Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani

Muyasaroh, perempuan petani bercerita, pernah suatu kali ia sedang hamil muda, ia merasa kecapekan dan muntah-muntah karena saking beratnya pekerjaan yang ia tanggung," saat itu pas hamil muda satu bulan, memanen kacang tanah ke desa sebelah naik truk. Namanya hamil muda, kecapean saat itu sampai muntah-muntah dan muka sudah pucat. Tapi, saat itu ditahan terus kuat."

#BreakTheBias menjadi salah satu tema Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022. Konde.co menuliskan liputan khusus tentang “Perempuan Miskin: Kami bukan orang yang Malas dan tak mau kerja.” Liputan khusus dari 8-10 Maret 2022 ini merupakan upaya dalam mendobrak bias yang selama ini dilekatkan pada masyarakat miskin sebagai orang yang: malas, tak mau bersyukur, tak mau kerja.

Sudah sejak tahun 1994, Muyasaroh (48) bekerja sebagai buruh tani di kawasan pedesaan di kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Puluhan tahun lalu, Muyasaroh bersama rombongan buruh lepas lainnya bekerja mengerjakan petak sawah satu ke petak sawah lainnya, mereka biasa bekerja lintas desa. Ketika pergi kerja, belasan dari mereka para perempuan petani ini diangkut menggunakan truk atau dapsun —sebutan mobil gundul yang biasa digunakan mengangkut hasil panen, mereka diangkut menuju sawah yang akan mereka kerjakan. Umumnya itu dikerjakan di pagi hari lepas subuh.

Kala itu Muyasaroh umurnya masih dua puluh tahunan, belum lama menikah dan menjadi ibu rumah tangga (IRT). Dia kemudian diajak tetangga di desanya untuk bergabung menjadi buruh tani lepas. Ada sekitar 12 orang perempuan yang ada di rombongan Muyasaroh. 

Pekerjaan lepas pertama yang ia kerjakan yaitu memanen kacang tanah (kacang brol) yang upahnya dihitung berdasarkan perolehannya. Berangkat dari pukul 5 pagi hingga pulang menjelang larut malam, pada masa-masa itu, upah yang diterima Muyasaroh tak lebih dari Rp 11 ribu. Makan dua kali, pada pagi dan siang hari. 

Pernah suatu kali Muyasaroh sedang hamil muda, ia merasa kecapekan dan muntah-muntah karena saking beratnya pekerjaan yang ia tanggung

“Jaman pengantin anyar (pengantin baru), saat itu pas hamil muda satu bulan. Derep (memanen) kacang tanah ke desa sebelah naik truk. Namanya hamil muda, kecapean saat itu sampai muntah-muntah dan muka sudah pucat. Tapi, saat itu ditahan terus kuat,” ujar Muyasaroh kepada Konde.co, Senin (7/3/2022).  

Sebagai lulusan sekolah menengah pertama (SMP), Muyasaroh mengaku kala itu memang tak mudah mendapatkan pekerjaan. Dia pernah bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), namun setelah menikah, akhirnya dia berhenti bekerja. 

Di wilayah suaminya itulah, pedesaan yang kebanyakan masyarakatnya bertani, banyak para perempuan yang berumah tangga menjadi buruh tani lepas seperti halnya yang dilakukan Muyasaroh. Para buruh tani perempuan ini, mengerjakan banyak kegiatan bertani mulai dari menanam aneka sayur mayur dan bahan pangan, merawat tanaman, hingga memanen. Gak ada alternatif pekerjaan lain, walau diupah murah, tetap ia kerjakan

“Pasarannya, saat itu setengah hari itu buruh tani dibayar Rp 6 ribu dari pagi banget sampai siang, kalau panen kacang tadi dapat Rp 11 ribu karena memang seharian penuh. Gak banyak pilihan pekerjaan lain, saat itu sampai mbrebes (menitikkan air mata), sebegini susahnya cari makan, ” terang perempuan yang kala itu suaminya juga buruh harian lepas di perkebunan tebu.

Upah Lebih Murah, Minim Jaminan Perlindungan: Rentannya Buruh Tani Perempuan 

Hampir tiga puluh tahun ini, Muyasaroh merasakan pekerjaan buruh tani memang tak banyak berubah. Sebagai buruh tani perempuan, ibu dua orang anak itu pun mengungkap, nasibnya lebih miris karena seringkali diupah lebih murah. 

Dengan jam kerja dari pagi pukul 6 sampai pukul 1 siang, dia mengatakan, pasaran upah buruh tani perempuan di wilayahnya hanya sekitar Rp 50 ribuan.  Sementara laki-laki, biasanya Rp 10 ribu lebih tinggi upahnya. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Desember 2021 memang upah buruh tani hanya ada di kisaran Rp 57 ribuan. Nominal itu, nyaris jumlahnya hanya bsetengah dari pekerjaan buruh bangunan yang diupah sekitar Rp 91 ribuan per hari kerja. 

