Permendikbud Kekerasan Seksual Dibutuhkan Kampus: Komnas Perempuan Minta Mahkamah Agung Tolak Uji Materi Permendikbud

Sebuah lembaga adat di Sumatera Barat layangkan uji materi Permendikbud Kekerasan seksual ke Mahkamah Agung menyoal frasa "persetujuan korban". Menurut Komnas Perempuan, keberadaan frasa ini sangat penting untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus

Komnas Perempuan meminta Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan uji materi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dilayangkan lembaga adat di Sumatera Barat

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan penolakan MA merupakan wujud penegasan Negara untuk menyediakan ruang aman, khususnya rasa aman dan bebas dari kekerasan seksual terutama di lingkungan perguruan tinggi.

Andy menegaskan, kehadiran Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 telah sesuai perundang-undangan yang sudah ada. Permendikbud ini, ujarnya, tidak bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 

Komnas Perempuan juga meminta agar dalam memeriksa uji materi, MA melakukakannya secara terbuka dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam memberikan masukan baik secara langsung maupun tidak langsung. 

“Kami mendorong jaringan masyarakat sipil juga memberikan pandangan ke MA berdasarkan keterangan korban seksual untuk mendapatkan keadilan,” beber Andy dalam jumpa pers secara daring Selasa (22/3/2021). 

Uji materi atau judicial review ini diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengemukakan, Judicial review ini diajukan untuk menguji pasal Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mencantumkan frasa “tanpa persetujuan korban” dan “tidak disetujui korban”.

Frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban”  ini ditafsirkan pemohon sebagai pintu membuka terjadinya perzinahan di lingkungan perguruan tinggi.  

 “Komnas Perempuan berpendapat bahwa tafsir ini menunjukkan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual juga keliru karena ditafsirkan terbalik (a contrario),” ujar Aminah.

Ia menambahkan, Komnas Perempuan juga meminta MA memperbarui mekanisme pemeriksaan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU menjadi terbuka, akuntabel dan mendengarkan kepentingan pihak-pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung dari keberlakuan peraturan perundang-undangan.

Komnas Perempuan juga meminta MA melakukan pengawasan agar hakim pemeriksa permohonan yang ditunjuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan pemohon atau termohon dan senantiasa mengedepankan nilai-nilai indepedensi, imparsial, dan integritas. 

“Jaringan akademisi dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi memberikan pendapat dalam uji materiil ini berdasarkan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dalam uji materiil ini dan juga cita-cita pendidikan nasional,” imbuhnya.

Alasan kenapa harus ditolak

Aminah menjelaskan ada tiga alasan mengapa Komnas Perempuan merekomendasikan MA untuk menolak permohonan uji materi tersebut. 

Pertama, pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek 30/2021. Sebab, kata Siti, pemohon tidak mampu membuktikan kualifikasinya antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik, tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual.

Kedua, termohon telah memenuhi prosedur formal pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Permendikbudristek 30/2021 diterbitkan sesuai kewenangan dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran pemberlakuan obyek permohonan.

Ketiga, frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban” sangat penting untuk membedakan antara kekerasan dengan aktivitas seksual lainnya yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Dengan frasa ini Satgas bisa mengenali siapa pelaku dan siapa korban, sehingga kemudian dapat ditentukan pemberian layanan pemulihan dan sanksi dari aktivitas seksual yang dimaksud.

Frasa ini juga mendidik civitas akademika, khususnya peserta didik perempuan, untuk menolak permintaan seksual berkaitan dengan relasi kuasa yang ada di lingkungan Pendidikan.

“Frasa tanpa persetujuan korban juga mendidik civitas akademika bahwa terdapat aktivitas-aktivitas dalam relasi kuasa yang tidak disukai, tidak diinginkan, menyerang atau tidak disetujui seseorang sehingga seharusnya relasi yang terbangun adalah relasi dengan budaya penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas setiap orang,” imbuhnya.

Dan yang terakhir, prinsip ini sejalan dengan prinsip dan norma HAM internasional sebagaimana dimandatkan PBB yang menekankan “persetujuan korban” sebagai inti dari kekerasan seksual berbasis gender. Menurutnya frasa ini tidak boleh dihapus karena sangat penting.

“Kita sama-sama memahami bahwa dalam kekerasan seksual itu ada unsur penting untuk ditindaklanjuti, untuk memastikan siapa korban, pelaku dan memastikan tidak terjadi abuse of power,” jelas Aminah.   

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah juga menolak uji materi frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Menurutnya, frasa ‘persetujuan korban’ harus tetap ada.

Alimatul menambahkan, Permen ini memang tidak mengatur tindak kesusilaan tetapi juga tidak mengbaikan aturan dan nilai yang sudah diyakini oleh masyarakat dan juga yang sudah menjadi kebijakan di perguruan tinggi tentang tindak kesusilaan. Ia menegaskan, namun tidak mengatur bukan berarti setuju. Ia menganalogikan kasus ini dengan Ketertiban umum,

“Walaupun tidak tertulis dilarang kencing di suatu ruang pertemuan, bukan berarti boleh kencing di ruang pertemuan itu. Karena secara umum hal itu melanggar ketertiban umum dan tidak pantas,” ujarnya.

Alimatul berharap judicial review ini tidak memupus semangat korban untuk melapor dan tetap memiliki semangat untuk beraktivitas. Para pendamping juga diminta tetap bekerja seperti biasa.

“Insyaallah kita punya banyak peluang untuk berjuang, bersikap atau kampanye tentang anti kekerasan,” tegasnya. 

Alimatul menjelaskan, data yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan seksual. Sepanjang 2012 hingga 2021 kekerasan seksual yang dilaporkan ke lembaga layanan dan Komnas Perempuan mencapai 49.729.

Di mana 27 persen dari jumlah laporan yang diterima Komnas Perempuan terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Sementara survei yang dilakukan Diktiristek pada 2020, mengungkap 77 persen dosen menyebut kekerasan seksual pernah terjaid di kampus, dan 67 persen korban tidak mengadukan kasusnya.  

“Korban umumnya perempuan dengan pelaku umumnya laki-laki, guru dosen atau ustad berusia dewasa,” paparnya.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!