Peace Innovation Academy: Ajak Kamu Kampanye Isu Perempuan, Perdamaian dan Keamanan

Peace Innovation Academy mengajak kamu anak muda untuk memahami pemetaan isu perempuan, perdamaian dan keamanan dengan melakukan kampanye melalui media sosial dan media untuk penyebarluasan intepretasi teks keagamaan yang sensitif gender dan pro-perdamaian.

Katherine W. Phillips, pembantu dekan senior di Columbia Bussines School sekitar 5 tahun lalu telah memberikan jawaban atas pertanyaan soal apa fungsinya mengajarkan keberagaman bagi anak muda.

Dengan menganalisis kumpulan riset dari para ilmuwan, psikolog, sosiolog, ekonom dan ahli demografi sepanjang beberapa dekade terakhir yang dipaparkan di laman Scientific American, Katherine merasa tak puas dengan analisis wacana keragaman yang rata-rata menjawab “Anda tak akan bisa membuat mobil tanpa insinyur, desainer, dan ahli penguji kualitas”.

Ia benar-benar bertanya, apakah perbedaan berdasarkan SARA dan gender yang tak bisa terhindarkan itu benar-benar memiliki fungsi bagi kemanusiaan itu sendiri, atau justru hanya akan berakhir sebagai legitimasi bagi perpecahan?

Akhmad Muawal Hasan menuliskan hal ini di Tirto.id dalam artikel “Hidup dalam Keragaman Membikin Kita Lebih Pintar.” Katherine berkesimpulan, kita memang memerlukan keragaman itu.

Berdasarkan riset yang ia kumpulkan, keragaman melahirkan kreativitas dan inovasi, memprovokasi lahirnya gagasan-gagasan baru, hingga membekali seseorang untuk bersikap lebih bijak saat tumbuh dewasa. Ia menyatakan, jika orang-orang yang berasal dari ras, gender, maupun dimensi kehidupan yang berbeda berkumpul dalam satu forum, masing-masing akan membawa informasi dan pengalaman yang berbeda. Ini menjadi keuntungan sendiri saat kelompok tersebut dihadapkan pada satu tugas bersama yang kompleks. Mereka membawa lebih banyak referensi dan merefleksikan keragaman intelektual. Karena homogenitas, dalam pandangan Katherine, akan membuat seseorang cenderung stagnan dan sulit untuk maju

Konde.co bersama Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan UN Women akan menyelenggarakan agenda Peace Innovation Academy. Ini merupakan agenda perjumpaan dengan menggagas soal keragaman dan kampanye melalui media dan media sosial. Gagasan ini diharapkan menjadi ruang pertemuan sekaligus konsolidasi bagi perempuan muda untuk makin menggaungkan isu keragaman melalui kampanye di media dan media sosial

Peace Innovation Academy mengajak perempuan muda memahami pemetaan isu ini dan melakukan kampanye melalui media sosial dan media untuk penyebarluasan intepretasi teks keagamaan yang sensitif gender dan pro-perdamaian. Lalu membuat produk kampanye dan melakukan kampanye bersama dan mempertemukan dan memperluas networking kampanye dan media untuk lebih menyebarkan pemikiran dan pengetahuan isu tersebut melalui media

Dalam agenda ini kamu bisa mengikuti training, fellowship, pameran karya dan festival film. Seluruh rangkaian ini akan dilakukan pada 1 Februari-30 Maret 2022

Buat kamu anak muda perempuan, laki-laki dan gender lainnya, bisa mengikuti training dan fellowship ini dengan mendaftar melalui: https://s.id/PendaftaranPeaceInnovationAcademy

Ini berlaku untuk perempuan, laki-laki, dan gender lain berusia 18-35 tahun, tertarik untuk mempelajari isu perempuan dan perdamaian. Peserta terpilih, kamu akan mengikuti Training pembuatan artikel, kampanye di media sosial, pembuatan video, foto dan infografis pada tanggal 25-27 Februari 2022. Bagi peserta terpilih, kamu berhak untuk mengikuti fellowship kurang lebih sebesar Rp 270.000.000. Dan peserta terbaik berkesempatan untuk menjadi Peace Innovator Academy

Kondisi dan Situasi Keberagaman dan Perempuan di Indonesia

Sejumlah catatan menyebut: persoalan keberagaman di Indonesia dimulai ketika ada kelompok yang menolak keberagaman. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis suku bangsa yang menempati wilayah kepulauan Indonesia dengan 6 agama yang diakui oleh negara dan beberapa aliran kepercayaan lokal yang sampai saat ini masih dipraktekkan, dan  tersebar di 13.466 pulau yang terdaftar di Indonesia.

