Dear Para Orangtua, Stop Kenalkan Warna Pink Untuk Perempuan dan Biru Untuk Laki-Laki

Mengenalkan warna pink hanya pada anak perempuan dan warna biru hanya pada anak laki-laki terbukti telah menimbulkan bias-bias yang terjadi pada anak-anak sampai mereka dewasa.

Sejak dalam kandungan, laki-laki sudah disiapkan oleh orangtua mereka untuk menyukai warna biru dan perempuan warna pink. Pembedaan itu mulai dari kartu ucapan selamat sudah lahir ke bumi, pakaian hingga kamar bayi yang dipersiapkan.

Media feminis Amerika, Ms Magazine menuliskan kritik soal ini, tepatnya ketika ada sebuah kartu ucapan untuk bayi yang dimuat di sebuah media. Bayi laki-laki ketika lahir mendapatkan kartu berwarna biru dengan ucapan: brillian baby boy, sedangkan bayi perempuan mendapatkan kartu ucapan berwarna pink dengan ucapan: beautifull girl. Ms Magazine mengkritisi mengapa bayi laki-laki selalu diberikan label biru dan bayi perempuan dengan label warna pink?

Benarkah stereotype tentang laki-laki pintar dan perempuan cantik ini sudah diciptakan sejak bayi masih berada dalam kandungan, di mana orangtua sudah mulai mempersiapkan warna dan mengidentifikasi bayinya sejak saat itu? Lalu jika si bayi laki-laki tidak pintar dan si bayi perempuan tidak cantik, maka hidupnya akan celaka?

Pembedaan karakteristik ini jelas sangat bias. Kedekatan laki-laki dengan warna biru dan perempuan dengan warna pink sebenarnya sangat mudah dibantah karena pada pertengahan abad ke-19, warna biru justru diasosiasikan untuk perempuan dan warna pink untuk laki-laki. Hal ini menandakan bahwa sifat konstruksi gender sangat cair, tidak saklek dan dapat berubah sewaktu-waktu.

Orang tua juga sebenarnya sangat mungkin dapat mendekatkan anak pada apapun macam warna, karena jika dilihat lebih jauh, warna bukanlah sekedar elemen yang mempercantik tampilan benda-benda. Lebih dalam, warna juga memiliki arti dan makna yang dapat diadopsi oleh anak. Misal, warna sejuk memiliki pemaknaan lembut hati dan penyayang. 

Bukan dihindarkan jauh-jauh, warna ini justru dapat diperkenalkan pada anak laki-laki dengan cara memilihkan warna pink pada benda-benda atau mainan yang ia gunakan agar ia dapat mengadopsi nilai-nilai lembut hati dan penyayang. Sebaliknya, warna biru dimaknai sebagai kepercayaan dan tanggung jawab, orang tua dapat lebih mendekatkan anak perempuan kepada warna ini agar anak dapat mengadopsi nilai kepercayaan dan tanggung jawab yang diasosiasikan pada warna biru. Intinya, semua bisa dipertukarkan dan dipelajari

Selain warna-warna, ada juga konstruksi yang menstigmakan laki-laki yang dekat dengan permainan yang menggunakan fisik dan logika seperti bola, mobil-mobilan, catur, dan lain sebagainya. Sedangkan perempuan yang didekatkan dengan permainan masak-masakan, boneka, rumah-rumahan, dan pelbagai permainan bertema kegiatan domestik

Dalam hal ini, orang tua dapat mengenalkan anak-anak dengan berbagai macam jenis kegiatan domestik maupun publik. Baik anak laki-laki maupun perempuan dapat dikenalkan dengan kedua jenis pekerjaan tersebut. Selain bermain bola dan mobil mobilan, anak laki-laki juga sangat dapat diperkenalkan dengan permainan masak-masakan atau boneka.

Hal ini berguna supaya ketika ia tumbuh dewasa, ia tidak hanya menganggap bahwa pekerjaan domestik semata-mata tanggung jawab perempuan, tetapi ia juga memiliki kewajiban dalam membantu pekerjaan di rumah. 

Bias ketiga yang sering terjadi yaitu,  laki-laki tidak boleh menangis dan perempuan harus selalu berperilaku lembut?. Pada 2016 WHO (world health organization) mencatat angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 3.4/100.000 penduduk, laki-laki (4,8/100.000 penduduk) lebih tinggi dibanding perempuan (2,0/100.000 penduduk). Salah satu hal yang banyak dituding memberikan sumbangsih terhadap angka bunuh diri laki-laki adalah bias gender pada poin ketiga ini. 

Di masyarakat kita, laki-laki lebih banyak dituntut untuk menjadi lebih tegas, lebih kuat, tidak cengeng dan tuntutan-tuntutan lain yang serupa. Sayangnya, secara tidak langsung tuntutan ini membawa anak laki-laki pada pribadi yang lebih tertutup, susah mengungkapkan bahasa kasih, hingga susah menumpahkan emosi sedih seperti menangis. Dampak yang lebih lanjut adalah ketidakstabilan kondisi mental dan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi ialah adanya kasus-kasus bunuh diri seperti angka-angka yang sudah tercatat sebelumnya. 

Di luar laki-laki dan perempuan, ada pilihan gender yang berbeda yang ini harus didiskusikan sejak dini sebagai bagian dari upaya agar anak-anak tidak terkotak-kotak sejak kecil

Untuk mengikis hal-hal tersebut, orang tua dapat lebih terbuka terkait memberikan ungkapan kasih sayang, belajar mendengarkan apa yang menjadi pendapat anak, hingga memvalidasi perasaannya agar anak laki-laki pun bisa mengungkapkan emosi yang ia rasakan dan tidak berusaha untuk selalu memendamnya.

Sebaliknya, anak perempuan lebih dituntut untuk menjadi pribadi yang selalu berperilaku lembut atau tidak banyak tingkah. Padahal bisa jadi tuntutan tersebut dapat membatasi kreativitas dan minat bakat seorang anak. Tidak mengherankan juga apabila ranah pekerjaan publik di bidang teknik atau otomotif misalnya, masih sangat timpang didominasi oleh laki-laki. Dalam hal ini, ruang bebas dapat diberikan kepada anak perempuan supaya ia dapat memilih dengan cara apa ia ingin mengungkapkan ekspresi, emosi, minat bakat atau kreativitas apapun yang ingin ia luapkan tanpa terhalang sekat untuk selalu berpenampilan lembut sekalipun.

Selain yang sudah dibahas tadi, tentu masih banyak sekali bias gender yang masih harus dikikis sedikit demi sedikit. Saya yakin, peran asuh orang tua terhadap anak seharusnya tidak dapat dibatasi oleh stereotype gender yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Saya yakin, para orang tua tentu akan jauh lebih bijak terkait memilih pola edukasi yang akan diberikan kepada sang anak. Saya belum menjadi orang tua saat ini, tentu apa yang saya tulis sekarang bukan berdasarkan pengalaman saya dalam mengasuh anak secara langsung.

Akan tetapi ini semua berasal dari pergumulan pemikiran saya selama menjadi anak dari orang tua saya, yang menurut saya ini dapat dilakukan oleh orang tua saya lebih awal  ketika dulu saya masih cukup kecil, masih cukup mudah untuk menerima nilai-nilai sosialisasi yang akan ditanamkan pada diri saya. Saya menulis ini dengan harapan diri saya di masa depan dapat membaca ulang tulisan ini dan bisa belajar dari apa yang saya tulis, demikian juga dengan para pembaca.

Luluk Istiarohmi

Pemerhati masalah sosial dan kesetaraan gender.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!