“Baru sekitar 2-3 tahunan inilah, kadang buruh tani perempuan upahnya Rp 50 ribu lebih sampai pernah Rp 60 ribu/hari, gak begitu jauh sama upah laki-laki, karena kan kalau mempekerjakan laki-laki biasanya masih harus ngeluarin buat uang rokok,” katanya. 

Muyasaroh tak menyangkal, ketidaksetaraan gender memang masih terjadi di bidang pertanian saat ini. Salah satunya dalam hal upah, laki-laki dianggap lebih “bekerja keras” dan pantas mendapatkan upah yang lebih tinggi. Dibandingkan, buruh tani perempuan yang pekerjaannya tak jarang dianggap hanya “bantu-bantu”.

“Laki-laki biasanya kelihatan berat karena macul (mencangkul), tapi padahal kalau soal proses perawatan sampai panen itu, yang seringnya lebih telaten dan tahan kerja itu buruh perempuan. Makanya, sekarang sudah mulai disamakan upahnya, meskipun laki-laki tetap tinggi karena ada uang rokoknya,” kata perempuan kelahiran 1974 itu. 

Upah yang rendah, menurut Muyasaroh, juga bisa diperparah dengan minimnya jaminan bagi para buruh tani. Utamanya bagi perempuan yang meski harus tetap kerja dengan segala pengalaman ketubuhan perempuannya. Seperti, haid, hamil, dan setelah melahirkan. 

“Kalau gak kerja ya gak dapat upah, sakit pun, biasanya tetap kerja karena kalau gak kerja, nanti kayak bisa aja langsung diganti yang lain atau gak dipanggil (bekerja memburuh) lagi,” katanya. 

“Gak ada jaminan kesehatan atau apa, ya tergantung belas kasihan pemberi kerjanya (petani) aja kan,” imbuhnya. 

Tak adanya aturan atau kontrak kerja, menjadikan buruh tani perempuan kian riskan. Tak hanya upah minim, terlambat atau tak dibayarnya upah pun tidak ada yang menjamin. Status bekerja pun, bisa kapan saja dicabut atau ditolak, hanya berdasarkan ‘suka tidak suka’. 

“Bahkan ada juga yang kayak dimanfaatkan (dieksploitasi), disuruh ini itu harus mau, kayak aku udah bayar ya bisa diapa-apakan. Pernah waktu itu, tetap disuruh kerja ibaratnya meskipun sedang hujan deras dan petir di sawah, padahal kan bahaya,” kata Muyasaroh.

Selama ini, Muyasaroh juga mengaku pernah mengalami pengalaman tak mengenakkan pelecehan dalam bekerja. Termasuk, yang paling sering guyonan yang merendahkan perempuan. 

“Pernah karena hubungan majikan (pemberi kerja dan buruh) gitu, ada ajakan untuk ngajak jalan dan hiburan yang mengarah ke hal-hal tidak etislah. Guyon-guyon juga (seksis),” ucapnya. 

Buruh Tani Perempuan Juga Pekerja: Berhak Hidup Layak dan Dilindungi Hak-haknya

Jika ditelusuri, masih banyak para buruh tani perempuan yang tak punya ‘ruang bersuara’. Kehidupannya senyap tak banyak disorot dari masa ke masa. Padahal, petani dan buruh tani perempuan jumlahnya tak bisa dibilang sedikit. 

Data BPS hasil Survei Pertanian antar Sensus (Sutas) per tahun 2018 menyebut, jumlah petani perempuan di Indonesia sekitar 8 juta. Artinya, hampir 24% dari 25,4 juta orang petani adalah petani perempuan. Data ini hanya mencakup petani, jumlahnya bisa jadi lebih besar di lapangan karena banyak buruh tani yang mungkin saja tak semua terdata. 

Seperti halnya yang dialami Muyasaroh karena jadi tulang punggung keluarga, BPS juga mencatat, jumlah rumah tangga usaha pertanian dengan perempuan seperti pemimpin dalam rumah tangga berjumlah sekitar 2,8 juta rumah tangga. Fakta ini menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang terlibat dalam sektor pertanian cukup besar. 

Meski begitu, peran strategis petani dan buruh perempuan dalam mendukung kegiatan pertanian ini, masih timpang dengan kualitas hidup mereka. Termasuk masalah utamanya yaitu kemiskinan. 

