makanya, korban KDRT pun membutuhkan pemulihan komprehensif sebagaimana telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004. Dengan adanya aturan ini, mengakomodir terbentuknya aparat penegak hukum atau masyarakat sipil yang secara khusus dibentuk untuk menangani KDRT seperti P2PTP2A, Women Crisis Center (WCC) atau lembaga pendampingan korban yang dikelola oleh masyarakat. 

Menurut Budhis, perjuangan panjang untuk memenuhi hak-hak perempuan korban KDRT tersebut bisa semakin mengalami kemunduran, jika narasi-narasi seperti yang Oki keluarkan terus langgeng di masyarakat. 

Dia juga menyoroti agar Oki bisa lebih peka terhadap kondisi sesama perempuan yang kompleks. Tak semua punya memiliki privilese termasuk tidak terjerat dari kekerasan seperti KDRT. Untuk berani bicara soal KDRT yang dialami saja berat, apalagi melaporkan dan berupaya mendapatkan keadilan, tidaklah pantas dianggap ‘lebay’. 

Termasuk stigmatisasi terhadap perempuan dengan menyebutnya sebagai sosok yang suka melebih-lebihkan cerita atau ‘lebay’ pun perlu diwaspadai. Selama ini, tak bisa dipungkiri banyak perempuan korban KDRT yang membutuhkan support system dan ruang aman, dikarenakan banyak mereka yang malu dan menyalahkan diri sendiri sehingga banyak yang memilih bungkam atas KDRT yang dialami. 

“Makanya perlu lebih empati, bayangkan kalau penyintas (KDRT), apa tidak sakit,” kata dia. 

Tak hanya berlaku untuk Oki, aktivis perempuan itu juga menekankan pada setiap publik figur ataupun penceramah agama di lingkungan masyarakat untuk lebih hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Singkatnya, jika tak paham konteks masalah perempuan yang struktural, maka sebaiknya menghindari untuk bicara soal perempuan yang malah menimbulkan banyak bias. 

“Berbicara di depan umum itu punya tanggung jawab besar, mengedukasi. (Supaya) Peduli dengan isu-isu kemanusiaan dan isu kekerasan terhadap perempuan,” pungkas dia. 

Indonesia Sudah Punya UU Penghapusan KDRT Sejak Tahun 2004

Indonesia sendiri sudah mengesahkan UU Penghapusan KDRT sejak tahun 2004. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ini disahkan tanggal 22 September 2004. Aktivis perempuan, Estu Fanani dalam tulisannya di website http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/menuliskan, UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum bagi perempuan Indonesia sejak itu karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh Undang – Undang sebelumnya. Setelah itu menyusul Undang-Undang seperti Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT tersebut tidak hanya dalam bentuk–bentuk tindak pidananya, tetapi juga dalam proses beracaranya. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk. Sehingga, diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik. Bahkan dalam Pasal 15 UU PKDRT mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali.

Terobosan hukum yang pertama diakomodir dalam UU PKDRT ini adalah bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga. Sebelum ada UU PKDRT, kekerasan yang dikenal dalam hukum Indonesia hanya kekerasan fisik dengan istilah penganiayaan. Dengan adanya terobosan hukum ini, maka korban KDRT yang selama ini terdiskriminasi secara hukum dapat mencari keadilan seperti yang diharapkan untuk berbagai bentuk kekerasan yang memang terjadi dan menimpa mereka.

Oki Setiana Dewi maupun pendakwah lain harusnya belajar bahwa istri di rumah adalah bagian dari warga negara yang harus mendapatkan perlindungan negara jika ia menjadi korban KDRT suaminya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!