Pekerja Seni Pekerja Palugada: ‘Apa yang Lu Mau, Gua Ada’

Banyak pekerja seni yang bekerja di balik layar, mereka mengerjakan apa saja, seperti desainer grafis yang merangkap sebagai desainer website, pembuat katalog yang merangkap sebagai pembuat poster, merangkap admin medsos, mengurus media partner, dll. Mereka menyebut ini sebagai pekerja Palugada: apa yang lu mau, gua ada. Kerja-kerja seperti ini jelas rawan eksploitasi.

Dalam lingkungan pekerja seni, tersembunyi pekerja-pekerja yang jarang disebut namanya dalam perhelatan acara-acara besar, namun para pekerja ini bekerja sangat keras, dan ternyata rentan mendapatkan eksploitasi

Simak pernyataan Ana Rosdianahangka, Wakil Ketua Serikat Pekerja Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam diskusi yang digelar Serikat Sindikasi, 5 Februari 2022. Para pekerja ini adalah mereka yang bekerja di belakang layar atau di belakang panggung, seperti pembuat poster, grafis designer, humas, admin sosial media, pekerja yang mengurus media partner, dan lain-lain.

Para pekerja ini sering tidak dikenal orang karena bekerja di belakang layar. Mereka adalah orang-orang yang setiap hari harus memastikan bahwa proses kesenian terus berlangsung

Ana Rosdianahangka menyatakan dalam kondisi inilah pekerja seperti mereka jadi rentan eksploitase, salah satunya ditunjukkan dengan mereka yang kerap mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, seperti misalnya desainer grafis yang harus merangkap sebagai desain website, pembuat katalog yang merangkap sebagai pembuat poster, dan lain-lain.

“Di bagian ini kita bisa jadi humas, lalu nyambi menjadi admin sosmed, juga sambil mengurus media partner. Selama ini kerja kita secara multitasking, saya bisa merangkap sebagai HRD juga, harus memilih tim, mengelola keuangan dan cari funding juga,” kata Ana.

Lebih-lebih selama pandemi ini, mereka jadi mengerjakan apa saja untuk pertunjukan seni, sampai jadi admin dan kerja-kerja broadcast yang bukan bidang mereka, juga harus mereka kerjakan, seperti palugada: apa yang lu mau, gua ada (gua kerjakan).

Cecil Mariani, dosen dan peneliti seni menyatakan sulitnya kondisi pekerja seni yang harus mengerjakan apa saja. Ada juga kondisi dimana para pekerja ini harus menghadapi relasi informal yang kadang bekerja dengan teman, dll.

Ada juga yang kadang bekerja tanpa kontrak karena sifatnya hanya sementara, hanya kerja untuk berapa hari, atau berapa bulan.

Penelitian Cecil menyebut, banyak pekerja seni di balik panggung ini yang posisinya diremehkan, tidak dianggap sebagai pekerja. Hal ini disebabkan karena secara umum, orang masih melihat seni sebagai sebuah karya, belum pada konteks pengetahuan atau bagaimana menghargai kerja-kerja para pekerja yang harus mendapatkan penghargaan

“Banyak pekerja seni, di balik panggung yang sering diremehkan, tidak dianggap kerja. Perspektifnya hanya soal karya seni harus berkualitas, tapi tidak dalam konteks pendukung pekerja seni, dimana harusnya pekerja ini dihargai, bisa mandiri, bisa berpikir, buat karya sendiri,” kata Cecil Mariani.

Anggraeni Widiasi, periset seni dalam diskusi tersebut juga melihat, penyebabnya karena selama ini dalam berkesenian, orang masih bertumpu atau melihat hasil, bukan pada proses. Padahal proses ini lebih penting karena dengan menghargai proses, maka kita jadi menghormati syarat dasar penghidupan pekerja.

“Apa yang yang dilihat adalah hasil, bukan proses. Jadi peristiwa seni masih dilihat sebagai pamerannya, dan pemerintah atau funding yang dukung, bukan gagasan dan konsep untuk pekerja atau proses yang dihargai. Padahal dalam kesenian ada kerja-kerja pendukung yang hilang dari hitungan seperti: pekerja admin, juga soal negosiasi mengatasi konflik, pekerja yang mendatangkan jaringan yang memastikan bahwa semua bisa berjalan dengan baik.”

Kasus yang Menimpa Pekerja Seni Dewan Kesenian Jakarta

Saat ini, satu kasus terkait pekerja juga menimpa para pekerja seni di Dewan Kesenian Jakarta/ DKJ.

Kasusnya adalah pekerja yang sudah bekerja lama, tiba-tiba diminta mundur karena ada Peraturan Gubernur DKI Jakarta yang tiba-tiba mengatur soal ini. Dalam Pergub dijelaskan, atas dasar urgensi, maka tidak ada budget untuk sekretariat termasuk untuk pekerjanya.

Padahal selama ini ada banyak pekerja di kesekretariatan di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang sudah lama bekerja disana. Sebanyak 25 pekerja Dewan Kesenian Jakarta berpotensi kehilangan pekerjaan karena pemindahan Sekretariat DKJ sesuai Pergub DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2020 ini. Ini merupakan dampak dari pemindahan Sekretariat DKJ ke Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.

Detik.com menuliskan, kekhawatiran ini terjadi karena kedudukan Sekretariat DKJ akan pindah ke Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ TIM) mulai 1 Januari 2022 sesuai Pergub 4/2020. Sejak Pergub itu rilis, para pekerja DKJ tidak pernah diajak bicara mengenai kejelasan statusnya oleh Pemprov DKI Jakarta.

Kini para pekerja DKJ yang tergabung dalam Serikat Pekerja DKJ berafiliasi dengan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) menuntut agar Pemprov DKI memberikan kompensasi yang adil sesuai aturan yang berlaku. Melihat ketidakadilan yang disebabkan oleh langkah-langkah keputusan Dinas Kebudayaan di bawah pimpinan Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, maka 25 orang pekerja DKJ ini juga telah melaporkan permasalahan ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 6 Desember 2021

Ana Rosdianahangka, Wakil Ketua Serikat Pekerja Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mengatakan, mereka ditawari tawaran buruk, yaitu DKJ hanya memberikan 4 posisi yang akan tetap dipekerjakan sebagai pekerja tetap dan lainnya diminta melamar kembali untuk dikontrak dan sebagai pekerja honorer

“Karena tidak teratur jelas disitu lalu timbul pertanyaan karena 4 orang yang akan dipekerjakan, 21 orang gak jelas nasibnya. Mereka menawarkan tawaran buruk, hanya memberi 4 posisi, lalu 21 orang harus melamar lagi, ini para seniman muda dan sekretariat. Sejak Januari 2022 ini terus diperjuangkan. Jika sampai awal Februari 2022 kami tidak mengirim lamaran, maka kami tidak bisa lagi jadi pegawai.”

Pasalnya para pekerja ini sudah lama jadi pegawai DKJ, dan ternyata aturan ini tidak memberikan suara pada para pekerja.

Ana Rosdianahangka menyatakan bahwa serikat pekerjanya akan terus berjuang dan melakukan koreksi karena ini bagian yang harus diperjuangkan dalam ekosistem seni. Perjuangan ini dilakukan agak tidak terjadi perlakuan semena-mena pada pekerja seni seperti mereka

(Tulisan ini Merupakan Bagian Dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan Dari “VOICE”)  

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular