Catatan Tahunan Komnas Perempuan: Kekerasan Perempuan Meningkat, Penanganan Masih Lemah

Penanganan kasus kekerasan berbasis gender di berbagai layanan terhambat oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM), akses kepada teknologi informasi dan komunikasi, fasilitas, serta anggaran. Dalam sehari hanya bisa ditangani 16 kasus, padahal yang masuk puluhan kasus

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan meningkat signifikan pada 2021. Berdasarkan data yang dihimpun Komnas Perempuan, pada 2021 terjadi 338.496 kasus kekerasan terhadap perempuan, atau meningkat hampir 50 persen dibanding tahun 2020 yang tercatat 226.062 kasus.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia C. Salampessy di sela webinar Peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, Data Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2021 pada Senin (7/3/2022) mengatakan, data ini berasal dari aduan yang diterima oleh lembaga masyarakat, institusi pemerintah dan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan.

Ia memaparkan, pengaduan kasus kekerasan berbasis gender yang diterima Komnas Perempuan meningkat hingga 80 persen, dari 2.134 laporan di 2020 menjadi 3.838 laporan pada 2021.

Sementara pengaduan yang diterima Badilag juga meningkat sebesar 52 persen, dari 215.694 kasus di 2020 menjadi 327.629 kasus di 2021. Namun, berdasarkan data lembaga layanan, tercatat penurunan jumlah kasus sebesar 15 persen atau sebanyak 1.205 kasus, dengan angka pada 2021 mencapai 7.029 kasus.

“Ini dikarenakan selama dua tahun pandemi Covid-19, sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi. Sistem dokumentasi kasus juga belum memadai serta terbatasnya sumber daya,” terangnya.

Menurut Olivia, sebagian besar data pelapor yang menyampaikan data laporan kepada Komnas Perempuan dengan mengisi dan mengembalikan kuesioner, adalah dari lembaga di Pulau Jawa.

“Seandainya kapasitas lembaga dan informasi tersedia serta perempuan mendapatkan akses terhadap kanal-kanal komunikasi yang disediakan, maka dapat diprediksi jumlah data yang terhimpun bisa jauh lebih besar dari tahun sebelumnya,” ujarnya.

Ditambahkan, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena gunung es karena data kasus yang diketahui hanya terbatas pada kasus yang dilaporkan saja.

“Data yang disajikan dalam Catahu (Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022) hingga saat ini masih berupa indikasi dari puncak gunung es persoalan kekerasan terhadap perempuan,” kata Olivia

Di dalam realitas-nya, data yang terhimpun terbatas pada kasus di mana korban melaporkan dan jumlah serta daya lembaga yang turut serta di dalam upaya kompilasi untuk menghadirkan Catahu ini.

Olivia mengatakan pihaknya menjalin kerja sama dengan pemerintah yang sudah punya mekanisme untuk mengolah data seluruh Indonesia, seperti Badilag atau Badan Peradilan Agama yang telah memiliki data tentang angka perceraian dan telah melakukan kategorisasi penyebab perceraian.

Menurutnya, ada beberapa hal yang menghambat penanganan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di berbagai layanan. Seperti keterbatasan sumber daya manusia (SDM), akses kepada teknologi informasi dan komunikasi, fasilitas, serta anggaran.

“Ini dikhawatirkan akan menyebabkan stagnan dalam hal kapasitas penyikapan kasus,” katanya.

Komnas Perempuan, yang mengalami keterbatasan yang sama, dituntut untuk merespons secara cepat setiap pengaduan kasus dengan segala keterbatasan.

“Kami baru bisa menangani 16 kasus per hari,” tambahnya.

Hambatan lain dalam penyelesaian berbagai kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan tersebut antara lain pencabutan pengaduan oleh korban, kekurangan alat bukti, serta keterbatasan perspektif aparat penegak hukum.

Selain itu, pelaku kekerasan seksual juga acapkali merupakan orang-orang terdekat korban atau figur yang seharusnya menjadi pelindung, contoh, dan teladan, seperti guru, dosen, tokoh agama, aparat penegak hukum, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, serta pejabat publik sehingga menyulitkan posisi korban.

