Diming-Imingi Gaji Tinggi: 17 Anak Perempuan Jadi Korban Perdagangan Orang

17 anak perempuan di Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau human trafficking, kasus ini diadvokasi oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK-F). Sebanyak 4 saksi korban melarikan diri. Sudah 9 bulan diperjuangkan, kasus belum menemukan titik terang

Sebanyak 17 anak perempuan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski sudah berjalan 9 bulan, penanganan kasus ini masih belum menemukan titik terang. Advokasi sudah dilakukan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK-F) bersama Jaringan HAM Sikka sejak bulan Juni 2021, namun hingga kini baru satu dari tiga terduga pelaku yang diproses secara hukum. Sedangkan dua terduga pelaku lainnya masih melenggang bebas.

Polisi beralasan, proses hukum terhadap 2 terduga pelaku belum bisa dilakukan karena alat bukti masih kurang. Pasalnya, 4 korban yang merupakan saksi kunci dari peristiwa ini melarikan diri dan tidak diketahui keberadaannya. Para aktivis mengadvokasi ke Jakarta karena tidak yakin kepolisian di NTT bisa menyelesaikannya.

Di Jakarta, aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK-F) yang mengadvokasi kasus ini, melakukan audiensi dengan pemerintah, DPR, lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Mabes Polri dan ke Komnas Perempuan.

Dalam pengaduan yang diterima Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 17 anak perempuan yang menjadi korban trafficking ini dipekerjakan di 4 Tempat Hiburan Malam di Maumere, Sikka, NTT.

Ke 17 anak perempuan ditemukan dalam razia yang dilakukan Polda NTT pada 14 Juni 2021. Mereka lantas dititipkan di Shelter Santa Monica TRUK-F untuk diberikan pendampingan. Namun pada 27 Juni 2022, 4 di antaranya hilang secara misterius.

Suster Fransiska Imakulata, pendamping korban dari TRUK-F dan Jaringan HAM Sikka yakin bahwa kasus ini adalah bentuk TPPO dan diduga kuat ada jaringan di balik kasus ini. Peristiwa ini sudah dilaporkan TRUK-F kepada pihak Polda NTT dan Polres Sikka namun hingga saat ini keempat anak tersebut belum ditemukan.

Perjuangan Kasus di NTT

Sejak awal, berbagai upaya telah dilakukan oleh TRUK dan Jaringan HAM Sikka. Mulai dari bersurat, meminta audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Sikka maupun aparat penegak hukum di Sikka.

Aksi damai juga dilakukan, antara lain di Polres Sikka, Kajari Sikka, DPRD Sikka dan Bupati Sikka dengan tuntutan agar kasus ini segera dituntaskan. Dan 4 anak yang telah melarikan diri dari Shelter St Monika dicari dan ditemukan, serta sindikat perdagangan orang dibongkar.

Hingga kini, baru satu dari tiga terduga pelaku, yakni R yang merupakan pemilik Pub Bintang dan Sasari yang diproses hukum. Dan saat ini masih dalam tahap penyelidikan, meski sudah berbulan berlalu.

“Awalnya penerapan hukumnya juga tidak jelas. Menurut kami ini sudah masuk TPPO, tetapi yang digunakan adalah UU Perlindungan Anak dan UU Ketenagakerjaan. Namun setelah kami melakukan aksi damai pada 2-3 November, diumumkan bahwa ini ditangani dengan UU no 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO meski tidak disebutkan dengan pasti pasal berapa,” terang Fransiska.

Sedangkan dua terduga pelaku lainnya yaitu pemilik Pub Libra (satu Korban) dan pemilik PUB 999 (Triple Nine) 3 korban sama sekali belum tersentuh hukum. Mereka masih melenggang bebas dan bisa leluasa membuka PUB-nya. 

Alasan yang dikemukakan Polisi adalah, proses hukum terhadap kedua pemilik PUB ini belum bisa dilakukan karena masih kurang alat bukti. Hilangnya 4 korban sebagai saksi kunci disebut sebagai penyebab utama. Diduga, ada peran pihak luar terkait hilangnya 4 orang saksi ini. 

