Perkenalkan, Aku Dea Perempuan Tanpa Vagina

Aku perempuan yang terlahir tanpa vagina. Ini membuat hidupku penuh perjuangan dan sering diperlakukan tak adil. Tuntutan hidup sebagai perempuan ‘normal’ membuat hidup tak pernah mudah bagiku.

Lahir tanpa vagina, membuat Dea harus berjuang untuk diakui sebagai ‘perempuan’. Bahkan ketika sudah memiliki vagina pun, ia masih mendapatkan perlakuan tak adil. 

Saat memperkenalkan diri dalam diskusi ‘Merayakan Feminisme’ bertajuk Keberagaman Dalam Kehidupan yang diadakan Kalyanamitra bersama Konde.co pada Sabtu (30/10/2021) lalu, Dea menyebut dirinya sebagai perempuan biasa yang harus berjuang dan melakukan banyak hal untuk bisa mengklaim dan diakui sebagai perempuan. 

Saat ini ia sedang menyelesaikan pendidikan S2nya di Australia. Dalam penilaian banyak orang, Dea terlahir ‘berbeda’. Secara fisik, ia lahir tanpa vagina. Itu sebabnya orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya, memperlakukan Dea sebagai laki-laki. Namun Dea tetap merasakan bahwa dirinya seorang perempuan. Kondisi ini membuat orang-orang di sekitarnya menganggap Dea tidak normal. 

Ia sering menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Sejak kecil Dea dipaksa untuk belajar kompromi dengan segala perlakuan yang diterimanya. Dan, bertahun-tahun ia harus memendam semua itu sendirian. 

“Tidak mudah untuk menjelaskan tentang apa yang saya alami, karena memang tidak ada komunikasi yang baik dalam keluarga kami,” terang Dea tentang relasi di keluarganya yang relatif kaku. 

Ia juga diperlakukan secara berbeda. Diskriminasi ini bahkan juga dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Suaranya bergetar, saat menceritakan bagaimana saat mengajarinya mengaji, ayahnya tidak mau melihat langsung ke wajahnya. 

Dea juga sering ditinggal sendirian dan tidak dilibatkan dalam kebersamaan keluarganya. Sering ia harus tinggal di rumah sendirian, saat anggota keluarga lainnya menghadiri kegiatan di luar rumah atau acara keluarga besar. 

Dea menggambarkan masa pertumbuhannya dulu menjadi masa paling berat dalam hidupnya. Bagaimana ia harus menghadapi panggilan yang tak diiinginkkan dari teman-teman sebaya. Sederet pertanyaan muncul di benaknya saat itu. Mengapa dia dilahirkan seperti ini dan harus menghadapi semua perlakuan yang tidak adil ini. 

Meski hatinya berontak, Dea tidak melawan secara frontal atas semua yang dialami. Dia memilih menahan diri dan tidak terlalu memikirkan perlakuan diskriminatif yang bagi orang lain bisa sangat merusak. Dea mengaku beruntung ia bisa bertahan dan tidak lari dari rumah. Ia tidak yakin akan bisa menjadi dirinya saat ini, jika ia lari dari rumah dan hidup di jalanan.

Baca : Dorce, Inspirasi Transpuan Indonesia

Saat memasuki usia remaja, ia mencoba mencari jawaban atas banyak pertanyaan yang mampir di kepalanya. Tentang apa yang dialami dan dirasakannya. Ia rela antre berjam-jam untuk bisa meminjam buku di perpustakaan, untuk mencari tahu penyebabnya. Membaca buku, tentu saja untuk referensinya berpikir

Dari situ ia tahu apa yang harus dilakukan yakni mengekspresikan diri tanpa harus show off atau mencoba membuktikan diri kepada orang lain. Perlakuan orang, ujarnya, toh juga tergantung pada bagaimana kita bersikap.

“Ketika kamu bisa menekan ego, maka orang-orang akan menurunkan sikap penolakan mereka,” ujarnya membagi pengalaman. 

