6 Alasan Kenapa Perda Penanggulangan Penyimpangan Seksual Harus Dibatalkan

Perda Kota Bogor tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual yang disahkan Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bogor dinilai melanggar HAM LGBT. Padahal Jawa Barat digadang-gadang bakal menjadi “tuan rumah” ramah HAM. Tentu saja, ini sangat kontradiktif.

Pada 21 Desember 2021, Pemerintah Kota Bogor dan DPRD Bogor telah mengesahkan Peraturan Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual. Aturan tersebut banyak ditentang karena berpotensi melanggengkan persekusi sistematik utamanya bagi kelompok minoritas. 

Konde.co melakukan wawancara dengan Riska Carolina, aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), salah satu pembuat policy brief tentang mengapa Perda ini harus dibatalkan karena membahayakan, akan menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman LGBT

Riska menilai Perda yang berisikan tentang ‘anti penyimpangan seksual’ tersebut, bukan saja hanya bernuansa diskriminatif. Namun, benar-benar diskriminatif. Saat ini, pihaknya tengah mengumpulkan dukungan untuk membatalkan Perda diskriminatif itu. 

“Saat ini sudah ada 141 dukungan organisasi masyarakat sipil untuk Gubernur dan Mendagri (Kementerian Dalam Negeri) berkoordinasi dan membatalkan perda diskriminatif ini,” ujar Riska kepada Konde, Jumat (18/3/2022). 

Tak hanya itu, pihaknya kini tengah berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk memberikan pernyataan dan mengirimkan surat resmi kepada Gubernur Jawa Barat. Harapannya, ada desakan terhadap Jawa Barat agar Perda-perda diskriminatif itu tak jadi diberlakukan. 

Menurut Riska, ironis pula jika Perda-Perda tersebut disahkan. Padahal, Jawa Barat digadang-gadang bakal menjadi “tuan rumah” ramah HAM. Tentu saja, ada kontradiktif yang begitu nyata. 

Usai ramai dalam pemberitaan media, Riska berencana akan memberikan policy brief kepada KSP (Kepala Staf Kepresidenan). Tujuan pertemuan itu agar Bogor serta daerah manapun terlebih di Jawa Barat tidak pernah memenuhi kualifikasi sebagai kota ramah HAM. Sebab, adanya perda-perda yang justru sangat diskriminatif termasuk menyoal keragaman gender dan seksualitas. 

“Ada dua goal, pembatalan perda diskriminatif dan Bogor serta semua daerah di Jawa Barat, tidak akan menjadi kota ramah HAM,” kata Riska.  

Sebelumnya, Riska bersama Imparsial serta Koalisi Kami Berani telah membuat policy brief yang memaparkan alasan mendesak perda soal ‘anti penyimpangan seksual’ harus dibatalkan. 

Konde.co merangkum isi policy brief tentang 6 alasan mengapa Perda ini harus dibatalkan:

1.Kebijakan Tak Berbasis Bukti (evidence based policy)

Pasal 6 dalam Perda itu menyebutkan laki-laki penyuka laki-laki (homoseksual), perempuan penyuka perempuan (lesbian),  pecinta seks anak (pedofilia erotica), transgender/waria (transvestisme), sebagai bentuk penyimpangan seksual. Padahal, hal itu tidak berdasarkan bukti.  

Pada 2016 PDSKJI yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, mengeluarkan surat edaran internal antar Psikiatri, yang sayangnya meluas diketahui oleh khalayak. Jika surat ini yang dijadikan acuan dalam raperda P4S, maka jelas artinya draft raperda tersebut tidak berbasis bukti. ICD-10 (International Classification of Disease) sendiri adalah klasifikasi kesehatan yang dibuat oleh WHO, yang dapat membuktikan gambaran situasi kesehatan umum negara dan populasi. Jadi, tidak hanya berfokus di kesehatan mental saja. 

“Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III adalah pengejawantahan dari ICD 10, meskipun mencantumkan terminologi homoseksual dan biseksual, namun pada poin F66 disebutkan “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”. Bahkan International Classification of Diseases 11th Revision, menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan,” tulis policy brief itu. 