Sayangnya, keragaman tersebut mulai terancam akibat menguatnya kelompok-kelompok intoleran dan radikal fundamentalis. Menguatnya gerakan anti keberagaman telah berkontribusi pada semakin melemahnya proses demokrasi di Indonesia. Fundamentalisme agama saat ini juga meluas hingga ke ranah publik secara terbuka.

Menguatnya sistem politik patriarki yang didukung dengan sistem fundamentalisme telah melahirkan berbagai  kecenderungan politik yang ditandai dengan  model pengelolaan kekuasaan partiarki dan telah melegitimasi  kekuasaan otoriter, dalam banyak ketentuan perundangan yang membatasi hak-hak dan mengeksploitasi tubuh perempuan.

Sistem politik partriaki dan fundamentalisme yang seperti ini telah menimbulkan penderitaan bagi  perempuan, yang selama ini tidak diuntungkan oleh proses kebijakan diskriminatif yang sering kali menyasar tubuh perempuan, dan akhirnya memicu situasi penindasan berlapis terhadap perempuan dalam berbagai hal.

Suburnya fundamentalisme di berbagai tempat juga telah memperpanjang deretan masalah yang dihadapi perempuan, sebagai dampak dari menguatnya kontrol dan penindasan terhadap perempuan atas nama agama. Fundamentalisme yang mengandalkan sikap intoleran dan radikal dengan tafsiran ajaran agama yang sempit, tunggal dan sepihak digunakan untuk mendominasi dan membatasi ruang gerak atau ekspresi politik perempuan bahkan mengontrol tubuh, pikiran, dan hasil kerja perempuan melalui doktrinasin dan stigmatisasi perempuan. Atas nama tafsir agama, perempuan dipinggirkan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan otensitas nilai-nilai agama yang lebih harmoni.

Dengan demikian meningkatnya fundamentalisme agama  semakin menutup akses dan kontrol, serta menghilangkan kedaulatan perempuan baik pada ruang publik maupun ruang domestik.

Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan perjuangan yang selama ini dilakukan oleh gerakan perempuan untuk memperoleh hak asasi perempuan.  Padahal sejak 32 tahun lalu Indonesia  telah meratifikasi konvensi internasional anti diskriminasi terhadap perempuan  (ratifikasi CEDAW tahun 1984), namun sayangnya hingga hari ini, pemerintah  belum serius mengatasi bahkan membiarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan.

Wajah intoleransi di Indonesia dipenuhi dengan banyaknya praktik diskriminasi yang dikuatkan melalui kebijakan diskriminatif yang menyasar seksualitas perempuan. Saat ini, setidaknya terdapat 421 kebijakan diskriminatif dan meningkat setiap tahunnya. telah mengakibatkan menguatnya praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang mengatasnamakan agama.

Sementara Negara tidak mampu menjamin perlindungan terhadap pilihan masyarakat dalam menjalankan keyakinan, kepercayaan, orientasi seksual dll. Situasi ini akan semakin mengancam keberagaman, kedaulatan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi, berpendapat dan menentukan pilihan politiknya ataupun mengambil keputusan untuk dirinya, keluarganya maupun komunitasnya.

Ironisnya masyarakat khususnya perempuan harus memiliki kesamaan pendapat sehingga perempuan yang berbeda pendapat dan cara pandangpun dipaksa harus menyetujui pendapat kelompok mayoritas. Tidak hanya sampai disitu, perempuan juga menghadapi stigmatisasi yang dikaitkan dengan pilihan keyakinan, misalnya perempuan dianggap tidak memahami agama dan tidak berhasil mengasuh anak yang berbeda pola pikir. Peran perempuan yang tersubordinasi di dalam keluarga karena pendapat perempuan dianggap melekat pada pendapat ayah, suami atau keluarga laki-laki. Tentu saja kondisi tersebut mengabaikan kedaulatan perempuan dalam menyuarakan pendapat dan posisinya terkait persoalan ini.

