Apakabar Permendikbud Stop Kekerasan Seksual? 6 Bulan Disahkan, Tapi Kampus Masih Minim Implementasi

Sudah setengah tahun Permendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di kampus disahkan. Namun sampai kini, masih banyak kampus-kampus yang belum mengimplementasikannya. Ada kampus yang baru bulan lalu melakukan sosialisasi, ada juga kampus yang membentuk satgas penanganan kekerasan seksual, namun tidak mengikuti mekanisme Permendikbud.

Tersendatnya pengaplikasian Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021, menjadi babak baru perjuangan melawan kekerasan seksual di kampus. 

Seluruh kampus di Indonesia seharusnya bergerak cepat dalam mengambil langkah taktis dan strategis. Bukan saja hanya sebatas formalitas dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini.  

Dalam upaya mendesak pengimplementasian Permendikbud tersebut, Jaringan Muda Setara yang terdiri dari anak-anak muda di berbagai di kampus seluruh Indonesia mengadakan konferensi pers guna mengungkap berbagai permasalahan serta langkah konkret yang perlu segera dilakukan pada Senin (21/2/2022).

Eva Nurcahyani dari Jaringan Muda Setara menyatakan bahwa beberapa kampus sudah ada satgas, sudah ada Standar Operasional (SOP) stop kekerasan seksual namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan Permendikbud

“Masih banyak permasalahan implementasi Permendikbud. Sudah ada satgas, SOP, tapi tidak sesuai,” ujar Perwakilan Jaringan Muda Setara, Eva Nurcahyani mengawali Konferensi Pers yang disiarkan secara daring di Youtube BEM STH Indonesia Jentera pada Senin ini. 

Hadir belasan perwakilan jaringan muda dari berbagai kampus di Indonesia dalam konferensi pers tersebut. Salah satunya, Monalisa dari DaraLead, Universitas Mulawarman Samarinda. Dia mengatakan bahwa selama beberapa bulan sejak disahkannya Permendikbud PPKS, baru bulan lalu kampusnya merespons setelah adanya desakan-desakan dari para mahasiswa termasuk audiensi dengan rektorat. 

“Akhirnya Februari (2022) kemarin di akhir (bulan), kampus baru merespons terkait implementasi Permendikbud.. sebelumnya pihak kampus membentuk pansel (panitia seleksi) tersendiri cuma belum dipublikasi, itu menjadi satu kesalahan,” ujar Monalisa di konferensi pers daring. 

Di situasi ini, ia mengatakan pembentukan panitya persiapan yang dilakukan kampusnya pun, masih belum partisipatif dikarenakan hanya mencakup civitas akademik dari dosen. Selain itu, minimnya perspektif korban serta gender juga masih menjadi kendala di internal pansel itu. 

“Di akhir Februari lalu, baru dibuka civitas akademika menjadi pansel, ada 40 orang menjadi pansel. Ini perlu dikawal apakah pansel sudah sesuai komposisinya dan memastikan orang-orang yang ada di dalam pansel berperspektif korban,” tegasnya. 

Sementara itu, Aneu Damayanti dari GERPUAN, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjelaskan pihak kampusnya sebetulnya telah menerbitkan Peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini sebelum turunnya Permendikbud PPKS. Namun dalam praktiknya, kampus bisa dikatakan kurang responsif terhadap adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi. 

Hal itu terbukti dengan menyeruaknya kasus pemerkosaan dosen kepada beberapa mahasiswa yang belakangan santer diberitakan di Universitas Negeri Jakarta atau UNJ. Kampus sempat menerbitkan pers rilis pada 9 Desember 2021 untuk merespons hingga 14 Januari yang memberitahukan bahwa kampus telah membentuk satgas. Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut pemberitahuan proses yang terjadi. 

“Satgas belum responsif di UNJ,” katanya. 

