5 Hal Yang Harus Kamu Ingat Dari Kartini: Surat-Surat dan Pemikirannya

Kartini (1879-1904) adalah perempuan, yang dengan berbagai cara melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia juga melawan tradisi ketika tak berpihak pada perempuan dan masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah.

Tahukah kamu, Kartini adalah penulis dimana pemikirannya mengalir jauh hingga kini? Ada lima (5) hal yang menarik yang bisa kamu pelajari dari Kartini lewat tulisan-tulisannya:

1.Kartini tidak hanya menulis surat tapi juga menuliskan esai dan artikel  lainnya

Salah satu yang cukup diakui adalah tulisan esai dengan tajuk  Handschrift Japara (Tulisan Tangan Jepara). Tulisan tersebut dibuat Kartini sebagai pengantar dalam sebuah Pameran Nasional di Den Haag, Belanda (1898), tulisan itu menulis tentang proses pembuatan batik. Tulisan ini mendapat perhatian dari masyarakat Belanda dan kemudian dimuat sebagai pedoman tentang batik dalam buku De Batikunst in Nederlandsch en hare Geschiedenis (1899). Ada beberapa karya tulis lainnya yang juga diperbincangkan, namun sayang sekali sampai hari ini belum pernah bisa dibuktikan keotentikannya.

2.Kartini menuliskan gagasan, ide, serta berbagai pemikirannya melalui surat menyurat pada lebih dari 10 orang belanda sepanjang tahun 1899-1902

Teman korespondensi Kartini jumlahnya tidak sedikit dan menunjukkan betapa produktifnya Kartini. Para sahabat pena Kartini itu dari kelompok sosialis, feminis, maupun para tokoh politik. Beberapa nama yang tercatat  dan sering disebut adalah Mevrouw Ovink-Soer – seorang sosialis dan feminis dan istri dari Asisten Residen NEI yang menulis untuk majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie, lalu ada seorang feminis radikal Belanda, Estelle H. Zeehandelaar (Stella), kemudian J. H. Abendanon, Direktur Pendidikan, Industri, dan Agama di Jawa, serta Rosita Abendanon-Mandri (istri Abendanon).

3.Kartini menuliskan berbagai gagasan melalui suratnya dalam usia 20an, dengan cara yang luar biasa “radikal” pada masa itu.

Hal ini terutama jika dilihat bahwa Kartini adalah  kategori perempuan Jawa yang dibesarkan dalam tradisi feodal yang sangat ketat. Gagasannya tentang persamaan hak perempuan, tentang pendidikan, tentang budaya Jawa, dan juga agama, menjadi inti dari berbagai tulisan Kartini. Sehingga tidak aneh ketika kemudian 106 surat yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon untuk dijadikan buku bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911), mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di Belanda hingga berbagai kota Eropa lainnya.

4.Frasa yang digunakan dalam bahasa Belanda yang digunakan oleh Kartini dalam menulis surat menunjukkan kemampuan bahasanya yang luar biasa

Kartini mampu secara tepat menggambarkan bagaimana situasi yang terjadi di tanah Jawa, baik dari sisi sosial dan politik. Pembicaraan atas surat Kartini yang dibukukan dalam bahasa Belanda ini kemudian membuat penerbit London, Duckworth & Co, menerbitkannya dalam bahasa Inggris. Judul bukunya adalah Letters of Javanese Princess (by Raden Adjeng Kartini). Buku ini pun banyak mendapatkan berbagai ulasan, termasuk ada dua penulis artikel jurnal yang mengulasnya dengan sangat cerdas setelah 40 tahun lebih diterbitkan. Kedua penulis itu yakni; Robert Van Niel  dalam jurnal The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 3 (May, 1965), pp. 530-531. Serta Wittermans, E. P. (1966) dalam jurnal American Anthropologist, 68(1), 281–283.

5.Memahami tulisan Kartini memberikan gambaran tentang bagaimana ide dan gagasan Kartini tentang kebangsaan, keberagaman, dan persamaan sebagai cita-cita yang harus diperjuangkan

Meski kita juga tahu buku yang diterbitkan Abendanon tidak seluruhnya menampilkan surat-surat Kartini, namun tidak begitu saja memuat tulisan Kartini apa adanya. Sudah ada proses seleksi dan editing demi berbagai kepentingan Abendanon. Termasuk ketidak berhasilan Abendanon meminta ke 25 surat Kartini yang ada pada Stella. Stella hanya menyerahkan 11 surat Kartini  pada Abendanon. Demikian juga dalam karya buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” versi Armjn Pane yang diterbitkan tahun 1938, hanya menyertakan 87 surat Kartini. Pada proses seleksi, editing dan alih bahasa inilah, tentu kita memahami tidak semua gagasan itu bisa tersampaikan dengan utuh.

Pada akhirnya membaca berbagai tulisan Kartini makin membuka keyakinan kita bahwa Kartini adalah penulis yang hasil tulisannya mengalir jauh hingga kini. Ini mungkin kata yang tepat untuk Kartini: seorang manusia yang dengan sangat kuat dan indahnya menuliskan segara rasa, ide, gagasan, dan perjuangannya.

Kartini, perempuan penulis yang mencatatkan sejarahnya ketika ia menuliskan segala pikiran dan gagasannya. Ini juga yang harus dilakukan terus oleh perempuan, menuliskan segala ide dan gagasan sebagai bagian dan perjuangan dan sumbangan untuk perubahan.

(Tulisan pernah dimuat di Konde 21 April 2021)

Lestari Nurhajati

Dosen dan Researcher Komunikasi London School of Public Relations (LSPR) Communication & Business Institute. Memantau Pemilu di Afghanistan pada 2009 dan 2014
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!