Peace Innovation Academy Ajak Anak Muda Kampanyekan Toleransi Untuk Perempuan dan Minoritas

Apa pentingnya belajar tentang perempuan, perdamaian dan keamanan? Sebanyak 30 anak muda di Indonesia mengikuti Peace Innovation Academy, sebuah kegiatan pendidikan untuk isu perempuan, perdamaian dan keamanan di media yang diselenggarakan Konde.co, AMAN Indonesia dan UN Women. Kegiatan ini berlangsung selama 3 bulan.

Peace Innovation Academy mengajak anak muda untuk unjuk gigi mengetahui problem-problem seputar radikalisme, esktremisme dan intoleransi yang seringkali mengorbankan masyarakat, terutama perempuan dan kelompok minoritas.

Salah satu kegiatan ini untuk mengajak anak muda mengkampanyekan problem-problem ini melalui media. Kegiatan diselenggarakan oleh Konde.co, Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan UN Women

Akademi ini dilakukan selama 3 bulan, yaitu dari bulan Maret- Mei 2022. Akademi dilatarbelakangi oleh keberagaman di Indonesia yang mulai terancam akibat menguatnya kelompok-kelompok intoleran dan radikal fundamentalis. Menguatnya gerakan anti keberagaman telah berkontribusi pada semakin melemahnya proses demokrasi di Indonesia.

Gerakan ini juga menimbulkan penderitaan bagi  perempuan dan minoritas yang selalu dinilai dari identitasnya, baik identitas agamanya, tubuhnya maupun identitas norma yang dilekatkan pada perempuan.

Coba lihat saja pada banyaknya kebijakan diskriminatif yang sering kali menyasar identitas dan tubuh perempuan. Meningkatnya fundamentalisme agama  semakin menutup akses dan kontrol, serta menghilangkan kedaulatan perempuan baik pada ruang publik maupun ruang domestik.

Saat ini, setidaknya terdapat 421 kebijakan diskriminatif yang meningkat setiap tahunnya yang telah mengakibatkan menguatnya praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya yang mengatasnamakan agama.

Komnas Perempuan mencatat, pada 28 Januari 2021, terdapat aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikan telah beberapa kali mencuat di masyarakat, seperti di Bali (2014), Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari (2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas dan otonomi daerah.

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan pertama kali melansir laporan mengenai keberadaan kebijakan diskriminatif ini. Hingga kini terdapat 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas.

Ke-62 kebijakan daerah ini terbit antara tahun 2000 hingga 2015 dan tersebar di 15 provinsi, yang terdiri dari 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi juga kota/kabupaten. Sekurangnya ada 15 kebijakan serupa yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat.

Situasi ini juga makin mengancam keberagaman, kedaulatan dan kebebasan perempuan untuk berekspresi, berpendapat dan menentukan pilihan politiknya ataupun mengambil keputusan untuk dirinya, keluarganya maupun komunitasnya.

Meningkatnya fundamentalisme juga menciptakan standar nilai berdasar moralitas yang menyasar seksualitas perempuan di media, seperti moral perempuan dikaitkan dengan persoalan pakaian perempuan. Bahkan, politisi  di daerah juga berlomba menggunakan simbol dan moralitas agama sebagai indikator keberhasilan pembangunan, kebijakan, dan program yang mengatur seksualitas perempuan. Kebijakan terkait perempuan banyak dikaitkan dengan agama dan moralitas

Kondisi meningkatnya konservatisme agama di Indonesia juga menyebabkan media kemudian memperkuat stereotype pada perempuan. Maka penting untuk melibatkan anak-anak muda untuk berkampanye melalui media.

Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana menyatakan, identitas yang dilekatkan pada perempuan dan identitas berbasis agama ini tak pernah lepas dari perempuan, bahayanya jika pelekatan ini justru mendiskriminasi perempuan.

Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah menyatakan, akademi ini menjadi penting karena kita bisa belajar tentang narasi toleransi dan narasi intoleransi, tentang narasi diskriminatif dan bukan diskriminatif.

“Indonesia tak bisa lepas dari identitas agama dan norma, maka penting untuk kita belajar soal narasi toleran dan mengkampanyekan di media agar bukan narasi intoleran yang muncul,” kata Ruby Kholifah dalam pembukaan Peace Innovation Academy pada 18 Maret 2022 yang diadakan secara offline di Serpong, Tangerang Selatan

Kegiatan ini dimulai dengan memberikan pendidikan pengetahuan tentang pemetaan sejarah radikalisme, intoleransi dan ekstrimisme, dan bagaimana kita harus menyikapinya.

Selain itu juga banyaknya cerita tentang perempuan sebagai aktor perdamaian baik di Indonesia dan di negara lain yang tidak cukup banyak terpublikasi, tentunya menjadi pengetahuan baru bagi para peserta. Namun tak hanya itu perempuanpun juga bisa menjadi aktor terorisme yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah dan pihak keamanan, contohnya pengeboman yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Perempuan yang selama ini menghadapi diskriminasi, pelabelan, marjinalisasi, subordinasi dan stigma tentu saja harus terus dikuatkan untuk dapat memahami hak-haknya.

Kekerasan yang berlapis sering dialami perempuan menjadikan  perempuan seringkali didapat  ketika anggota keluarga baik ayah, saudara laki-laki atau suami terlibat dalam ekstrimisme. Penyebaran kekerasan ektrimisme yang semakin meningkat dan meluas menunjukkan bahwa banyaknya kelompok yang tidak begitu terlihat menjadi target dari kelompok ekstrimisme.

Hal ini juga dimulai dari intoleransi yang dibakukan sebagai kebijakan diskriminatif. Pada sebuah diskusi kasus, peserta muda dari Aceh menyebutkan tentang kebijakan diskriminasi yang terjadi di Aceh.

“Salah satu kebijakan di Aceh bahkan juga memberikan pembatasan kepada masyarakat khususnya perempuan untuk berada di ruang publik. Misalnya pelarangan perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim ngopi semeja.”

Dalam pendidikan Peace Innovation Academy juga diharapkan dapat mengangkat cerita perempuan dan kelompok minoritas lainnya dari berbagai konteks dan mengangkat cerita perempuan dengan diskriminasi yang berlapis mulai dari perempuan penyintas kekerasan ekstrimisme, perempuan sebagai mantan narapidana teroris, perempuan sebagai agen perdamaian atau perempuan dari kelompok minoritas yang selama ini tidak terekam atau terpublikasi ceritanya.

“Harapannya akan semakin banyak orang muda yang akan menyuarakan dan membuat “counter narrative” dengan konten kreatif untuk dapat mencegah kekerasan ekstrimisme,” kata Ruby Kholifah

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!