Joeni Arianto Kurniawan, Dosen Tetap dan Direktur Center for Legal Pluralism Studies (CLeP), Universitas Airlangga dalam Theconversation.com menyatakan, memasuki tahun 2022 ini seperti , muncul berbagai peristiwa yang semakin menunjukkan rapuhnya relasi beragama di Indonesia, Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas. Ini disebabkan selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama. Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamannya; ini belum cukup. Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan.

Sepanjang 2020, Setara Institute juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia. Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas.

Maka berangkat dari kondisi ini, Konde.co bersama AMAN Indonesia dengan didukung UN Women akan menyelenggarakan pendidikan Peace Innovative Academy yang dikhususkan untuk para perempuan muda. Pelatihan ini ingin melakukan kampanye terhadap isu ini melalui media dan media sosial

Kondisi Media Saat Ini

Meningkatnya fundamentalisme juga menciptakan standar nilai berdasar moralitas yang menyasar seksualitas perempuan di media, seperti moral perempuan dikaitkan dengan persoalan pakaian perempuan. Bahkan, politisi  di daerah saat ini juga berlomba menggunakan simbol dan moralitas agama sebagai indikator keberhasilan pembangunan, kebijakan, dan program yang mengatur seksualitas perempuan. Kebijakan terkait perempuan banyak dikaitkan dengan agama dan moralitas

Peran media juga dinilai berkontribusi dalam menyebarkan pesan-pesan intoleransi. Ini dapat terlihat dari peran media maintream yang menyebarkan berita provokatif dan tidak sepenuhnya diklarifikasi kebenarannya. Berita tersebut telah berdampak pada semakin tingginya kebencian antar kelompok maupun pada salah satu kelompok kepada kelompok lain.

Konflik juga banyak terjadi didalam diskusi media sosial yang berdampak pada pemutusan hubungan keluarga, persaudaraan dan pertemanan. Komunikasi media tentang isu pilkada dan agama, juga memperlihatkan bahwa orang tidak dapat berbeda dalam memberikan pandangan, cara pikir, pendapat serta pilihan yang berbeda.

Pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kekuatan patriarkis kelompok fundamentalisme  telah memaksakan bentuk-bentuk kebijakan maupun cara pengelolaan negara yang tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Berbagai kebijakan diskriminatif yang lahir semakin memperpanjang mata-rantai seperti diskriminasi, kekerasan, peminggiran perempuan di dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai bentuk pelanggaran hak azasi perempuan

Kondisi meningkatnya konservatisme agama di Indonesia juga menyebabkan media kemudian memperkuat stereotype pada perempuan. Kondisi ini juga mempengaruhi gerakan kelompok yang menguat yang berkampanye anti feminis di sosial media. Mereka mencoba mempengaruhi publik untuk menolak kampanye stop kekerasan terhadap perempuan.

Internet yang seharusnya menjadi media baru bagi perempuan untuk membuka ruang demokrasi, ternyata juga menjadi alat politik untuk menumbuhkan kebencian dan kampanye fundamentalisme agama yang mengancam perempuan. Gerakan ini juga menguat seiring kampanye dan advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana kekerasan seksual

Kondisi ini kemudian membutuhkan penyebarluasan intepretasi teks keagamaan yang sensitif gender dan pro-perdamaian yang dibutuhkan untuk penguatan kapasitas dan peran perempuan dalam pembangunan perdamaian dan transformasi konflik, termasuk pencegahan ekstremisme kekerasan (PVE).

Para perempuan muda, terutama aktivis online dan pembuat konten perlu melakukan aktivitas bersama dalam keterampilan strategi komunikasi, serta dilatih untuk secara percaya diri mengungkapkan pandangan mereka dalam mencegah ekstremisme kekerasan dengan perspektif gender dan hak asasi manusia, dan pendekatan psikologis.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!