YLBHI: Kapan Negara Akan Hentikan Kesewenangan Atas Ruang Hidup Perempuan?

Ketidakadilan perempuan sering dipicu oleh ketidakhadiran dan kelalaian Negara. Negara yang saat ini dikuasai para oligarki menjadi rekan pengusaha dan perusahaan yang banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan. Negara membiarkan bahkan menjadi pelaku kekerasan yang dialami perempuan.

Hari perempuan Internasional atau International Women’s Day diperingati oleh perempuan di seluruh dunia setiap tanggal 8 Maret, dimaknai sebagai sebuah momentum untuk menuntut adanya perubahan, kesamaan dan keadilan bagi perempuan.

Dalam momen ini, YLBHI dan 17 Kantor LBH di 17 Provinsi mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan segala bentuk kesewenangan terhadap ruang hidup perempuan.

YLBHI dan 17 LBH kantor selama ini selalu mencoba untuk konsisten membantu perempuan-perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama, baik dari kacamata hukum, sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Ini diwujudkan dengan memberikan bantuan hukum bagi perempuan korban ketidakadilan, diskriminasi maupun pelanggaran HAM lainnya.

Selama mengadvokasi banyak kasus terkait hukum dan hak asasi manusia, terungkap bahwa perempuan sering menjadi korban dan paling merasakan dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terjadi akibat adanya ketimpangan pengetahuan, derajat sosial, minimnya akses, budaya patriarki dan juga opresi Negara.

Pada banyak kasus, ketidakadilan yang dialami perempuan sering terjadi karena Negara lalai, tidak hadir, membiarkan bahkan menjadi pelaku utama dalam praktek kekerasan yang dialami perempuan. Negara yang saat ini dikuasai para oligarki menjadi rekan pengusaha dan perusahaan yang banyak melakukan tindakan kesewenang-wenangan.

Mereka berwujud dalam kebijakan yang timpang seperti UU Cipta Kerja dan UU tentang Penanggulangan Bencana. Sementara UU yang berpihak pada perempuan seperti RUU TPKS, RUU Perlindungan PRT dan RUU Masyarakat Adat justru tak kunjung disahkan.

Perempuan dalam Konflik Agraria

Kekerasan terhadap perempuan dalam konflik-konflik agraria dan lingkungan belum dilihat sebagai persoalan yang krusial. Suara perempuan masih tersubordinasi dalam setiap proses pembangunan, padahal perempuan -khususnya perempuan adat- sangat berpotensi dalam menjaga serta melindungi keberlangsungan ekosistem alam.

Perempuan juga mengalami dampak berlipat akibat konflik dengan aparat saat mempertahankan hak atas tanah serta lingkungannya. Ini yang dialami warga Desa Wadas pada 23 April 2021 dan 8 Februari 2022 yang menimbulkan trauma mendalam. Belum selesai dengan traumanya sendiri, perempuan harus menjadi pihak yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya.

Belum lagi dampak ekonomi yang terjadi akibat kerusakan lingkungan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kesejahteraan perempuan. Perempuan di Desa Wadas dihadapkan pada situasi di mana mereka ditindas secara fisik, maupun psikis. Ruang geraknya dibatasi hanya karena mereka perempuan, seolah-olah mempertahankan alam dan lingkungannya bukanlah tugas mereka.

Padahal ada ikatan lebih dalam antara perempuan dengan alam. Perempuan lebih membutuhkan air untuk kebutuhan pangan, merawat anak dan mengurus tanaman serta hewan. Perempuan Wadas bekerja setiap harinya membuat anyaman besek yang bahan utamanya diambil dari bambu di hutan. Sehingga jika terjadi konflik pengambilan lahan oleh pemerintah, perempuan Wadas akan selalu berdiri paling depan menentang. Karena bagi mereka tanah yang ditinggalkan leluhur adalah kehidupan mereka, yang harus dirawat dan dijaga untuk diwariskan ke anak cucu.

Perempuan yang berada dalam pusaran konflik agraria merasakan dampak yang sangat besar. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, penggusuran yang dilakukan PTPN II di Desa Helvetia Kabupaten Deli Serdang mengakibatkan banyak korban perempuan yang kekurangan akses atas kesehatan dan tempat tinggal.

Kasus penggusuran paksa di Tamansari, Bandung juga memberikan dampak besar pada perempuan. Dalam catatan LBH Bandung penggusuran paksa yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun telah mengusir masyarakat miskin, mencerabut relasi sosial, mengubah ruang hidup dan mendesak perempuan ke industri hiburan dan jasa. Artinya, penggusuran paksa telah mengakibatkan feminisasi kerja atau memproletarkan perempuan.

Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

LBH Palembang mencatat bahwa alih fungsi hutan menjadi konsesi perusahaan skala besar dalam bentuk HTI, perkebunan dan pertambangan memicu berbagai dampak negatif dan mempengaruhi situasi sosial, ekonomi, budaya dan politik dan ini sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Perempuan seringkali menghadapi diskriminasi dalam birokrasi hukum formal maupun hukum adat karena budaya patriarki yang masih sangat kuat berkembang di Indonesia. Perkembangan globalisasi, degradasi lahan dan deforestasi juga akan berdampak buruk terhadap perempuan yang menjadikan hutan sebagai salah satu sumber kehidupan, contohnya dapat terlihat dengan kehadiran perkebunan skala besar yang telah menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lahan.

Situasi ini mengakibatkan banyak perempuan mengalami ketidakadilan, ketergantungan ekonomi dan terpinggirkan. Perempuan semakin terpinggirkan, kala tidak mendapatkan pengetahuan atau informasi terkait dengan situasi lahan yang terjadi di wilayahnya, mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap semua keputusan yang diambil oleh kelompok laki-laki maupun pemerintah desa.

Karenanya perempuan seringkali tidak dapat menyampaikan persoalan mereka terkait hak atas tanah dan pengelolaannya. Karena konstruksi itu, perempuan seringkali dilupakan dan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik di ranah keluarga, masyarakat, negara (baik di tingkat komunitas, tingkat daerah/pusat) yang merupakan salah satu ruang untuk membahas perencanaan, pemanfaatan, monitoring dan evaluasi dalam pembangunan.

Perempuan dalam Jerat Pinjaman Online

Sepanjang tahun 2021, LBH Jakarta menerima 252 pengaduan kasus pinjaman online dengan 278 pencari keadilan. Sebagian dari pengguna jasa pinjaman online tersebut adalah perempuan. Tidak sedikit dari mereka mengalami kekerasan berbasis gender online ketika proses penagihan.

Berbagai bentuk KBGO dihadapi oleh perempuan korban seperti penyebaran data pribadi termasuk foto dan/atau video milik korban, pengancaman, pelecehan verbal, dan sebagainya.

Tindakan-tindakan tersebut mengakibatkan dampak sosial, ekonomi dan psikologis yang tinggi bagi korban.

Korban mengalami trauma, kehilangan pekerjaan, mendapat stereotip buruk, perceraian hingga kehilangan nyawa (bunuh diri). Persoalan ini sebenarnya berakar dari rentannya kedudukan perempuan dalam masyarakat.

Perempuan yang diposisikan subordinat, dibebankan untuk mengurus urusan domestik dan merawat anak. Jika salah satu tugas domestik tidak memenuhi standar kepala keluarga, perempuan kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pada saat kondisi ekonomi memburuk seperti pandemi, pada akhirnya perempuan mengambil risiko dengan terlibat pinjaman online demi pemenuhan kebutuhan domestik, perawatan dan pendidikan anak.

Perempuan dalam Situasi Bencana

Saat ini, Perempuan-perempuan di pasaman, Sumatera Barat mengungsi menyelamatkan diri dari bencana alam yang merenggut pemukiman mereka. Beberapa hari sebelum bencana terjadi, warga yang sedang memperjuangkan tanah ulayat dari perusahaan yang menanam sawit di atasnya mencoba mengambil alih tanah tersebut dengan cara menanaminya dengan pohon pisang. Namun perusahaan mencabut tanaman tersebut. Saat ini, banjir melanda Pasaman karena alam yang dirusak perusahaan.

Berdasarkan data dari Pos Pengaduan Banjir dan CMS (Case Management System) LBH Jakarta tahun 2020-2021, tercatat 37 pengaduan terkait banjir di wilayah Jabodetabek. Dari pengaduan tersebut, sebagian korban adalah kelompok perempuan. Peran-peran domestik menuntut perempuan lebih banyak tinggal di rumah. Ketika banjir tiba, perempuan menjadi kelompok pertama yang harus menghadapinya.

Sementara di ruang publik, kelompok perempuan dipinggirkan, sulit mendapat akses informasi dan terlibat dalam advokasi kebencanaan. Belum lagi beban ganda yang diemban perempuan, hal ini menambah deret ketidakadilan. Kemudian potensi kekerasan yang dihadapi selama masa darurat bencana, terutama di pengungsian.

Ketika bencana terjadi, perempuan menghadapi dampak khusus seperti menurunnya kesehatan seksual dan reproduksi akibat minimnya air bersih.

LBH Jakarta mencatat berbagai kelemahan dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dari sisi perspektif gender. Pertama, prinsip keadilan dan kesetaraan gender tidak masuk sebagai asas dan prinsip penanggulangan bencana (lihat Pasal 3 ayat (1)). Kedua, tidak ada ketentuan yang mewajibkan perincian jumlah korban berdasarkan identitas gender dan usia untuk menjamin pemenuhan kebutuhan perempuan dan kelompok minoritas identitas gender dan orientasi seksual (lihat Pasal 7 ayat (2)). Ketiga, tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi perempuan.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!