Banyak kepala rumah tangga yang ditemukan dalam survei BPS itu adalah rumah tangga miskin. Persentase rumah tangga miskin yang dipimpin perempuan yakni mencapai 15,88% per tahun 2018. Dengan kata lain, hampir 3 juta rumah tangga usaha pertanian. 

Tak hanya kemiskinan, perempuan buruh tani juga mengalami permasalahan yang lebih kompleks. Termasuk, soal ketimpangan gender. Seperti halnya di berbagai sektor pekerjaan lain, petani atau buruh tani perempuan seringkali berperan ganda sebagai pencari nafkah. Di samping mengurusi domestik rumah tangga. 

Berdasarkan obrolan Muyasaroh dengan teman sesama buruh tani dan petani, sebetulnya bisa ditarik benang merahnya: petani mengalami masalah sistematis yang multidimensi. Terlebih, bagi buruh tani perempuan. 

Di kawasan desanya, Muyasaroh sampai saat ini belum menemukan adanya gerakan pemberdayaan petani yang masif. Jargon-jargon yang acapkali digaungkan pemerintah soal pinjaman modal pertanian hingga subsidi pupuk misalnya, tak berdampak banyak bagi kehidupan layak buruh tani perempuan seperti Muyasaroh.

“Pupuk masih mahal di kalangan petani, urea misalnya, biasanya satu sak (50 kg) itu Rp 130 bisa naik Rp 215 ribu. Kalaupun ada subsidi petani itu gak rata, pinjaman buat petani gitu juga gak ada infonya di desa ini. Buruh tani kalau mau minta naik upah juga gak bisa, petaninya aja susah,” kata dia. 

Bukan saja permasalah di hulu soal pupuk, hilir pertanian soal distribusi hasil panen menurut Muyasaroh, juga masih seringkali tak banyak menguntungkan petani. Petani yang sudah keluar modal bertani, menanggung risiko gagal panen, masih “dipermainkan” harga di tengkulak. 

Dia mencontohkan, harga cabai yang sedang tinggi di pasar mencapai Rp 100 ribuan, bisa jadi di level petani hanya dihargai sekitar Rp 60 ribuan. 

“Biar gak ngenthes (tengkulak memainkan harga), sekarang petani-petani itu mulai gabung di grup komunikasi petani, untuk memantau harga. Jadi, yang paling bersaing nanti yang dipakai buat jual hasil panen. Karena gak ada jaminan yang pasti kan harganya buat petani,” pungkasnya.  

Kondisi Umum Perempuan Tani

Leong Yee Ting di tahun 2017 dalam website binadesa.org menulis, di tahun 2003, hanya sepertiga tanah bersertifikat di Jawa yang dimiliki oleh perempuan. Meskipun Undang-Undang Pernikahan 1974 mengatur tentang kepemilikan istri, hal ini jarang dipraktikkan dalam pembuatan sertifikat karena rendahnya tingkat pendidikan dan juga tingginya pola pikir patriarki untuk menempatkan nama laki-laki di sertifikat

Akses lahan yang tidak setara berarti juga akses kredit yang tidak setara, karena sertifikat tanah digunakan untuk agunan kredit. Hal ini memilliki dampak nyata pada kehidupan perempuan petani dan keluarga mereka. Di Cianjur, Jawa Barat perempuan petani dan keluarganya memiliki banyak hutang kepada tengkulak karena terbatasnya akses kredit. Utang diambil bukan hanya untuk input pertanian, tetapi juga untuk kebutuhan dasar atau perawatan kesehatan darurat. Banyak dari perempuan  ini terpaksa menjadi pekerja migran di Taiwan atau Arab Saudi untuk membayar hutangnya.

Penyuluh pertanian lapangan cenderung mengabaikan perempuan petani. Terdapat asumsi bahwa pekerjaan pertanian yang dilakukan oleh perempuan dipandang sebagai pekerjaan sampingan dari pekerjaan rumah tangga mereka atau hanya sebatas membantu laki-laki di bidang pertanian. Padahal faktanya adalah perempuan ini sangat miskin sehingga mereka tidak punya pilihan selain bekerja di pertanian, namun tidak mendapat pengakuan dari pihak berwenang.

Perempuan petani secara nyata juga kurang memiliki akses terhadap kepemimpinan dan pengambilan keputusan, meski mempunyai peran penting. Organisasi pertanian sering didominasi oleh laki-laki. Kelompok petani campuran dengan anggota perempuan dan laki-laki aktif jarang terjadi. Meskipun ada beberapa organisasi pertanian perempuan di Yogyakarta dan Sumatra Selatan, namun cenderung ditinggalkan dalam pengambilan keputusan di masyarakat.

