Follower Sosmed NGO Lingkungan Besar Tapi Minim Engagement: Belum Dapat Aksi Nyata Dari Publik

Riset yang dilakukan Remotivi mengungkap, meski audiens media sosial besar secara kuantitas, isu pelestarian lingkungan yang ingin diadvokasikan sejumlah NGO lingkungan belum efektif menjaring interaksi dari audiens yang ditarget. Sehingga aksi Kampanye yang dilakukan NGO lingkungan belum bisa mendapatkan aksi nyata dari publik

Lembaga Kajian Media dan Komunikasi, Remotivi dalam riset terbarunya terkait indeks kematangan digital Non-Governmental Organization (NGO) Lingkungan, menemukan adanya ketimpangan antara tingginya jumlah followers sosial media NGO lingkungan dengan jumlah engagement yang diperoleh. 

Penelitian ini didasarkan pada fakta bahwa krisis iklim di Indonesia kian menjadi ancaman nyata. Sementara pemerintah dan sektor swasta banyak dikritik karena belum menciptakan iklim kebijakan dan model bisnis yang ramah terhadap kelestarian lingkungan.

Di sisi lain, kerja-kerja pengarusutamaan isu lingkungan hidup mesti menghadapi kenyataan minimnya peranan media massa arus utama di Indonesia yang selama ini tersentralisasi pada segelintir aktor bisnis-politik. Tak pelak, konflik kepentingan pada sektor lingkungan hidup pun terjadi (The Conversation, 2017). 

Masyarakat sipil termasuk pun kemudian ambil bagian dalam upaya penyelamatan lingkungan ini. Catatan SMERU (2017), jumlah NGO yang menggeluti lingkungan hidup, merupakan yang paling banyak dibandingkan sektor lainnya. Pangkalan Data Ornop SMERU Institute per 3 Agustus 2021 menyebut, terdapat 143 NGO lingkungan di Indonesia. 

Para NGO lingkungan hidup ini lantas menggunakan media sosial dalam peran advokasinya. Sosmed menjadi alat kampanye yang “lebih murah” untuk mengundang interaksi dan partisipasi publik. Terutama soal kesadaran dan pemahaman isu lingkungan hidup. 

“Kami tertarik untuk memahami sejauh apa efektivitas NGO lingkungan di Indonesia dalam memanfaatkan media sosial sebagai alat advokasi. Demi tujuan tersebut, kami membangun Indeks Kematangan Digital NGO Lingkungan Hidup,” tulis tim peneliti dalam website resmi Remotivi, dikutip Konde.co pada Senin (7/2/2022). 

Tim peneliti Remotivi kemudian melakukan konstruksi terhadap dua aspek utama dari setiap NGO yang menjadi sampel. Pertama, melihat aspek Kapasitas Produksi Digital yang terdiri dari tiga dimensi: strategikulturteknologi. Aspek kedua adalah Optimalisasi Penggunaan Media Sosial yang terdiri dari satu dimensi: performa media sosial.

“Penilaian indeks menggunakan sistem skor skala 5 (1-5) pada setiap indikator,” ujar tim peneliti yang terdiri dari Surya Putra dan Winona Amabel tersebut. 

Kemudian skor akan dijumlahkan secara keseluruhan untuk mengkategorikan NGO ke dalam suatu tahap kematangan digital (stages of maturity) tertentu, yaitu tahap Emerging (Berkembang), Transitional (Transisi),Competitive (Kompetitif), dan Transformative (Transformatif).

Total ada 12 NGO yang berasal dari lima provinsi dengan skor terendah dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2019. Skor terendah menandakan bahwa pengarusutamaan isu lingkungan hidup adalah hal yang paling mendesak untuk dilakukan di sejumlah daerah tersebut, mengingat kondisi kualitas lingkungan hidupnya yang lebih buruk ketimbang daerah lain di Indonesia. 

Marak Digitalisasi, Bagaimana Kesadaran Publik atas Isu Lingkungan Hidup?

Dari 12 NGO Lingkungan itu, sebagian besar organisasi masih berada dalam fase transisi, yaitu fase kedua dalam tahap kematangan digital organisasi. Fase Transisi ini didapatkan dari gabungan aspek Kapasitas Produksi Digital (Strategi, Kultur, dan Teknologi) yang sudah memasuki fase kompetitif, dengan nilai indeks untuk dimensi Performa Media Sosial yang sebagian besar masih berada di fase berkembang. 

Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata NGO yang menjadi subjek penelitian sebetulnya sudah memiliki modal dan kapasitas produksi yang cukup untuk melakukan advokasi digital. Namun, dalam dimensi performa media sosial, mayoritas NGO masih mendapatkan nilai indeks yang jauh lebih rendah.