Belum lagi hal-hal lain yang disinggung dalam pasal 6 juga menggelikan. Masturbasi atau racap dianggap sebagai sebuah bentuk penyimpangan seksual. Padahal, masturbasi adalah praktik seksual yang umum dan bagian dari seksualitas normal. Pelarangan dari masturbasi hanya akan menimbulkan perasaan bersalah karena internalisasi agama yang kini masih banyak pula terjadi di masyarakat. 

Selain itu, segala bentuk penyimpangan dalam perda itu merupakan kejahatan tanpa korban (crime without victim). Artinya, kejahatan itu tidak menimbulkan korban sama sekali tetapi si pelaku sebagai korban. Maka, hal itu semestinya tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan. 

2. Persekusi Kelompok Marginal yang Masuk di Ruang Privat

Perda ini juga bisa berdampak pada persekusi terhadap LGBT karena dianggap sebagai penyimpangan, amoral, hingga ancaman bangsa. Semakin melanggengkan pandangan masyarakat terhadap LGBT yang diskriminatif dari tahun ke tahun yang tak banyak berubah.  

Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia menyebutkan bahwa dari tahun 2006 hingga 2017 terdapat 45 perda diskriminatif yang menyasar kelompok ragam gender dan seksual. Belum lagi di tahun 2019 muncul 12 perda yang bernuansa ancaman keluarga dimana sebagian besarnya memperbolehkan terapi konversi. Kemudian di tahun 2020, RUU Ketahanan Keluarga dibahas dan menuntut “pembenaran terapi konversi” kepada ragam gender dan seksual. 

3. Tidak Berdasar Asas-asas Pendidikan Seksualitas Komprehensif

Perda diskriminatif termasuk yang di Bogor ini tidak memberikan informasi yang benar untuk informasi dan edukasi terkait dengan seksualitas yang komprehensif. Pendidikan seksualitas hanya dilihat dari pandangan makro saja, tidak interpersonal dan selektif sesuai dengan umur.

Padahal, harusnya komposisi Pendidikan seksualitas komprehensif itu meliputi hubungan atas nilai, hak, budaya dan seksualitas. Selain itu, mampu memahami gender, tubuh manusia dan perkembangannya, seksualitas dan perilaku seksual, hingga kesehatan reproduksi dan seksual yang luput dipahami secara mendalam dalam Perda itu. 

4. Penyiksaan Berkedok Pengobatan dan Tidak Berbasis Bukti Ilmiah

Perda itu mencakup pula upaya rehabilitasi terhadap “perilaku penyimpangan seksual”. Namun sayangnya, malah justru tidak bermanfaat dan tidak mendasar pada keilmuan. Dampaknya, semakin menimbulkan penyiksaan bagi kelompok minoritas. 

Rehabilitasi seperti pada “terapi konversi” digunakan untuk menyasar para LGBT yang memaksakan bahwa orientasi seksual atau identitas gender (SOGI) seseorang dapat dan harus diubah. Terlebih, jika tanpa adanya persetujuan/consent yang tanpa tekanan dan manipulasi. 

Padahal jelas, Deklarasi Universal HAM Pasal 5 menekankan bahwa tidak seorangpun dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Pasal 7 mengungkap, tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukum keji yang lain, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. 

5.Beban APBD untuk Ikut Campur Ruang Privat

Pengaplikasian Perda ini perlu membentuk Komisi Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (KP3S) yang banyak dinilai tak perlu. Belum lagi, proses pelaksanaannya di lapangan (operasional) yang tentunya tidak akan menghabiskan sedikit anggaran yang diambil dari APBD. 

“Sungguh sia-sia rasanya membuang APBD untuk seks segitiga yang masyarakat (bahkan ahli pun), tak mampu menjabar maksud Perda ini. Hal ini akan mereplikasi Perda-perda diskriminatif lain yang tidak relevan dengan UUD 1995 khususnya pasal 28A hingga pasal 28J UUD 1945,” jelas policy brief. 

6. Potensi Pelanggaran HAM Berat Sistematis

Potensi besar yang dilakukan Bogor adalah melibatkan organisasi masyarakat sipil berbasis agama untuk keperluan pendanaan. Tanpa mengetahui akibat dari hukum itu akan menyebabkan depresi bahkan persekusi kepada kelompok ragam identitas gender dan seksual. Hal itu dapat melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!