KOMPAKS Minta MA Tolak Judicial Review Permendikbud Kekerasan Seksual di Kampus

Aktivis dan organisasi perempuan yang tergabung dalam KOMPAKS mengecam gugatan judicial review Permendikbud Kekerasan Seksual di kampus yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat ke Mahkamah Agung. Protes ini dilakukan karena KOMPAKS melihat bahwa Permendibud ini merupakan terobosan hukum yang lahir dari kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual di kampus yang selama ini banyak sekali terjadi

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam gugatan judicial review yang diajukan untuk membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2001 tentang Perlindungan dan Penghapusan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (Permendikbud PPKS).

Protes ini dilakukan karena KOMPAKS melihat bahwa peraturan ini merupakan terobosan hukum yang lahir dari kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual.

Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara komprehensif mengatur tentang kekerasan seksual. Judicial review ini akan menghambat dan kembali mempersulit penjaminan perlindungan dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.

KOMPAKS Protes Atas Juicial Review

Uji materi atau judicial review ini diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. Judicial review ini diajukan untuk menguji pasal Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mencantumkan frasa “tanpa persetujuan korban” dan “tidak disetujui korban” dengan frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban”  ini ditafsirkan pemohon sebagai pintu membuka terjadinya perzinahan di lingkungan perguruan tinggi.  

Masyarakat sipil, pendamping korban kekerasan seksual, mayoritas masyarakat Indonesia menyambut baik terbitnya Permendikbud PPKS. Berdasarkan survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2022, 92% responden yang mengetahui tentang Permendikbud PPKS mendukung keberadaan Permendikbud tersebut. Gugatan untuk membatalkan materi muatan dalam Permendikbud PPKS akan mencederai korban dan memundurkan langkah untuk melindungi generasi bangsa dari kekerasan seksual.

KOMPAKS melihat, judicial review ini didasarkan pada ketidakpahaman dan ketidakpekaan  untuk mengenali mana perbuatan yang memuat unsur kekerasan seksual dan mana yang tidak.

Frasa tanpa persetujuan adalah materi inti dari rumusan definisi kekerasan seksual yang bertujuan untuk membedakan apa saja unsur-unsur tanpa persetujuan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan, paksaan, dan manipulasi, lalu untuk memahami siapa pelaku dan korban dalam suatu peristiwa kekerasan seksual dan menegaskan adanya relasi kuasa dalam suatu peristiwa kekerasan seksual yang dapat menempatkan seseorang dalam posisi dominan dan mengakibatkan seseorang lainnya kehilangan kemampuan atau mengalami ketidakberdayaan untuk menolak.

Pencabutan frasa “tanpa persetujuan” ini dengan sendirinya akan mengaburkan aturan terkait kekerasan seksual serta membahayakan posisi korban kekerasan seksual.

Dalam skenario yang diajukan penggugat, korban kekerasan seksual justru berisiko dituduh sebagai “pelaku” jika pelaku kekerasan seksual membantah dan menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi dilakukan secara konsensual, dan hal ini justru akan menambah lapisan kerentanan dan trauma korban. Penafsiran a contrario terhadap frasa “tanpa persetujuan” tidak dapat dimaknai dengan upaya “legalisasi” perbuatan lain di luar kekerasan seksual.

Minimnya kerangka hukum terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta perlindungan terhadap korban kekerasan seksual telah membuat deret panjang korban kekerasan seksual di perguruan tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2019, Jakarta Post, Tirto, dan Vice membuat laporan Nama Baik Kampus untuk memetakan situasi kekerasan seksual di pendidikan tinggi. Laporan tersebut menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk membuat payung hukum yang dapat melindungi korban di perguruan tinggi. Hasil liputan #NamaBaikKampus di tahun 2019 menerima 174 testimoni korban kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Hanya kurang dari 20% dari korban melapor ke pihak Perguruan Tinggi.

Di sisi lain, terdapat lebih dari 60 kasus kekerasan seksual yang masuk ke dalam hotline atau kanal aduan yang disediakan oleh HopeHelps Network sepanjang tahun 2021 hingga Maret 2022 ini. Kasus tersebut merupakan kasus yang berasal dari 15 Perguruan Tinggi saja. Perlu diingat pula bahwa data di atas merupakan cerminan dari fenomena gunung es, yakni angka yang muncul di permukaan tidak menggambarkan angka yang seutuhnya. Terlebih lagi,

angka tersebut hanya berasal dari sebagian kecil Perguruan Tinggi di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 4.500 Perguruan Tinggi.

Kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi merupakan masalah yang lebih luas dan kompleks daripada sekadar isu moralitas. Karena itu, campur tangan dan dukungan negara melalui Pemerintah bagi korban menjadi krusial. Dengan demikian, penggunaan norma hukum oleh Pemerintah dalam merespon tingginya angka kekerasan seksual di Perguruan Tinggi melalui Permendikbud PPKS dinilai sudah tepat.

Kebutuhannya atas payung hukum juga terkonfirmasi dalam data temuan pasca terbitnya Permendikbud PPKS. Institusi pendidikan tinggi di Indonesia sudah mulai memperbaiki sistem pencegahan, penanganan, dan perlindungan terkait kekerasan seksual.

