Anggun Pradesha: Perjuangan Sutradara Transgender Merebut Ruang Perfilman Indonesia 

Industri film Indonesia belum menjadi ruang inklusi. Kelompok transgender masih harus berjuang untuk itu. Anggun Pradesha adalah sutradara transgender yang berjuang lewat film-filmnya. Salah satu filmnya, “Kuliah atau Nikah” (2021) memotret representasi perempuan dan transgender dengan ringkas dan mengena. 

“Kuliah atau Nikah” adalah film Anggun Pradesha yang diluncurkan Desember 2021. Film ini bercerita soal relasi antara Selvi (Cahaya Ilmi) sebagai adik Anggun, dan pacarnya, yaitu Rado (Dimas Ivan Nurfaiz) yang saling mencintai dan menjalin hubungan serius. Sampai akhirnya Rado mencoba mengajak Selvi menikah begitu lulus SMA

Keseriusan hubungan Selvi dan Rado ini mengawali Film “Kuliah atau Nikah” besutan Anggun Pradesha. Namun hubungan itu menjadi kian menjadi rumit oleh sikap Rado yang tak mau menerima Anggun (Anggun Pradesha), yang seorang transpuan. Sulitnya menerima keberadaan transpuan ini menjadi pembeda film Kuliah atau Nikah dengan film lain di Indonesia.

Di dunia perfilman Indonesia, representasi transgender masih terbilang minim. Tak banyak kita lihat potret wajah transgender yang tampil di depan layar. Jika pun ada, masih banyak pula yang bias karena menggunakan perspektif yang stigmatis sekaligus diskriminatif terhadap kelompok transgender.  

Pun di belakang layar industri film mainstream, transgender masih belum banyak dilibatkan dalam proses pembuatan karya-karya kreatif. Singkatnya, perfilman Indonesia memang belum banyak memberi ruang bagi inklusivitas. Termasuk soal isu yang melawan arus standar sosial masyarakat seperti keberagaman gender dan seksualitas.

Anggun Pradesha, adalah salah seorang transgender yang kini berupaya mengubah persepsi dan situasi itu. Baginya, transgender juga harus memiliki ruangnya di perfilman. Jika sulit mendapatkan ruang, bahkan menurutnya ruang itu harus direbut. 

Maka dari itu, Anggun memutuskan menjadi seorang sutradara dari kelompok minoritas, transgender. Di samping, dia juga menekuni produser dan penulis skenario film. Kecintaan yang dia sudah dambakan sejak bertahun-tahun lalu. 

“Sebenarnya aku lebih ke seni peran sebetulnya, cuma akhirnya pas ke sini-sini aku juga realistis ya, karena kesediaan peran untuk sosok transgender kan jarang sekali. Akhirnya aku berpikir, kenapa aku gak coba bikin film aja,” ujar Anggun ketika berbincang dengan Konde.co usai peluncuran film pendeknya “Kuliah atau Nikah” di kawasan Kemang pada sekitar Desember 2021 lalu. 

Baca : Kisah Perempuan Tanpa Vagina

Tak semudah membalikkan telapak tangan, proses Anggun hingga bisa menjadi seperti saat ini. Sebelum film pendek terbarunya berjudul “Kuliah atau Nikah”, Anggun telah membuat karya film dokumenternya “Penghakiman Nama” atau To Judge a Name (Ceritatrans) yang ditayangkan di youtube Sanggar Suara. 

Di dokumenter itu, Anggun menceritakan proses penggantian nama yang dia jalani di Pengadilan Jakarta pada tahun 2016, yang tentu saja tidak mudah. Kala itu dia harus mendapati pertanyaan-pertanyaan yang intimidatif sebagai transgender di pengadilan, semisal:

 “Penismu mati, atau masih bisa bangun?” hingga 

“Ukurannya (penismu) kecil, ya?”

