Dipaksa Menikah: Kompleksnya Luka dan Perlawanan Perempuan

Dipaksa menikah adalah kondisi di mana seseorang harus menelan sesuatu yang tidak disuka. Seperti kisah perempuan yang dijerat oleh adat, sejumlah perempuan Sasak dibuat tak berkutik saat berhadapan dengan adat setempat yang memaksanya menikah.

Dipaksa menikah. Betapa tidak enaknya kondisi ini. Ini seperti kondisi dimana kita harus menelan pil pahit yang tak cocok untuk penyakit yang kita alami. Coba saja simak kalimat berikut:

Jika menikahi laki-laki yang membawanya lari adalah takdir perempuan Sasak, jangan-jangan tidak tersisa kehormatan jika menolak takdir itu. Tidak bolehkah perempuan memilih, sekadar memilih untuk tidak memilih laki-laki yang memilihnya? 

Kalimat ini adalah kutipan yang diambil dari kumpulan cerpen berjudul ‘Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan’ karya Riyana Rizki.

Cerpen ini merupakan segelintir kegelisahan dan  keterbatasan tokoh perempuan—Srimpi—yang tengah melawan untuk bisa merdeka dari sangkar tradisi. Dipaksa menikah.

Seperti kisah perempuan Sasak lainnya, Srimpi dibuat tak berkutik saat berhadapan dengan adat setempat yang memaksanya menikah. Tentu saja, ada banyak Srimpi di luar sana, yang dengan kungkungan adat dan tradisi terpenjara sebagai perempuan, yang mencoba melawan dan mencari kebebasannya. 

Kisah sosok Srimpi adalah satu dari deretan cerita lain yang ada di buku Riyana Rizki. Satu sama lain ceritanya, memang bertalian erat dengan beragam dongeng, legenda, dan cerita rakyat yang hidup di masyarakat. Senada dengan cover dan judulnya, buku ini memang nyaris seluruhnya mengambil topik tentang perempuan. Kisah-kisahnya menggambarkan hiruk-pikuk perempuan: ketertindasan, ketundukan, ketegaran, dan perlawanan.

Meskipun demikian, tidak semua cerita berkaitan dengan kehidupan perempuan. Ada dua cerpen yang tidak terikat langsung dengan isu tersebut, yaitu Sihir Bumi dan Suling Pemikat & Misteri Hilangnya para Bocah. Namun, kedua cerpen tersebut tetap menyajikan isu yang tak kalah penting. Hal ini lantaran gender merupakan cross-cutting issues. 

Kaitannya dengan perspektif intersectionality tersebut, perempuan dan feminis digambarkan amat membenci kerakusan, kepura-puraan, dan eksploitasi atas nama apa pun. Hal itulah yang membuat 2 cerpen ini tetap bertaut dengan cerpen lain, meski tidak eksplisit membahas perempuan.

Memugar Dongeng Lawas 

Secara keseluruhan, cerita yang termuat dalam kumpulan cerpen ini merupakan rekonstruksi dongeng-dongeng lawas, baik dongeng lokal maupun mancanegara. Riyana mengambil beberapa dongeng kondang untuk Ia tulis ulang dengan alur yang berbeda. 

Pembaca bisa dengan mudah mengenali cerita di buku ini dengan dongeng yang pernah didengar. Sebagai contoh, cerpen berjudul Sudah Kukatakan, Aku Timun Mas. Terlihat dari judulnya, cerpen ini diadopsi dari dongeng kondang dari Jawa: Timun Mas. Ia memugar dongeng lawas itu dengan mengaitkan pada isu yang relevan saat ini. 

Uniknya, jika dongeng seringkali digambarkan sebagai cerita fantasi yang berakhir bahagia, cerita di buku ini justru menyuguhkan hal yang sebaliknya. Alih-alih berujung happily ever after, cerita dalam cerpen-cerpen  buku ini justru lebih banyak menjamu pembaca dengan kengerian. Sebagian besar kisah menyimpan amarah, luka, dan perlawanan. 

Ada kegelisahan yang coba disampaikan penulis di setiap cerpennya. Hal tersebut bisa menjadi bahan renungan bagi pembaca. Pada dasarnya, setiap kisah memiliki epistemologi narasi dari alam pikiran masyarakat. Kisah pada buku ini menyuarakan colonized view guna melawan warisan yang mengakar di kehidupan sosial.

Sulitnya Perempuan Memperjuangkan Keadilan

Tak bisa memungkiri, perempuan memang digelayuti oleh banyak hal. Mulai dari kurungan tradisi, jerat patriarki, sampai rentannya perempuan mendapat pelecehan. Kondisi demikian menempatkan perempuan pada kelompok inferior, alias kasta kedua. Persoalan perempuan kini itulah, yang mencoba diangkat Riyana menjadi sebuah benang merah: perempuan mempunyai kompleksitas masalah, luka dan perlawanan. 

Cerpen-cerpen pada buku ini seakan menjadi sarana untuk menyampaikan suara-suara yang kerap ditepis, mengangkat isu yang acapkali ditenggelamkan, dan  memberitahu permasalahan yang sering disingkirkan.

Hampir semua kisah di sini menggambarkan stereotip yang telah berakar dan berjalin-kelindan dalam kehidupan sosial, di mana perempuan selalu ‘dipinggirkan’.

Penulis menyalurkan kegelisahannya melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Segelintir kegelisahan itu bisa dilihat pada cerpen Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan, yang diambil sebagai judul dari kumpulan cerpen ini. 

Tidak menutup kemungkinan, sepenggal kisah di cerpen Riyana tentang perempuan Sasak bernama Srimpi itu, juga menjadi keresahan perempuan lain di luar sana. Tak jarang perempuan harus mengesampingkan hak-haknya demi keberlangsungan tradisi. Bahkan, segelintir dari mereka harus mengubur suara dan kehormatannya.

Cerita berbeda terdapat pada dua cerpen berjudul Perawan, Perawan Turunkan Rambutmu dan May. Keduanya mengisahkan bagaimana sulitnya perempuan korban pelecehan mencari keadilan. Mereka dilanda kebimbangan: diam makin diinjak, bersuara tak ada gunanya. 

Hal demikian juga dialami korban pelecehan di kehidupan nyata. Ada banyak rintangan yang menghadang saat korban membuka mulut, mulai dari minimnya bukti; kultur masyarakat yang menyalahkan korban; sampai ketimpangan kedudukan antara pelaku dan korban. Pada akhirnya, mereka memilih menelan sendiri pengalaman pahit tersebut.

Sejatinya, keseluruhan cerita tersebut memang fiktif belaka. Namun, bagi pembaca yang terlahir sebagai perempuan, mereka akan sepakat bahwa kisah-kisah ini tak sekadar fiksi. Kompleksitas masalah yang disodorkan begitu nyata. Masalah yang dekat dengan urat kehidupan perempuan, di mana pun mereka. 

Alih-alih mengajak pembaca untuk meratapi takdir sebagai perempuan, penulis justru ingin merangkul mereka untuk berbangga hati. Bahagia untuk menjadi perempuan itu sendiri!

(Foto: Lasingan.id)

Laili Ayu Ramadhani

Mahasiswi Universitas Negeri Semarang yang juga aktif dalam Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) universitas. Ia menempuh kuliah dalam program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!