Film ‘Lagu untuk Anakku’: Kisah Perempuan 65 Di Balik Penjara 

Film “Lagu untuk Anakku”, menjadi salah satu karya yang menjadi saksi kehidupan para perempuan di balik penjara di balik tragedi 65, soal kehilangan dan kehidupan yang tak pernah mudah di dalam penjara.

“Duka derita kubawa setia

Cinta dan cita lahirlah semua

Menyinari hari mendatang, sayangku

Jadilah putra harapan bangsamu..” 

(Lagu untuk Anakku)

Puluhan tahun lalu, situasi betul-betul gelap dan mencekam. Ratusan ribu anak-anak tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya. Entah dibunuh, dibuang atau dipenjara karena kondisi politik tahun 1965 yang serba gawat. “Lagu untuk Anakku”, menjadi salah satu karya yang menjadi saksi duka para perempuan di balik penjara.

Heryani Busono Wiwoho dan Mayor Djuwito, tahanan politik 65 di kamp Ambarawa Jawa Tengah, menyusun serta membuat notasi lagu yang berkisah tentang kasih sayang dan harapan untuk para anak bangsa. Meskipun derita menyelubungi kamp-kamp tahanan, tak menjadikan harapan terlebih untuk para anak-anak generasi penerus bangsa pupus. 

“Kan ada teman sesama tahanan, dia anggota militer, namanya Pak Djuwito, dia bilang, anak-anak kita banyak ya, ditinggal semua. Bapaknya masuk penjara, ibunya masuk penjara. Iya kasian, bikin lagu yuk,” cerita Heryani dalam film dokumenter Lagu untuk Anakku yang tayang perdana di youtube Negeri Film, Sabtu (12/3/2022). 

Kala itu, Heryani mengungkap kehidupan penjara begitu tak mudah. Bahkan saat-saat dia dan para penghuni penjara menciptakan lagu, tak diperbolehkan adanya alat tulis atau semacamnya. 

“Nggak boleh ada alat tulis, nggak boleh (ada) kertas, gak boleh (ada) koran. Kan mereka takut juga. Tapi kan selalu ada jalan keluar, jadi itu diam-diam dapatlah kertas dan pensil itu,” ucap Heryani yang saat itu akhirnya bisa menuliskan lirik Lagu untuk Anakku. 

Tak hanya menceritakan tentang kesaksian Heryani, film berdurasi 1 jam 38 menit itu, mengisahkan pula para perempuan penyintas tragedi 1965 yang tergabung dalam sebuah paduan suara bernama Dialita. Para perempuan yang direnggut masa muda dan masa depannya itu, menuturkan perjalanan hidup selama di penjara. 

Tanpa peradilan dan kejelasan nasib. Kehidupan dalam penjara itu memang begitu mencekam. Apalagi, ada begitu banyak teror dan siksaan yang terjadi. Melalui lagu dan musik itulah, para perempuan itu menggerus luka dan trauma. 

Jangan Menyerah pada Nasib: Pesan untuk Anak Muda

Melalui mata Mudji dan Utati, anggota Dialita, Film Lagu untuk Anakku, memang kentara sekali menceritakan liku tahun-tahun yang sulit selama dalam masa tahanan. Tanpa mengetahui kejelasan nasib dan kapan akan dibebaskan.

Di sebuah scene tampak Mudji bersama para anak muda, napak tilas ke sebuah tempat yang dulunya bekas kamp tahanan Plantungan, Kendal, sebelah selatan kota Semarang. Tak ada yang tersisa, kecuali satu pondasi bangunan yang dulunya banyak tertanam bunga-bunga taman yang diabadikan dalam lagu Taman Bunga Plantungan. 

“Hanya ini (pondasi tua) yang tersisa, dulu di depan sini taman,” ujar Mudji menunjuk lokasi tempat yang kini banyak ditumbuhi rumput liar dan bangunan baru. 

Selama masa itu, menurut Mudji, para tahanan perempuan bertahan hidup dari memakan tumbuhan bahkan hewan melata yang ada di sekitar lokasi kamp Plantungan. Seperti, kadal hingga ular. 

“Ular kalau ke bawah (dari hutan ke kamp) itu apes (sial). Bukan kita yang apes,” kata Mudji. 

Tak hanya kisah kelam, lagu-lagu yang tercipta di kamp tahanan itu ada pula yang bernuansakan indah kasmaran. Misalnya saja lagu yang diciptakan Zubaidah Nungtjik yang terinspirasi dari kisah cinta Mudji dengan seorang laki-laki yang juga berada di kamp tahanan berjudul Mawar Merah. 

Beragam kisah dan asa di dalam penjara itulah, yang kemudian melahirkan deretan lagu-lagu yang selanjutnya dinyanyikan kembali oleh Dialita. Setelah sebelumnya, dikumpulkan dari berbagai arsip. 

“Setelah pulang dari tahanan, sering terngiang lagu-lagu itu… Orang-orang muda ada yang menemukan dan iseng mau menyanyikan kan bagus,” ujar anggota Dialita, Utati. 

Ketua Dialita, Uchicowati menambahkan, generasi muda selanjutnya bisa banyak belajar dari keteguhan dan ketegaran para perempuan di balik penjara melalui lagu-lagu ini. Dia mengatakan, para perempuan tahanan ini tidak menyerah di dalam penjara dan tidak menyerah pada nasib. 

“Mereka tidak mengutuk tapi mereka berkarya. Dengan berkarya itulah, ibu-ibu ini bisa bertahan hidup di dalam penjara,” katanya. 

Sebagai musisi muda yang ikut terlibat dalam proyek lagu Dialita, Erie berpendapat, karya-karya lagu para perempuan di dalam penjara tersebut memang menakjubkan. Dia mengambil contoh ketika dirinya menyanyikan lagu Plantungan, teknis atau materinya tak hanya bagus tapi juga membuka wawasan sejarah musik keroncong yang selama ini tak banyak diketahui generasi muda. 

“Setelahnya saya membuka literatur mengenai lagu-lagu tersembunyi. Ini Dialita, salah satu usaha yang menarik, sangat menantang karena mampu membuka itu (wawasan): babak sejarah musik, terlepas dari skena musik populer,” kata Erie. 

Begitu pun dengan Bonita, musisi muda perempuan yang juga takjub dengan keindahan lagu-lagu Dialita yang penuh makna. Tak sebatas bait-bait lagu menggugah, baginya Dialita merupakan anugerah bagi hidupnya. Utamanya dalam memahami sejarah bangsa ini, yang kelam sekaligus penuh ketegaran. 

“Dialita adalah pertemuan dalam kehidupan saya, menurut saya bisa membuat saya bisa membuat saya naik kelas dalam pengetahuan dalam bersosialisasi. Keingintahuan, apa sih, kasus 65 ternyata selama ini doktrinasi,” ucap Bonita. 

Musisi perempuan yang juga turut menyanyikan lagu Dialita, Endah Widiastuti pun, mengaku begitu terenyuh. Endah telah mendengarkan berkali-kali lagu Dialita itu, sekaligus bagaimana situasi ketika membuat lagunya. Dan dia pun bilang, tetap tak bisa membayangkan betapa besarnya tekanan kala itu. 

“Betapa beratnya kehidupan mereka saat itu dan melihat bahwa musik, lagu, bisa membuat mereka hidup bertahan, survive semangat,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!