Perempuan petani juga diharapkan menanggung beban ganda pekerjaan rumah tangga dan pertanian. Terkadang, mereka tidak dibayar atau dibayar lebih rendah daripada laki-laki. Ini memberikan dampak fisik dan psikologis yang signifikan terhadap mereka.

Dalam peringatan Hari Tani Nasional atau Hari Agraria, 24 September 2020 yang diselenggarakan Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan melalui daring, Konde.co mencatat, para perempuan petani di banyak wilayah di Indonesia mengalami problem serupa: tak punya tanah, akhirnya bekerja sebagai buruh tani, diupah murah, kerap mendapat kekerasan dan pelecehan seksual karena konflik,

Di Kulonprogo, Jogjakarta tepatnya di bukit Menoreh, perempuan petani mengalami persoalan ketika tanah di Kulonprogo digunakan untuk pembangunan Bandara Internasional Jogjakarta. Tanah di sekitar bandara sekarang dibangun berbagai macam bangunan bisnis dan usaha, akibatnya petani disana tak lagi memiliki lahan dan hanya menjadi buruh. Sana Ullaili, petani di Bukit Menoreh mengatakan, selain problem itu, saat ini pendidikan untuk keluarga petani disana masih diprioritaskan untuk anak laki-laki

Ruth Murtiasih dari Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah di Salatiga, Jawa Tengah memetakan pengalaman perempuan petani yang hidup di sejumlah wilayah di Jawa Tengah. Di Gunung Merbabu misalnya, mereka masih menghadapi problem utama dimana tidak mempunyai akses mengelola lahan karena tanahnya dikuasai Perhutani dan untuk pembangunan Taman Nasional Merbabu dan Merapi. Demikian juga petani di Gunung Sindoro  yang aksesnya sulit karena taman nasional yang sangat ketat penjagaannya

“Dulu masih bisa mendapatkan rumput, namun sekarang rumput saja sudah sulit didapat.”

Pembangunan taman nasional ini sudah banyak dikritik, karena hanya membangun taman, tapi meniadakan keberadaan manusia yang ada di sekitar taman. Saat ini para petani disana mulai melakukan reclaiming, yaitu dengan melakukan jual beli tanaman karena hanya ini yang bisa dilakukan

“Petani akhirnya melakukan reclaiming yaitu menjual beli tanaman, menjual beli hasil tanam karena hanya ini yang bisa dilakukan.”

Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan memetakan dalam forum tersebut, bahwa dari berbagai persoalan yang dipaparkan para perempuan petani, terlihat bagaimana masyarakat tidak bisa menaruh harapan pada pemerintah, karena terbukti pemerintah selalu mengecewakan.

“Seharusnya semua orang punya hak yang sama untuk mengelola tanah dan alam sekitar, ini menjadi sulit ketika ada kepemilikan untuk bisnis dan pemerintah membiarkan. Tanah, air, pesisir, udara itu dikuasai dan kebijakan tidak bisa melindungi masyarakat, justru  kemudian dirampas.”

Maka masyarakat kemudian mengusahakan sendiri untuk menyelesaikan persoalan ekonomi merekaa seperti mengadakan solidaritas pangan, menjual barang-barang hasil tani yang kemudian dibeli organisasi dan disalurkan ke masyarakat lain yang membutuhkan

Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti mengatakan hingga saat ini konflik agraria masih terus terjadi dan membawa imbas besar pada nasib petani. Konflik agraria ini merupakan konflik terluas karena ada sumber kehidupan. UU Agraria harusnya dijadikan undang-undang untuk kepemilikan tanah masyarakat, namun karena tidak diselesaikan, maka akibatnya ada banyak sekali konflik yang mengorbankan perempuan

“Masyarakat selama ini memandang bahwa subyek alam selalu menjadi bagian dari dirinya. Namun mereka kemudian harus punya daya juang untuk menghadapi konflik, menghadapi kekuatan yang luar biasa. Negara harus segera hadir.”

Komnas Perempuan dari tahun 2019 banyak menemukan pola yang sama terkait konflik agraria ini, yaitu ada penggusuran, kriminalisasi yang kemudian mengorbankan perempuan.

“Ada upaya penaklukan gerakan perjuangan dan menyasar tubuh perempuan seperti perkosaan dan kekerasan seksual dari konflik-konflik agraria ini.”

Dalam konflik agraria ini juga terdapat kekerasan ekonomi, pelecehan dan kekerasan seksual. Maka Dewi Kanti meminta pemerintah untuk mendorong korporasi agar menjaga alam dan tanah dan masyarakat menjadi prioritas pembangunan.

“Masyarakat sudah ada sebelum negara hadir, maka masyarakat adalah subyek pembangunan.” 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular