Hidup Penuh Lemon: Asam Manis Kehidupan 22 Perempuan di Masa Pandemi 

Buku “Hidup Penuh Lemon” bercerita tentang kisah perjuangan 22 perempuan di masa pandemi. Mereka menyebut, tantangan dalam kehidupan itu seperti buah lemon yang terasa asam dan manis, namun penuh khasiat layaknya vitamin yang menguatkan raga dan menyehatkan pikiran, lagi membuat tubuh awet muda.

“When life gives you lemons, make lemonade” demikian dituliskan Elbert Hubbart (1915), dalam berita kematian seorang aktor bertubuh mini, Marshall P. Wilder pada ada awal abad ke- 19.

Elbert Hubbart menulis untuk mengapresiasi semangat juang dan hasil pencapaian Marshall, walau memiliki keterbatasan fisik. 

Dari frasa yang ditulis Hubbart ini kita bisa belajar bahwa apapun tantangan hidup yang disajikan di depan kita, akan selalu ada aspek baik di dalamnya. Jadi, sudah semestinya dijalani dengan gembira.

Begitulah semangat yang ingin disampaikan oleh 22 perempuan yang menulis dalam buku ‘Hidup Penuh Lemon’. Mereka menyamakan tantangan dalam kehidupan seperti buah lemon yang terasa asam dan kecut, namun penuh khasiat layaknya vitamin yang menguatkan raga dan menyehatkan pikiran lagi membuat tubuh awet muda. 

Antologi yang bermula dari grup obrolan daring alumni Fakultas Seni Rupa & Desain Universitas Trisakti, Jakarta angkatan 1993 itu, menceritakan pengalaman-pengalaman perempuan menghadapi jatuh-bangun selama masa pandemi. 

“Kita tiap buka grup WhatsApp (WA) selalu berita duka, (tulisan) pandemi ini sebagai kenangan untuk teman kita meninggal karena Covid-19 dan refleksi di masa pandemi. Seperti catatan kebersamaan kita. Tak hanya berbagi cerita di grup WA tapi dituangkan dalam tulisan,” ujar salah satu penulis buku ‘Hidup Penuh Lemon’, Amelia Jorjiana dalam Podcast Daun Hijau yang tayang perdana pada Selasa, 8 Maret 2022.   

Sebanyak 22 penulis buku perempuan itu berasal dari latar belakang berbeda-beda seperti guru SDLB Tunarungu, kurator seni, dosen, penulis, pekerja kreatif, pemilik sekolah swasta dan Ibu rumah tangga. Tempat tinggalnya pun tersebar di Pulau Jawa, Bali, Australia, sampai Amerika Serikat.

Sebagaimana penulisnya yang beragam kisah dan latar belakang, buku itu pun mempunyai warna cerita yang kaya. Satu kisah yang diungkapkan Amelia misalnya, soal perannya sebagai perempuan yang menjadi istri dan ibu sekaligus penggerak organisasi perempuan dalam menghadapi ketidakpastian akibat pandemi. 

Tak hanya itu, ada pula kisah perempuan penulis lainnya, Devianti Faridz yang menceritakan guncangan hidup yang dialami selama pandemi. Dia mengungkapkan perjuangannya sebagai tulang punggung keluarga selama suaminya mengalami kegagalan bisnis dan sulit mencari pekerjaan.

“Dia (suami) sudah belasan tahun berkarya menjadi guru di sebuah international school, dia ingin berbisnis, pas mau buka, banjir besar di awal 2020. Coba cari pekerjaan, pandemi datang perusahaan memotong jumlah karyawannya,” cerita Devianti di kesempatan yang sama. 

Tak hanya Amelia dan Devianti, buku itu juga menuliskan kisah Wijayanti Setiyasih atau Yanti, seorang perempuan penyandang disabilitas tuli yang kesulitan berkomunikasi karena semua tenaga kesehatan di rumah sakit menggunakan masker saat dia dirawat karena terjangkit Covid-19. Hingga kisah perempuan yang menghadapi wafatnya ibunda penderita Alzheimer usai berkurangnya interaksi sosial dan terapi khusus saat pandemi.

“Saya melihat bahwa upaya perempuan-perempuan ini seperti membawa lilin kebaikan, yang membawa semangat perjuangan yang saya harap bisa menyebar ke semua perempuan di Indonesia. Ketika saya membaca bukunya, saya merasa mendapat pesan kuat dari mereka. Pandemi ini boleh merobek-robek kehidupan saya tapi tidak dengan jiwa dan semangat saya,” ujar Yenny Zannuba Wahid, direktur Wahid Foundation yang menulis kata sambutannya untuk buku ini.

Perempuan Jadi Kelompok Rentan Kala Pandemi

Yenny mengatakan apa yang dialami oleh perempuan dalam hampir dua tahun pandemi ini memang begitu miris. Sebagai kelompok yang semakin rentan, perempuan harus memikul tambahan beban dengan bertambahnya tanggung jawab pengasuhan, berkurangnya pendapatan secara signifikan dan menjadi korban kekerasan rumah tangga.

Menurut data temuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sebanyak 82 persen perempuan di Indonesia mengalami penurunan sumber pendapatan. Selain itu, 36 persen perempuan pekerja informal harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka. Pembatasan sosial telah membuat 69 persen perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Sementara itu, sebanyak 57 persen perempuan juga mengalami peningkatan stress dan kecemasan akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga, pengasuhan serta perubahan gaya bekerja bagi yang bekerja penuh waktu.

“Harapan saya para pembaca dapat terhubung dengan kisah-kisah para perempuan dalam buku ini, juga terhibur dan terinspirasi sehingga buku ini dapat memberi manfaat bagi banyak orang,” ujar Intan Pradina, editor buku Hidup Penuh Lemon.

Peluncuran buku Hidup Penuh Lemon tersebut, dilakukan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2022. Rilisnya ditayangkan dalam sebuah podcast inspiratif kanal Youtube “Daun Hijau” oleh Ginanjar Citra. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!