Dear Laki-laki, Hindari 6 Hal Ini Biar Kamu Tak Dicap sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

Suka gak suka, laki-laki tetap punya privilege. Kamu dinomor-satukan, suaramu lebih didengar dan lebih jarang diragukan ketimbang perempuan. Tapi kamu bisa bisa mengubah mulai dari dirimu sendiri dan menjadi bagian dari penciptaan ruang aman bagi perempuan dan anak-anak.

Kamu seorang laki-laki yang takut banget dapat tuduhan penjahat kelamin maupun pelaku kekerasan seksual? Nggak apa-apa, wajar. 

Bila kamu merasa begitu, saya akan berprasangka baik bahwa kamu hanya ingin jadi laki-laki baik, bukan sekadar terlihat baik di mata orang. Mengapa saya berkata begitu, karena dua hal ini memang berbeda. 

Nah, dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang mencuat, terutama karena budaya spill dan cancel culture di media sosial, kamu bisa ikut berpartisipasi menciptakan ruang aman bagi perempuan, anak-anak, maupun kaum minoritas lain yang rentan menjadi korban kekerasan seksual. 

Suka gak suka, kalian para laki-laki punya privilege lebih dengan hidup di masyarakat yang masih sangat patriarkis ini. Suaramu masih lebih didengar dan lebih jarang diragukan ketimbang perempuan. Sebaliknya, perempuan masih sering dibebani beragam tanggung jawab, disalahkan jika ada apa-apa dan dinomor-duakan ketimbang kalian para laki-laki. 

Hal ini juga berlaku dalam kasus kekerasan seksual. Alih-alih ‘dibela’ saat menjadi korban, perempuan justru sering diposisikan sebagai pihak yang mengundang kekerasan seksual itu. Sering ditemui perempuan korban kekerasan seksual yang berani bersuara justru disalahkan.  

Jadi alih-alih selalu menuduh perempuan sebagai manusia penuh prasangka buruk pada laki-laki terus, penuh drama dan paranoia, mendingan kamu lakukan hal ini agar kamu tidak melakukan kekerasan seksual

1. Jangan melecehkan 

Apa pun alasan kamu, pokoknya jangan menyentuh atau melakukan apapun tanpa persetujuan perempuan. Merasa tergoda karena pakaian si perempuan? Ya, jangan melihat. 

Merasa terangsang karena gagal mengontrol pikiran? Ya, latihan. Kalau di agama ada yang namanya puasa untuk mengendalikan hawa nafsu, maka kamu juga harus menerapkan ini dalam urusan yang satu ini. Apalagi, jika kamu sudah masuk usia dewasa. Masa masih harus dikasih tahu terus-menerus?

2. Jangan memaksa

Naksir si perempuan terus kesal karena cinta ditolak? Ya, jangan memaksa. Ingin melakukan aktivitas seksual, tapi dia menolak? Ya jangan memaksa, karena itu termasuk perkosaan. Lagian, memangnya dengan begitu si dia akan otomatis mau sama kamu? Pastinya enggak.

Kalaupun kamu sampai berhasil ‘mendapatkan’ dia lewat pernikahan paksa (mengingat SIALNYA masih banyak yang menikahkan pelaku pemerkosaan dengan korban), tetap saja hal itu menunjukkan bahwa kamu bukan laki-laki yang baik.

3. Hormati perempuan dan coba pahami ketakutan mereka.

Kalau merasa bukan pelaku kekerasan seksual, ya jangan dikit-dikit defensif terus langsung teriak-teriak “tidak semua laki-laki!” setiap kali ada perempuan membahas kasus Kekerasan Seksual/KS.

Gak usah kegeeran, karena belum tentu juga mereka sedang membahas kamu (kecuali ya, kamu memang diam-diam juga pelaku atau malah melindungi pelaku atas nama “satu sirkel”). Wong faktanya pelaku kebanyakan laki-laki.

Iya, kita semua sudah tahu kok, tidak semua laki-laki adalah pelaku pelecehan atau pemerkosa. Tapi diamnya kamu saat melihat sesama laki-laki (ya, termasuk temanmu sendiri) melecehkan perempuan pas di depan matamu menjadikanmu enabler. Iya, kamu bukan pelaku, tapi nggak melakukan apa-apa saat laki-laki lain melecehkan perempuan di depan kamu.

Jangan nunggu kamu kenal dengan perempuan itu dulu, baru bertindak. Perempuan itu, siapa pun dia dan apa pun alasannya, nggak boleh dilecehkan. Kalau kamu masih terpaku pada siapa-nya si perempuan itu (seperti anak, adik, atau pasangan seseorang), berarti kamu belum benar-benar menganggapnya manusia utuh. Kamu masih melihat si perempuan sebagai “kepemilikan” seseorang, padahal dia bukan barang.