“Fenomena tersebut bisa diartikan sebagai tidak selarasnya input yang ada dengan output yang dihasilkan. Ini juga menunjukkan belum maksimalnya pemanfaatan kapasitas produksi yang dimiliki,” ujar peneliti Remotivi. 

Tim peneliti menemukan bahwa hal tersebut, bisa terjadi akibat beberapa hal, yaitu minimnya jumlah anggaran dan jumlah sumber daya manusia yang dialokasikan untuk kerja-kerja komunikasi digital, mengingat kedua indikator tersebut mendapatkan skor indeks yang rendah.

Artinya dengan kapasitas produksi yang cukup baik, prioritas NGO lingkungan hidup menurut mereka harus lebih diarahkan kepada peningkatan strategi pembuatan konten untuk meningkatkan performa di media sosial.

Dengan sebagian besar organisasi berada pada fase kompetitif dalam aspek kapasitas produksi digital ini, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar NGO yang menjadi subjek penelitian telah menganggap digitalisasi sebagai hal yang penting. 

Hal tersebut, terlihat dari tiga hal. Pertama, telah mulai tercipta budaya yang mendorong pertumbuhan inovasi dan kolaborasi. Kedua, telah tersedia infrastruktur komunikasi yang dapat mendukung kebutuhan advokasi digital. Ketiga, adanya alokasi sumber daya manusia yang khusus menangani komunikasi digital, dan memiliki pengetahuan serta kemampuan yang mumpuni dalam memanfaatkan teknologi digital untuk advokasi.

“Kami menemukan bahwa tingkat performa media sosial tiap NGO bervariasi. Jika dirata-rata secara keseluruhan, NGO lingkungan hidup yang menjadi subjek dalam penelitian ini hanya mendapatkan skor indeks 2.01,” lanjutnya. 

Ini berarti secara rata-rata, NGO yang berpartisipasi dalam penelitian ini tergolong ke dalam fase transisi pada dimensi performa media sosial. 

Adapun platform media sosial yang tingkat performanya paling tinggi adalah Instagram, yang kedua adalah Facebook dan yang mendapatkan skor terendah adalah Twitter. Artinya, Instagram lebih digunakan secara optimal oleh NGO lingkungan hidup yang berpartisipasi dalam penelitian ini dibanding Facebook dan Twitter.

Kemudian masalah yang ditemukan pada dimensi performa media sosial adalah tingginya jumlah followers media sosial justru tidak dibarengi dengan tingginya engagement

“Sehingga, terjadi ketimpangan antara jumlah followers media sosial yang tinggi di satu sisi dengan jumlah engagement yang diperoleh,” tegas para peneliti. 

Temuan itu bisa diartikan bahwa dalam beberapa kasus, meskipun audiens media sosial besar secara kuantitas, hal yang ingin diadvokasikan justru kurang menjaring interaksi dari audiens yang ditargetkan. Termasuk, kaitannya dengan isu krisis iklim yang nyatanya belum optimal dipahami hingga menjadi aksi nyata publik. 

Lalu, Apa yang Perlu Dilakukan?

Para peneliti merekomendasikan, NGO lingkungan hidup utamanya bagian komunikasi digital, perlu merancang strategi yang lebih terukur dan bersifat jangka panjang. Selain itu, perlu pula ada pengawasan sosial media dengan cara pelacakan (tracking) performa akun media sosial dari waktu ke waktu. 

“Untuk menilai banyak hal, termasuk menilai kesuksesan kampanye digital hingga memberikan berbagai insights untuk membuat dan mengubah strategi terkait cara-cara yang efektif dalam menjangkau audiens (mulai dari platform yang digunakan, frekuensi dan waktu pengunggahan, hingga konten),” lanjutnya. 

Selain itu, perlu pula diselenggarakan program peningkatan kapasitas dan kemampuan staf dalam melakukan advokasi digital melalui pemberian pelatihan-pelatihan, baik pelatihan secara internal maupun mengikutkan staf untuk pelatihan dengan pihak eksternal. 

Penelitian mengenai jenis-jenis konten yang mendapatkan performa yang baik dan efektif dalam mengadvokasikan isu-isu lingkungan juga perlu terus dikembangkan. Hal ini dapat dieksplorasi dari segi teknis, contohnya seperti frekuensi dan waktu pengunggahan, serta format konten (video, foto, carousel, dsb), 
ataupun dari segi strategi pengembangan konten.

“Perlu ada penelitian lanjutan yang mengeksplorasi perspektif audiens untuk melihat sejauh apa advokasi digital yang dilakukan organisasi lingkungan hidup mempengaruhi audiensnya,” pungkas peneliti. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!