Apa yang dialami Anggun, begitulah kiranya gambaran yang ingin dia potret dari pengalaman seorang transgender. Melalui film dokumenter tersebut, Anggun bisa mengangkat beragam isu menyoal transgender yang selama ini terpinggirkan. Hingga saat ini, Anggun memiliki setidaknya 3 (tiga) karya film dokumenter, tiga lainnya mengantri untuk produksi pada tahun ini. 

“Jadi memang tujuan awalku mau mengedukasi kawan-kawan transgender, transpuan, kemudian ada tawaran yang ngajak aku untuk bikin sesuatu yang baru. Aku makanya tetap ada karakter trans di situ. Aku ingin membiasakan ada sosok trans, dan mengubah pikiran orang (menyoal trans yang stigmatis),” terangnya. 

Film “Kuliah atau Nikah”: Realitas Transphobic dan Harapan Kesetaraan

Salah satu film pendek terbaru Anggun yang menarik ditonton, yaitu berjudul “Kuliah atau Nikah” (2021). Film ini bisa dibilang telah berhasil memotret representasi perempuan dan transgender secara berdaya. Ringkas dan mengena. 

Kisahnya tentang seorang kakak transgender (Anggun) yang memiliki adik perempuan, Selvi (Cahaya Ilmi). Mereka tinggal berdua, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Anggun menjadi sosok kakak yang mandiri, stabil finansial, berpendidikan dan bijaksana. Sebagai seorang yang berkecukupan, Anggun memiliki seorang supir pribadi yang digambarkan sosoknya sebagai perempuan, Stella. 

Di bagian ini, sebagai penonton, kita seolah dibawa melihat harapan akan kesetaraan hingga kesejahteraan bagi transgender, yang selama ini realitanya masih relatif jauh. Sebab masih banyak diskriminasi multidimensi dan kemiskinan yang menimpa para transgender secara sistematis. 

Selvi yang masih bersekolah di tingkat akhir SMA mempunyai pacar laki-laki bernama Rado (Dimas Ivan Nurfaiz) yang digambarkan sebagai transphobic, alias takut terhadap transgender. Di adegan filmnya, Rado bahkan mengatai kakak Selvi sebagai banci. 

“Kok Lo lebih percaya kakak lo sih? Dia aja gak jelas cewek apa cowok! Terus apa namanya? Laki-laki kok jadi perempuan, banci namanya!” kata Rado, yang di saat bersamaan juga melakukan gaslighting (manipulasi untuk mengontrol) kepada Selvi. 

Baca : Dorce, Inspirasi Kaum Transpuan Indonesia

Tak hanya menyoroti representasi kehadiran perempuan dan transgender, film pendek berdurasi 12 menit-an itu, juga apik menyisipkan pesan-pesan penting adanya ketidaksetaraan gender yang selama ini banyak hilir mudik di tengah masyarakat. Tentu saja, lingkungan yang patriarki melanggengkan ini semua. 

Hal konkret misalnya, relasi kuasa Rado sebagai laki-laki kepada Selvi dalam relasi pacaran mereka. Rado sebagai maskulin seolah memiliki kuasa untuk mengatur, mengontrol bahkan merendahkan perempuan, yang acapkali di masyarakat patriarki dikonstruksikan menjadi “kelas nomor kedua”.  

“Jadi kalau ada yang salah pasti gue? Gak mungkin Elo? Karena gue cewek?” ujar Selvi di salah satu scene yang mempertanyakan sikap Rado. 

Kekerasan dalam pacaran (KDP) juga dipotret dalam film itu. Paling kentara, saat Rado menampar pipi Selvi. Di samping, Rado juga sebetulnya telah melakukan berbagai kekerasan psikis dengan pemaksaan kepada Selvi untuk menikah dibandingkan kuliah di usia 19 tahun. 

Usai menonton film yang kini telah beredar secara daring di youtube Pamflet Generasi ini, kita patut mengapresiasi Anggun sebagai sutradara transgender yang secara apik menyuguhkan problem-problem nyata yang ada di kehidupan sehari-hari kita. Tentang diskriminasi gender (transphobic) yang begitu kental, kekerasan dalam pacaran, hingga isu pernikahan anak. Tak kalah penting, representasi perempuan dan transgender yang sudah seharusnya setara dan mempunyai otonomi atas tubuh dan hidupnya, dengan merdeka. 