Partisipasi Kampus dan Mahasiswa pada Permendikbud

Terdapat beberapa kampus yang telah turut berpartisipasi untuk melakukan peningkatan kualitas lembaga, termasuk di antaranya yang sudah melakukan proses pembentukan satgas PPKS. Beberapa kampus sudah mulai melakukan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas staf, terutama dalam memberikan bantuan yang berpihak kepada korban. Satgas tersebut – yang terdiri dari dosen, tenaga pendidik, dan mahasiswa – akan menjadi tangan pertama yang memberikan pertolongan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Langkah kampus-kampus ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Proses ini sangat terbantu oleh penjelasan utuh perihal nilai-nilai dan mekanisme penyelesaian kasus yang termuat dalam peraturan tersebut.

Perwakilan mahasiswa juga telah bersuara. Salah satunya adalah Apriska Widiangela, mahasiswi Universitas Airlangga. Ia mengungkapkan bahwa “dengan adanya permendikbud 30/2021 ini merupakan langkah progresif untuk perlindungan korban kekerasan seksual khususnya mahasiswa yang masih belum ada perlindungan hukum”.

Apriska tidak sendiri. DE yang kini berstatus sebagai mahasiswi aktif di Universitas Indonesia juga mengapresiasi adanya Permendikbud PPKS serta langkah kampusnya untuk bergerak dalam pencegahan kekerasan seksual. “Belum adanya peraturan kekerasan seksual yang secara komprehensif di tingkat nasional menjadikan permendikbud sebagai langkah progresif dalam perlindungan korban kekerasan seksual di tingkat perguruan tinggi. Dengan adanya permendikbud ini, baik korban maupun saksi mendapatkan jaminan perlindungan selama prosesnya dan pemulihan bagi korban.” tutur DE.

Syifa Aulia sebagai mahasiswi Universitas Gadjah Mada juga berpendapat “Permendikbud No.30/2021 bisa dikatakan sebagai angin segar ya dalam penanganan kasus kekerasan seksual di ranah kampus. Tidak hanya itu, permendikbud juga memberikan harapan dan kejelasan hukum, memberikan akses dan hak bagi penyintas, serta mengharuskan kampus untuk menjadi lebih baik lagi dalam menangani kasus kekerasan seksual.”

Sikap ketiga mahasiswa tersebut, tidak hadir sendirian, banyak juga kelompok mahasiswa yang bersuara melalui media sosial, menekankan bahwa Permendikbud PPKS lahir dari fenomena nyata yang terlalu sering terjadi di lapangan. Data dan fakta ini tidak berdiri sendiri, tetapi juga hadir bersama ketakutan, dan kecemasan akan bahaya dan tidak amannya ruang pendidikan, serta pengalaman korban yang dihilangkan kesempatannya untuk belajar dan bertumbuh dengan nyaman, aman dan merdeka dari kekerasan seksual.

Pada sisi lain, gugatan Permendikbud PPKS timbul berdasarkan prasangka buruk dan ketakutan tidak berdasar akan hilangnya prinsip etis dan moralitas perguruan tinggi. Kekhawatiran ini sesungguhnya berkebalikan dengan semangat Permendikbud PPKS yang hadir sebagai suatu upaya negara untuk mewujudkan ruang pendidikan yang mampu menjadi tempat bertumbuh bagi anak muda Indonesia, serta sebagai upaya hukum untuk meningkatkan harkat martabat serta moralitas seluruh civitas akademik di Indonesia.

“Tanpa adanya Permendikbud PPKS ini, semua universitas ga akan jadi ruang aman bagi korban kekerasan seksual. Mahasiswa sebagai korban kekerasan seksual mau lapor ke mana? Ke kampus? Lapor ke tempat pengaduan?”ungkap Aulia Nabila F. A. L, seorang mahasiswi dan pegiat isu disabilitas FeminisThemis. Lebih lanjut Aulia menyebutkan bahwa Permendikbud PPKS ini adalah langkah awal untuk mendorong upaya penanganan kekerasan seksual ke semua universitas. DIa juga berharap bahwa Permendikbud PPKS dapat menyediakan ruang aman bagi kelompok disabilitas terutama untuk kelompok Tuli yang rentan mengalami kekerasan seksual.

Sangat tidak adil apabila upaya serta itikad baik yang berdedikasi untuk perlindungan korban kekerasan seksual dan berdasarkan kenyataan yang terjadi di sekitar dan keseharian kita ini, digugurkan oleh prasangka dan ketakutan tidak berdasar yang diinisiasi oleh kelompok tertentu.

Tuntutan KOMPAKS

Oleh karena itu KOMPAKS mendorong agar Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi segera mempercepat pelaksanaan Permendikbud PPKS dan membentuk satgas-satgas kekerasan seksual di seluruh perguruan tinggi.

Lalu juga menuntut Mahkamah Agung Republik Indonesia mengambil sikap tegas dengan mengedepankan prinsip keberpihakan kepada korban yang berlandaskan pada pengalaman dan kebutuhan korban sebagai pertimbangan utama dalam memutus gugatan terhadap Permendikbud PPKS dan menolak gugatan Permendikbud PPKS

Serta meminta masyarakat untuk bersama-sama mendukung setiap upaya pencegahan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

Oleh karena itu, KOMPAKS dengan tegas mengecam gugatan judicial review terhadap Permendikbud PPKS dan kami percaya bahwa peraturan ini dibuat dengan semangat keberpihakan dan memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang ada di lingkungan perguruan tinggi. Alih-alih digugat, peraturan ini semestinya direproduksi oleh Kementerian-kementerian lain, demi menciptakan lingkungan yang aman di semua sektor.

KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) adalah jaringan yang terdiri lebih dari 101 organisasi dan akun sosial media yang fokus pada kampanye, edukasi, dan pendampingan kasus-kasus kekerasan seksual.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!