Pelecehan Seksual di Masa Pandemi Terjadi Di Ruang Pemeriksaan Covid-19, Pelakunya Petugas Kesehatan

Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan, setidaknya ada 100 responden yang menjadi korban pelecehan seksual ketika sedang berada di lokasi pemeriksaan tes Covid dan tempat karantina pasien Covid-19. Sebanyak 44 responden melaporkan, pelaku pelecehan adalah petugas kesehatan

Selama masa pandemi, kebutuhan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan publik meningkat. Namun ironisnya, fasilitas yang melayani masyarakat mulai dari pengecekan tes Covid-19 hingga karantina pasien Covid-19, nyatanya justru rentan adanya pelecehan seksual.

Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan, setidaknya ada 100 responden pelecehan seksual yang menjadi korban ketika sedang berada di lokasi pemeriksaan tes Covid-19, yaitu sebanyak 29 responden, dan tempat karantina pasien Covid-19 ada 5 responden dengan pelaku pelecehan adalah petugas kesehatan

Secara keseluruhan, riset dari program Power to You(th) yang didukung Rutgers Indonesia ini, melibatkan total 4.236 responden dari 34 provinsi. Mayoritas responden yang berjumlah 3.037 orang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual.  Korban didominasi oleh perempuan sebanyak 3.539 responden (83,55%), laki-laki 625 responden (14,75%) dan gender lainnya sebanyak 72 responden (1,7%).

“Selama pandemi COVID-19, lokasi terjadinya pelecehan seksual semakin meluas, bahkan terjadi di ruang terkait kesehatan dan COVID-19. Fasilitas kesehatan, lokasi pemeriksaan tes COVID-19, dan tempat karantina pasien COVID-19 juga dilaporkan menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual oleh 134 responden. Bahkan 44 responden melaporkan bahwa pelaku pelecehan adalah tenaga kesehatan,” ujar Anindya Restuviani perwakilan dari KRPA dalam paparan riset secara daring, Senin (31/1/2022). 

Anindya menyebut, survei KRPA juga menemukan bahwa pelecehan seksual tak hanya banyak terjadi di ruang publik fisik (offline), namun semakin meluas hingga ke ruang-ruang digital (daring/online). 

Responden yang mengalami pelecehan seksual, kata Vivi, paling sering mengalami pelecehan seksual di 5 lokasi tertinggi yaitu ruang publik seperti jalanan umum atau taman (70% responden), kawasan pemukiman (26% responden), transportasi umum, termasuk sarana dan prasarananya (23% responden), toko, mall, dan pusat perbelanjaan (14% responden) dan tempat kerja (12% responden). 

Kemudian, di ranah digital/online, pelecehan seksual paling tinggi terjadi di lima ruang daring yaitu media sosial (42% responden), aplikasi chat (33% responden), aplikasi kencan daring (9%

responden), ruang permainan virtual (4% responden), dan ruang diskusi virtual (2% responden).

Salah satu temuan penting dari survei ini juga membuktikan, kebanyakan orang yang

mengalami pelecehan seksual tidak menikmati pengalamannya dan menolak anggapan masyarakat bahwa pelecehan merupakan pujian. 

“Orang yang mengalami pelecehan banyak mengaku kalau mereka merasa tidak nyaman, kesal, dan marah. Beberapa responden juga mengaku kalau mereka merasa depresi hingga terpikir untuk bunuh diri,” tambah Anindya Vivi dari KRPA.

Dalam peluncuran hasil survei ini, KRPA juga mengeluarkan data terkait identitas pelaku

pelecehan. Menurut hasil survei, identitas pelaku pelecehan seksual antara lain adalah orang

tak dikenal, teman, rekan kerja, penyedia jasa transportasi, tetangga, dan anggota keluarga.

“Data ini kembali memecah mitos yang banyak orang yakini bahwa pelecehan seksual hanya

dilakukan oleh orang tak dikenal, padahal sebenarnya banyak juga dilakukan oleh orang yang

korban kenal, bahkan anggota keluarga sendiri,” menurut Siti Aminah Tardi, selaku Komisioner

Komnas Perempuan menanggapi hasil survei.

Hasil survei kali ini menunjukkan bahwa perempuan dan gender minoritas lainnya memiliki kecenderungan mengalami pelecehan seksual di ruang publik enam kali lebih besar daripada laki-laki selama pandemi COVID-19.

“(Pelecehan di ruang publik) Ini bisa melestarikan rape culture dan mengurangi hak perempuan untuk mobilitas di ruang publik. Ada proses domestikasi secara tidak langsung, di sisi lain, perempuan berkurang aksesnya untuk mendapatkan kemajuan teknologi,” terang dia. 

Penyandang Disabilitas Harus Lebih Diperhatikan

Penyandang disabilitas masih menjadi kelompok rentan kaitannya dengan pelecehan seksual. Tak hanya keterbatasan akses informasi, namun juga infrastruktur yang belum maksimal dalam mekanisme pelaporan hingga perlindungan hukum yang inklusif. 

Perempuan penyandang disabilitas, Nissi Taruli Felicia mengamini hal itu. Dia bilang selama ini, para difabel memang masih kesulitan dalam melaporkan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami. 

“Cara mengakses informasi, contoh akses pelaporan apa saja bentuknya. Aksesibilitas untuk melapor,” kata Nissi di kesempatan yang sama.  

Ke depan, Nissi berharap riset soal kekerasan ataupun pelecehan seksual semacam ini, bisa lebih menyentuh kalangan penyandang disabilitas. Sehingga, bisa mengetahui kebutuhan dan tantangan dalam upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan kekerasan/pelecehan seksual. 

Rastra Yasland dari KRPA menekankan, pelecehan seksual pada saat pandemi adalah isu besar yang harus kita respon dengan serius. Pasalnya, pelecehan seksual mempersulit masyarakat hidup di tengah krisis oleh pandemi COVID-19. Ancaman keselamatan menjadi berlapis di masa pandemi ini: dua dari tiap tiga responden survei yang mengalami pelecehan menyatakan hal tersebut memperparah situasi dan perasaan mereka di saat pandemi. 

“KRPA ingin mengajak semua orang untuk #GerakBersama melawan pelecehan dengan menggunakan data ini sebagai alat advokasi dalam membentuk ruang publik

yang aman di lingkungan masing-masing,” ujar Rastra. 

Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan juga mengajak semua kalangan masyarakat agar terlibat dalam upaya pencegahan pelecehan seksual. Semisal, bagaimana sikap jika mengetahui ada pelecehan atau kekerasan seksual di sekitarnya. 

Terlebih di ruang publik, langkah itu menurutnya perlu terus digalakkan bersama. Mulai dari kampanye-kampanye secara offline maupun online yang aksesibel bagi semua kalangan. Tak kalah penting, dia juga mendorong implementasi RUU TPKS. 

“Mendesak segera disahkan RUU TPKS. Saat ini menjadikan pelecehan seksual sebagai tindak pidana pelecehan seksual. Tindak pelecehan fisik, non-fisik, dan teknologi informasi. Hasil survei ini (kemudian juga) harus menjadi Komnas Perempuan dan Satgas Covid-19,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!