Di tengah peningkatan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang semakin kompleks dan signifikan, Olivia menilai perlu adanya keseriusan dan keterlibatan berbagai pihak dalam menangani berbagai laporan tersebut sehingga tidak terkesan jalan di tempat.

“Dibutuhkan terobosan-terobosan untuk memberi solusi atas kesukaran yang dihadapi oleh perempuan korban dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan,” ujarnya.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan sosialisasi tentang perkawinan anak sebagai pelanggaran terhadap hak anak, terutama anak perempuan. Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinilai mendesak untuk segera dilakukan, agar masalah ini bisa segera diurai.

Kekerasan berbasis gender oleh aparatur negara.

Sementara dalam paparannya, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyoroti kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh pejabat publik, ASN, anggota TNI/ Polri karena kasus-kasus ini memiliki kekhasan terkait kekuasaan berlapis baik kekuasaan patriarkis termasuk relasi kekeluargaan, ekonomi maupun kekuasaan jabatan dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku.

Komnas Perempuan mendapati 7 kasus KTI yang dilakukan oleh Pejabat Publik, ASN, anggota TNI/Polri dalam beragam bentuk, diantaranya penelantaran hak isteri dan anak dalam perceraian, kekerasan, kekerasan fisik, psikis yang menyebabkan korban keguguran kandungan atau luka-luka, perselingkuhan, pemaksaan untuk menanda-tangani surat perjanjian bercerai namun korban harus tetap berperan sebagai isteri, tidak pernah memberikan nafkah lahir dan batin kepada isteri dan dua anak mereka, hingga isteri sakit parah dan meninggal dunia.

Secara khusus. Aminah menggarisbawahi KTI terjadi pada isteri yang diketahui “orangtuanya” diduga anggota PKI pasca menikah.

“Kasus bermula ketika pasangan ini melaporkan pernikahannya ke institusi dan kemudian institusi menginformasikan bahwa isteri adalah anak dari orangtua yang dituduh sebagai bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Korban sampai mengalami keguguran hingga 2 (dua) kali akibat kekerasan yang dilakukan. Kekerasan dilakukan dengan alasan korban dapat menghambat kariernya,” paparnya.

Ia menambahkan, faktor relasi kekuasaan yang timpang – jabatan, usia, ketergantungan ekonomi, konstruksi gender lainnya — semakin mendapatkan signifikansinya dalam kekerasan seksual oleh pejabat publik. Pola pelaku umumnya sama: memanfaatkan kerentanan korban dan posisi kekuasaan yang dimilikinya untuk memaksa, menekan, meneror atau mengancam korban agar memenuhi keinginan pelaku, menjatuhkan mental korban, memaksa mencabut laporan.

“Rekan-rekan sekerja dan keluarga pelaku pun turut melakukan kekerasan berupa teror, ancaman, fitnah dan sebagainya,” imbuhnya.

Komnas Perempuan juga menemukan pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, ingkar janji kawin dan KSBG yang dilakukan oleh Kepala Desa, Kepala Dinas, Anggota TNI/Polri

Juga ditemukan adanya impunitas dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten yang dilakukan atasan terhadap bawahannya yang meminta ijin cuti. Di mana, korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus di system peradilan pidana, dan disangkal kebenaran kekerasan yang diterimanya. Pada akhirnya korban bungkam, dan meminta mutasi ke kota lain.

“Hal ini menunjukkan di tingkat pemerintah daerah belum terdapat mekanisme pencegahan dan penanganan KS di lingkungan kerja yang menyebabkan pemimpin perempuan kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berkarya sebagai akibat kekerasan di lingkungan kerja yang ia alami,” terang Aminah.

Namun demikian, menurut Aminah, ada sejumlah kemajuan dalam penanganan kasus kekerasa seksual, seperti dirilisnya pedoman Kejaksanaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadlian bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!