Kapan Sinetron Bisa Semenarik Drakor? Ceritanya Melantur Dan Stereotyping Perempuan

Sinetron Indonesia dulu pernah bagus, tapi sekarang ceritanya melantur dan penuh stereotyping perempuan. Di Indonesia sepertinya berlaku hukum: makin tinggi ratingnya, harus makin panjang episodenya. Kalau perlu, selama rating masih tinggi, jangan sampai tamat. Padahal harapannya kondisi seperti ini bisa berubah

Heboh sinetron “Suara Hati Istri : Zahra” tahun lalu yang tayang di Indosiar yang dinilai permisif terhadap pernikahan anak di bawah umur, membangunkan banyak pihak untuk bersuara (lagi) tentang sinetron Indonesia. 

Kok bisa, sinetron seperti itu lolos buat tayang. Plus, kemudian diketahui bahwa produksi sinetron itu telah melibatkan anak di bawah umur memainkan peran dewasa sebagai istri ketiga. 

Saya hampir lupa kapan terakhir kali nonton sinetron Indonesia sehingga kontroversi Zahra itu pun saya ketahui dari berita. Sudah hampir tiga tahun ini. televisi di rumah memang nyaris tak pernah menyala, sejak tak ada lagi pekerja rumah tangga yang senang menonton TV. Televisi di rumah juga masih TV jadul, yang cembung itu loh.

Saat masih ada simbah (sebutan kami untuk pengasuh anak itu) ada, televisi di rumah selalu menyala saat jam prime time sinetron. 

Awal tahun 2018, sinetron “Orang Ketiga” yang tayang di SCTV jadi salah satu favorit simbah. Ia  terlihat menikmati sinetron itu di jam istirahatnya. Ia geram, ikut merutuki karakter lelaki yang selingkuh, dan gemas dengan karakter perempuan yang ditempatkan sebagai pelakor bertampang naif. 

Memang selama ini banyak stereotipe perempuan yang disematkan di sinetron Indonesia. Perempuan yang suka marah-marah, pekerja rumah tangga yang kerjanya hanya gosip, penuh stereotipe

Saya sempat nonton sekilas, tapi end-up dengan ngedumel. Kok aneh sih, kok itu sih, dan seterusnya. Nonton sinetron Indonesia itu bener-bener bikin capek, dan buang waktu. Saat itu, saya belum nonton drama Korea.

Sebelumnya, sinetron lain yang sempat sekilas saya intip ialah “Dunia Terbalik”. Sebetulnya, kalau sinetron Dunia Terbalik itu dieksekusi prima dan lepas dari jeratan episode panjang, pasti bagus. Sebab premisnya sudah sangat menarik dan sangat lokal : tentang desa yang kebanyakan warga perempuan berangkat bekerja di luar negeri sebagai TKI dan meninggalkan para pria memainkan peran sebagai bapak rumah tangga. 

Jadi seharusnya, itu bakal bagus. Tapi apa boleh buat. Di Indonesia berlaku hukum: makin tinggi ratingnya, harus makin panjang episodenya. Kalau perlu, selama rating masih tinggi, jangan sampe tamat. 

Lalu saya tahu, cerita Dunia Terbalik dengan ribuan episode itu pun semakin melantur kemana-mana, dengan bobot kualitas dialog yang makin menyedihkan : banyak banget scene hanya untuk berbalas salam.  Plus iklan built in yang sembrono dan ngiklan banget. Betulan bikin gumoh. Maka kita pun melihat para pemain Dunia Terbalik menua di lokasi syuting.

Itu udah kaya karakter Truman di Truman Show yang sejak kecil di set syuting, sampai dia menyadari adegan yang berulang. Bedanya, karakter Truman awalnya gak tau  bahwa dia hidup di lokasi syuting dan kehidupannya jadi tonton reality show.