Film yang disutradarai, produser dan penulis skenarionya Anggun Pradesha itu, juga mengajak transgender lainnya Ayu Saree sebagai penata rias. Selain itu, ada Asisten Sutradara (Dimas Adiputro), penata gambar (Kiki Febriyanti), penata suara (Hasanuddin Bugo), penata cahaya (Denny djaru), penyunting gambar (Jiadis), penyunting suara (Wiansa Dewata) dan supervisi skenario dari Yang-Yang Harimau. 

Diskriminasi dan Minimnya Akses: Tantangan Transgender di Perfilman

Perjalanan Anggun di dunia perfilman tidak serta merta. Awal mulanya, Anggun remaja begitu menyukai bidang seni, makanya dia kemudian ikut seni peran teater. Namun, saat itu dia masih tak cukup berani dan PD dengan dirinya. Pengalaman stigmatis dan diskriminatif yang tak jarang didapatkannya dengan ekspresi gender sebagai transgender, turut jadi sebabnya.   

“Aku berasumsi sendiri gitu lho, aku takut dibully, biasanya kalau di sekolah ketika berkumpul dengan yang ramai-ramai, kayak upacara, kemah. Aku ada kekhawatiran jadi bulan-bulanan, jadi ceng-cengan teman-teman. Aku gak berani, tapi sebenarnya aku pengen ikut,” kenang Anggun. 

Meski begitu, Anggun yang tak ada latar belakang pendidikan formal perfilman pun, tak mau patah arang. Dia yang lulusan SMA, kemudian melanjutkan mimpinya untuk masuk ke dunia perfilman ketika bergabung di organisasi yang fokus pada transgender. 

“Setelah gabung organisasi kan, NGO trans, punya banyak kesempatan berjejaring sana-sini, banyak banget ikut kayaknya aku mengeksplorasi coba casting (film),” katanya. 

Seiring berjalan waktu, Anggun pun mengenal banyak teman yang terjun di dunia perfilman. Termasuk sutradara kondang perempuan seperti Nia Dinata hingga Rea Simanjuntak, yang menjadi tempatnya belajar dan diskusi. Di sisi teknis, dia pun mendapatkan banyak dukungan dari teman-teman yang ada di bidang sound, kamera, pencahayaan dan lain-lain. 

Dia pun juga bergabung dalam komunitas yang menyukai perfilman seperti Puan Seni. Di sanalah, dia juga memperluas jaringan dan dukungan untuk para transgender bisa setara di dunia perfilman. 

“Belajarnya memang learning by doing,” ucapnya. 

Dari prosesnya terjun di dunia perfilman itu, Anggun ingin menunjukkan utamanya bagi para transgender bahwa selalu ada kesempatan untuk berkarya dan bersuara. Selama ini Anggun melihat, kesempatan dan akses memang lebih terbatas bagi transgender di dunia perfilman. Jangankan transgender yang terkapasitasi dengan pendidikan formal perfilman, masih banyak dari mereka yang bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan umum dengan layak. 

Di satu sisi, dia juga ingin mengajak para transgender bisa menyadari potensi dan berani mengejar apa yang benar-benar diimpikannya. Seperti menjadi seorang sineas film. Sebab selama ini, dia melihat, banyak dari para transgender yang cenderung terbatas atau membatasi diri pada hal-hal yang seolah dikonstruksikan sebagai pekerjaan trans. Seperti, pekerja salon kecantikan. 

“Aku (contohnya) gak suka salon, gak suka design, aku lebih ke kreatif. Kayak kalau sekarang aku sukanya nulis, makanya kepake kalau nulis skenario film. Jadi sutradara, juga enak juga (bagiku). Makanya, harapannya teman-teman (trans) juga bisa berani menyuarakan (mimpinya),” pungkasnya. 

Foto: Koran Tempo

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!