Sinta dan Sastra : Membongkar Penggambaran Perempuan yang Salah Kaprah Dalam Ramayana

Pembahasan tentang Ramayana sering hanya menekankan aksi heroik dari Rama dan luput memandang pasangannya, Sinta. Padahal perempuan seperti Sinta hidup dalam ruang-ruang yang hegemonik: harus menjadi perempuan yang sempurna, punya prinsip, namun hidupnya tetap dipilihkan oleh laki-laki

Jika kamu penggemar pewayangan Jawa, tentu kamu gak asing lagi dengan novel karya Sindhunata ‘Anak Bajang Menggiring Angin.’ 

Saduran kisah epos Ramayana versi wayang Jawa ini, mengisahkan perjuangan seorang suami ditemani bala wanara (kera) untuk menghancurkan kejahatan berbentuk sosok raksasa Rahwana yang telah menculik Sinta, istri Rama. 

Selama ini, barangkali kita lalu lalang saja menikmati jalan cerita Ramayana. Jalinan kisah itu, bahkan sering kita tuturkan berulang-ulang sekadarnya. Namun, pernahkah kita memikirkan bahwa ada penggambaran yang salah kaprah terlebih soal sudut pandang perempuan? Bahwa bicara soal Ramayana, seringnya hanya menekankan aksi heroik dari Rama? Namun, luput memandang seorang Sinta. Mari kita telisik soal ini.

Munculnya cerita wayang serta berbagai bentuk transformasinya pada karya sastra Indonesia intensif terlihat sejak tahun 70-an dengan terbitnya cerpen panjang karya Umar Kayam yakni Sri Sumarah, dan Danarto dengan cerpen Nostalgia yang bersumber pada lakon Abimanyu Gugur.

Muncul pula setelahnya, karya sastra seperti Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi, Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi karya Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto dengan Canting-nya, atau bahkan tulisan yang saling berangkat dari cerita wayang itu sendiri misal Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari dari Agus T. Wibisono yang juga menulis Balada Narasoma, dan Danarto yang juga menulis Asmaraloka.

Hal ini tentu menunjukkan betapa lekatnya budaya sastra dan pewayangan pada masyarakat sehingga berpengaruh serta menjadi sumber rujukan atau tulisan yang mewarnai sastra Indonesia.

Stigma Keperempuanan

Karya yang berangkat dari cerita wayang yang mempertahankan cerita asli, baik yang menyangkut cerita, plot, tokoh, pokok permasalahan, konflik, dan sarat akan nilai keperempuanan ini juga terdapat pada novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Di dalamnya dikisahkan tentang sosok Sinta sebagai perempuan yang sarat akan nilai feminin

Perempuan dalam konsep budaya Jawa sering disebut sebagai konco wingking dan garwa (sigaraning nyawa/belahan jiwa). Konsep Jawa ini seolah-olah membuat keberadaan perempuan jawa selalu menjadi yang dinomorduakan. Padahal keberadaan perempuan pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini direfleksikan seperti tokoh-tokoh perempuan dalam jagad pewayangan.

Sinta merupakan bukti bahwa perempuan mempunyai citranya sendiri yang lembut, tapi kukuh dalam mempertahankan keyakinannya. Shinta di satu sisi difigurkan secara ideal. Namun, di balik penggambarannya yang demikian, figur sosok ideal, Sinta mempunyai sebuah pesan dan membawa kegelisahannya kepada sesama perempuan, terutama di tempat ia ditumbuhkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antarbudaya. Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa.  

Menurut Indrawati, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. 

Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto, penulis buku “Kuasa Wanita Jawa” yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki- laki memiliki kedudukan yang istimewa. Perempuan Jawa juga diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). 

Dengan kata lain, Widyastuti yang mengutip Kusujiarti, mengatakan bahwa perempuan Jawa kemudian lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. 

Contoh hegemonik ini juga terlihat dalam perkawinan, ada istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. 

Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalau pun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.

Anomali perempuan Jawa kemudian terjadi: di satu sisi ia dianggap sebagai perempuan yang sempurna karena kecantikannya, sopan, keteguhannya sebagai perempuan yang dianggap prinsip, namun di sisi lain perempuan juga digambarkan sebagai orang yang tetap harus menurut apa kata laki-laki.  Hal ini berarti walau perempuan terlihat sempurna, namun di rumah tangga, ia tetap saja menjadi obyek yang dipilihkan pilihannya oleh laki-laki, pasangannya atau keluarganya. 

Perempuan tetap hidup dalam ruang-ruang yang hegemonik.

Uswah Hasanah

Mahasiswi ilmu sejarah yang doyan jalan-jalan dan nyari cuan. Traveler paruh waktu yang aktif bersuara untuk isu kaum marginal, lingkungan dan pendidikan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!