Implementasi Masih Nihil dan Sederet Masalah Implementasi Lainnya

Dari penjelasan para jaringan muda kampus lainnya, setidaknya ada berbagai masalah terkait mendesaknya kampus dan pemerintah secara tegas harus segera mengambil tindakan. Tak hanya soal partisipatif yang belum optimal hingga kurangnya sosialisasi, namun bahkan ada kampus yang hingga saat ini masih tertinggal belum mengimplementasikan Permendikbud PPKS. Seperti yang terjadi di Universitas Muhammadiyah Tangerang. 

Serupa dengan itu, Di kampus UIN Jakarta pun belum adanya proses pembentukan panitia seleksi (Pansel) dan satuan tugas (Satgas) PPKS, belum ada upaya untuk menyusun peraturan anti kekerasan seksual tingkat kampus, belum ada sosialisasi pencegahan kekerasan seksual maupun pembuatan tanda peringatan larangan kekerasan seksual di kampus, dan sebagainya. 

“Aturan belum terdengar akrab di mahasiswa karena Permendikbud belum memberikan informasi, ada mis dosen dan mahasiswa. Meski respons bagus, tapi belum ada tindak lanjutnya, tidak ada SOP, korban pun bingung melapor,” kata Feby Nur Evitasari dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ada pula kondisi, beberapa kampus sudah mulai berupaya untuk mengimplementasikan Permen PPKS ini dengan beberapa modifikasi, contohnya: Kampus yang sudah memiliki crisis center sebelum terbitnya Permen PPKS kemudian menyesuaikan crisis center menjadi satgas PPKS tanpa melalui mekanisme Permen PPKS seperti di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. 

Di satu sisi, ada pula kampus yang dengan adanya proses pembentukan Satgas PPKS namun tidak mengikuti mekanisme Permen PPKS, tidak adanya upaya untuk melibatkan partisipasi mahasiswa dalam proses pembentukan Pansel dan Satgas PPKS, proses pengimplementasian Permen PPKS ‘tertahan’ di birokrasi kampus yang tidak memiliki perspektif keberpihakan pada korban, sehingga penerapannya menjadi nihil di lingkungan kampus. 

“Sampai saat ini, prosesnya terhambat karena ada pemilihan rektor baru dan pihak kampus belum menguasai substansi Permendikbud PPKS sehingga tidak sesuai dengan mekanisme,” ujar Arinda Widyani Putri dari Komite Anti KS, Universitas Hasanuddin Makassar.

Arinda berharap pihak kampus segera memberikan timeline pasti soal implementasi Permendikbud PPKS. Selain itu, juga harus adanya monitoring di kampus seluruh Indonesia terkait pencapaian proses pelaksanaannya. Sebab beberapa birokrat kampus bahkan masih beranggapan bahwa isu kekerasan seksual bukanlah isu prioritas kampus. Hal ini merupakan ‘tanda bahaya’, karena birokrat kampus merupakan salah satu aktor dalam proses mewujudkan kampus aman dan bebas kekerasan seksual. 

“Monitoring Permendikbud PPKS di kampus seluruh Indonesia sangat penting,” tegasnya. 

Sebagai bentuk dukungan sekaligus upaya dalam memastikan pengimplementasian Permen PPKS serta menghidupkan politik anti kekerasan seksual di setiap kampus, Jaringan Muda Setara dalam kesempatan tersebut pun meluncurkan Kanal Cerita Permen PPKS. Cerita terkait implementasi Permen PPKS ini bisa dikirimkan melalui email yangmudayangmelawan@gmail.com dengan format subjek: Cerita Permen PPKS – Nama Kampus. 

Melalui kanal ini, jaringan muda mengajak para mahasiswa untuk menceritakan perkembangan implementasi Permen PPKS di kampusnya. Cerita-cerita kampus yang masuk akan kami update setiap 2 minggu sebagai upaya mengawal ketat proses implementasi Permen PPKS di kampus masing-masing. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!