Padahal, para pemain sinetron Dunia Terbalik itu bukan aktor dan aktris kaleng-kaleng. Mereka bisa akting bagus. Hanya saja, bagaimana mungkin ada cerita bagus terbangun dengan sistem kejar tayang harian? Bahkan sampai lebih dari 2000 episode. 

Sinetron Indonesia pernah bagus

Dulu, di era sinetron masih barang baru di televisi, saya penonton setia “Pondokan Bu Broto”, “Jendela Rumah Kita”, dan “Keluarga Cemara”. 

Lalu ketika FTV awal-awal diperkenalkan, saya suka banget sama “Sayekti Hanafi”. Sayekti dan Hanafi (1988) mengisahkan kehidupan pasangan suami istri tukang becak dan simbok buruh panggul di pasar, berlatar kota gudeng. Ceritanya bikin nangis, diadopsi dari kisah nyata bayi yang “disandera” rumah sakit lantaran ongkos rumah sakit tak bisa dibayar.

Dewi yul dan Wawan Wanisar (alm) bermain prima. Derita masyarakat kelas bawah betul-betul diekspresikan secara natural.  Tahun 2012, kisah ini dibuat ulang dengan judul yang sama. Saya enggak nonton sih. Saat lagi seneng-senengnya nonton sinetron, saya juga membaca tabloid Monitor karena penasaran dengan kisah-kisah di balik layar.

Era itu kemudian berubah menjadi era sinetron berikutnya seperti munculnya sinetron “Tersanjung”, atau “Pernikahan Dini”, saya masih nonton, tapi enggak terlalu suka. 

Waktu itu masih ada “Lupus” yang lumayan enak ditonton, dan tentu saja seri “Si Doel Anak Betawi” yang lumayan menawarkan tema segar. Seingat saya, sinetron era 90-an saat itu masih bisa dinikmati dengan senang hati, meskipun televisi juga mulai menayangkan telenovela.  

Apa mungkin kualitas sinetron kita bisa membaik seperti dulu?  Atau siapa tahu bisa sekeren drakor dan dorama?  

Membaca curhatan panjang Amrazing hari ini, saya merasa kita punya potensi itu meskipun bakal sulit merombak tatanan industri televisi. Amrazing pernah menjadi penulis naskah sinetron, dan membagikan kisah di balik layar itu lewat IG Story, pada Sabtu, 5 Juni 2021. Apa yang ia ceritakan sesuai dengan apa yang pernah saya dengar dari para penulis skenario sinetron. 

Seorang sutradara beken pernah berucap, kita kekurangan penulis skenario yang bagus. Tapi persoalannya, industri kepenulisan di Indonesia juga sulit matang dan profesional, ketika masih banyak PR dari hulu sampai ke hilir. Plus, kualitas sinetron tentu saja bukan cuma jadi tanggung jawab penulis. 

Profesionalitas para pemeran, hingga good will stasiun televisi juga punya peran besar. Sehingga pada akhirnya, meningkatkan kualitas sinetron Indonesia menjadi pekerjaan banyak pihak. Toh drama Korea juga gak langsung sekeren sekarang. 

Keberhasilan Korea membangun industri drama Korea, tak lepas dari campur tangan pemerintahan yang meyakini industri kreatif adalah jalan bagi masuknya devisa negara. Negara itu enggak punya minyak bumi untuk dijual.  Maka mereka bertumpu pada industri kreatif, termasuk kpop, drama korea, juga teknologi. 

Akibat kultur “pali pali” (cepat), Korea Selatan butuh setidaknya dua dekade untuk mulai menancapkan kuku di industri global. Puncaknya, tentu saja keberhasilan BTS take over the World, diikuti deretan drama Korea yang jadi tontonan favorit di platform global seperti Netflix, serta webtoon yang turut menggerakan industri.

Apa saja yang dilakukan pemerintah Korea Selatan? Sejak kapan drama Korea rata-rata berkualitas bagus? Mestinya sinetron Indonesia belajar dari sana.

dwisep

Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!