Sampai suatu saat: awalnya Dea takut untuk mengungkap identitas dirinya, namun akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara secara terbuka dengan orangtuanya dari hati ke hati soal identitasnya. Dan sejak saat itu ia merasa plong, akhirnya ia bisa cerita! 

Orangtuanya tentu saja tidak langsung mendukungnya, tapi mau menerima keputusannya: “just, do it!” Begitu kata orangtuanya

Kata-kata ini kemudian menjadi semacam mantra yang mendukungnya untuk maju, dan lebih terbuka pada identitasnya. Dea mengatakan, lingkungan berpengaruh sangat kuat untuk mendukung identitas yang berbeda

“Orangtua mungkin tidak langsung dukung tapi memberikan ruang, itu yang terpenting.” tegasnya.

Berjuang Sendiri

Perjuangan Dea untuk bisa diakui sebagai perempuan tak seperti jalan bebas hambatan. Ia harus mengusahakan dan memperjuangkan semuanya sendirian. Dukungan dari keluarga belum didapatkannya saat itu. Orang tuanya memang tidak melarang Dea untuk menjalani operasi, tetapi mereka juga tidak mendukungnya. 

Sekali lagi Dea harus menghadapi diskriminasi saat mengurus legalitas yang harus dijalaninya untuk memiliki vagina untuk identitas barunya. Dea masih ingat bagaimana ia diperlakukan saat menjalani terapi hormon. 

Sebuah rumah sakit di Jakarta menolaknya untuk mengambil tindakan yang dimohonkan Dea. Ini yang membuat Dea tak habis pikir adalah penolakan itu dilandasi saran tokoh agama. 

“Bagi saya ini aneh, bagaimana soal medis seperti ini didasarkan pada pendapat ulama?” ujarnya dengan suara bergetar. 

Namun bukan berarti masalah yang harus dihadapi Dea terhenti setelah dilakukan assignment istilah yang digunakan untuk operasi kelamin. Dea harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan Negara atas identitas barunya. Tak mudah bagi Dea untuk mendapatkan KTP. 

“Karena tidak punya KTP saya punya kartu Jamsostek sehingga tidak bisa mencairkan jaminan di BPJS,” ujarnya. 

Dea akhirnya dirujuk ke sebuah rumah sakit di Surabaya. Ini membuatnya harus mengurus dan menjalani semua proses dalam tahapan penting dalam hidupnya itu sendirian. Jauh dari sanak keluarga. 

Usai proses panjang usai menjalani operasi untuk bisa memiliki vagina agar bisa diakui sebagai perempuan, Dea mengaku benar-benar menemukan jati dirinya “Setelah lakukan assignment merasa menjadi diri sendiri dan merasa lebih lega karena bisa tampil seperti yang saya mau,” imbuhnya. 

Walau sudah berganti nama, Dea tetap saja mengalami banyak hal yang bikin sakit mental, lalu disitu ia belajar membawa diri dan tidak harus menjadi orang lain. 

Sebagai perempuan transgender, Dea menyatakan dirinya bernasib baik. Ia berhasil mendapatkan pekerjaan formal seperti sekretaris di perusahaan asing. Ia bahkan pernah dipercaya menjadi General Manager di sebuah perusahaan 

Kebahagiaan itu kian lengkap saat kedua orang tuanya bisa menerima dirinya seperti apa adanya. Menjelang wafat, ayah Dea meminta maaf atas perlakuannya kepada Dea selama ini. Dari situ, ujarnya, saya jadi tahu mereka punya alasan atas sikapnya yang tidak saya ketahui. 

Penerimaan ini mengalirkan energi positif bagi Dea yang selanjutnya mengalir ke orang-orang di sekitarnya. Sikap positif yang selalu ditunjukkan Dea membuatnya semakin banyak orang yang menerima identitas barunya

Dea kini hidup bahagia dengan identitas barunya. Dengan orang-orang yang mau menerima dirinya apa adanya. 

Meski demikian, tetap saja perlakuan diskriminatif yang dialaminya sejak kecil meninggalkan trauma mendalam bagi Dea. Hingga kini, Dea yang sudah beberapa tahun menetap dan menikah di Australia ini mengaku masih saja merasa takut jika harus sendirian. 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!