“Habis, si perempuan pakaiannya gitu/suka keluar malam/pacaran/hobi minum-“

Halooo, bahkan bayi dan nenek-nenek pun ada yang diperkosa. Bahkan perempuan yang mengenakan cadar pun jadi korban pelecehan. Terus, mau bawa-bawa fakta kalau laki-laki pun juga bisa diperkosa? Nah, justru itu semakin jadi bukti dan alasan kalau pelecehan seksual atau pemerkosaan tetap salahnya PELAKU. Titik. Bukan korban.

4. Gak usah pamer-pamer sejarah seksualitas kamu ke mana-mana.

Jangan ketipu film-film Hollywood. Di dunia nyata, gak ada seorang waras pun yang mau tahu jumlah perempuan yang sudah pernah berhubungan seksual denganmu. Mau 10, 100, atau 1000 pun ogah. Ngapain? Aneh sekali bila kamu menyamakan hal itu dengan prestasi. Orang-orang mungkin malah menyebutnya sebagai aib!

Apalagi kalau kamu sampai mendokumentasikannya segala, lalu menyebarkannya ke orang lain. Mungkin kamu akan beralasan kalau si perempuan juga mau didokumentasikan. Tapi, walaupun kamu hanya menyebarkannya di antara circle kamu, sudah minta consent ke si perempuan belum? Apa? Gak penting? Salah si perempuan sendiri?

Terus, kamu mau protes kalau suatu saat tiba-tiba ada yang menuduhmu melakukan pelecehan? Persetujuan si perempuan untuk menyebarkan dokumentasi aktivitas seksual kalian saja kamu nggak anggap penting. Apa itu namanya bukan pelecehan?

Kalaupun suatu saat kamu ngakunya mau ‘tobat’ dan menikah sama satu orang, jangan harap ada perempuan waras yang masih mau sama kamu. Belum lagi kalau kamu masih berhadapan dengan calon mertua. Kecuali calon istri dan keluarganya tidak keberatan dengan masa lalumu, jangan harap lamaranmu akan direstui. (Apalagi begitu tahu perilaku berisiko kamu pernah bikin kamu sampai kena penyakit menular seksual!)

Apalagi, bukti viral kegiatan seksual yang sudah pernah kamu sebar-sebar dengan bangganya di media sosial akan tetap ada. Ya, apalagi bila ada pihak-pihak yang masih dendam sama ulahmu di masa lalu dan terus menyebarkan kebobrokan kamu ke mana-mana – tanpa henti pula.

5. Hentikan candaan seksis dan misoginis. 

Jangan paksa siapa pun, terutama perempuan, untuk memahami lelucon menjijikan macam itu.

“Halah, baru gitu doang aja udah baper.”

Kalau pun kamu nggak keberatan saat ada perempuan menjadikan ukuran penismu bahan bercandaan, nggak berarti semua orang sama sepertimu. Paling celaka bila saat tengah berdebat serius (apalagi di media sosial), kamu ujug-ujug malah mengajak si perempuan untuk kencan secara seksis biar dianggap rileks. Bercanda atau nunjukin kamu gagal mengontrol diri setiap kali horny?

Kalau setiap kali berdebat dengan perempuan senjatamu adalah bercanda seksis demi bikin mereka nggak merasa nyaman dan diam, mereka nggak salah dong, bila curiga kemungkinan besar kamu (berpotensi jadi) pelaku KS di kemudian hari? Eh, atau malah sudah? Ngomong biasa sama perempuan aja nggak bisa sopan!

6. Berani menegur dan bahkan meninggalkan sirkelmu yang masih gemar mengobjektifikasi perempuan.

Kamu nggak merasa jadi pelaku? Oke, bagus. Itu langkah pertama. Berikutnya, berani nggak, negur sesama laki-laki yang melakukan pelecehan pada perempuan? Nggak perlu selalu ngancem mereka pake kekerasan, kok. Sikap tegas saja sudah cukup, meskipun dengan risiko kamu dicap “cupu”, “cemen”, hingga “suami takut istri”.

Berani juga nggak, meninggalkan sirkel pergaulan yang penuh dengan toxic masculinity? Nggak usah takut kehilangan teman, kok. Kalau pun mereka banyak duit dan kamu sedang butuh, coba cari rezeki di tempat lain. Daripada ikutan rusak karena pola pikir mereka yang masih mengobjektifikasi perempuan, tunjukin dengan tindakan nyata kamu.

Soalnya, kalau hanya teriak-teriak “not all men” itu udah ‘bare minimum’ – BANGET. Nggak menghentikan kasus KS juga, malah lebih terkesan ingin membungkam perempuan!

Gimana? Berani nggak, demi kesejahteraan perempuan? Yang diuntungkan juga kamu, kok. Perempuan jadi nggak takut lagi sama semua laki-laki dan kamu bisa jadi contoh laki-laki yang (lebih) baik.

Ruby Astari

Sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!