“Situasi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Polda NTT dan Polres Sikka terkesan tidak mampu atau kurang termotivasi untuk menangani kasus ini hingga tuntas,” ujar suster Fransiska Imacullata saat membacakan pernyataan bersama TRUK dan Jaringan HAM, pada Rabu (30/3/2022) yang dilakukan secara daring.

Menurut Fransiska, pelaku menyasar perempuan muda dari Jawa Barat dengan pendidikan rendah dan berasal dari keluarga menengah bawah. Para korban diiming-imingi pekerjaan di Sikka dengan gaji tinggi. 

Untuk berangkat para korban tidak ditarik biaya dan pemberangkatan dibiayai pelaku. Namun belakangan biaya ini dibebankan sebagai utang yang harus dibayar oleh para korban.

“Kami melihat ada pola yang terbentuk dalam kasus ini, bahwa pelaku ini menyasar anak-anak yang broken home, pelaku juga merekrut yang minim pendidikannya, perekrut juga menyasar keluarga yang secara ekonomi minim atau tak mampu. Sedangkan modusnya anak-anak dikasih iming-iming untuk bekerja dapatkan uang. Anak-anak ini diberangkatkan, dipekerjakan pada 4 pub.”

Perjuangan di Tingkat Nasional: Pemerintah dan Polri diminta ambil alih

Dengan kondisi ini, TRUK-F dan Jaringan HAM di Sikka memutuskan untuk melakukan advokasi ke tingkat nasional. Mereka mendesak Mabes Polri sebagai institusi Kepolisian tertinggi dapat terlibat aktif dengan mengambil alih penanganan kasus ini.

Tim advokasi juga meminta Komisi III DPR sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia dapat memantau dan mengawasi kinerja pihak Aparat Penegak Hukum/ APH dalam menuntaskan kasus TPPO pada 17 anak ini, terutama atas 4 anak yang melarikan diri dari Shelter Santa Monika yang berhubungan langsung dengan terduga pelaku yakni, Pemilik PUB Libra dan Pemilik PUB 999 (triple Nine).

Pada 21 Maret lalu, Tim advokasi berangkat ke Jakarta. Sehari kemudian, Tim menemui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kepada Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar yang menerima mereka, Tim menanyakan pendampingan yang dilakukan LPSK terhadap para korban.

Dalam pertemuan itu, Livia menjelaskan, saat ini 7 dari 17 anak telah mendapat perlindungan dari LPSK. Sedangkan 10 anak  lainnya menolak, karena tidak disetujui oleh kedua orang tua/keluarga. Dari 7 anak, ada 3 anak yang dapat menghadiri sidang online yang difasilitasi oleh LPSK.

“Sayangnya ke 7 anak tersebut tidak mendapat pemenuhan hak restitusi karena kurang memahami dengan baik apa itu restitusi dan mereka berada dalam tekanan pelaku,” imbuh Fransiska.

Dengan difasilitasi LPSK, Tim Advokasi bertemu dengan pihak Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak/ PPPA, yang terlibat dalam proses pendampingan dan rehabilitasi ke 13 anak. Dari pihak Kementerian PPPA yang turun ke Sikka pada awal kasus ini adalah Asdep perlindungan Anak Robert Sitinjak.

Tim melakukan juga menemui Kasubdit V Dittipidum Bareskrim Mabes Polri Kombespol Enggar Pareanom, dan meminta Mabes Polri mengambil alih kasus TPPO pada 4 anak yang saat ini masih dalam pencarian. Polisi diminta membongkar sindikat perdagangan orang di Sikka dan menumpas hingga akar permasalahan mengingat human trafficking di NTT cukup tinggi.

“Mabes Polri berjanji akan melakukan asistensi ke NTT dan akan mengawal, membackup kasus ini agar kasus ini dapat diselesaikan,” terang Fransiska.

Tim Advokasi juga menemui pimpinan Komisi III DPR, dan meminta melakukan pengawasan dalam penegakan hukum kasus 17 anak ini dengan bermitra dengan Mabes Polri agar kasus ini dituntaskan.

Para aktivis meminta agar sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan, memberikan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja Polres Sikka dan Polda NTT terkait kasus ini.

Usai bertemu DPR Tim melakukan audiens dengan Komnas Perempuan, agar turut mengawal dan akan memfasilitasi untuk dapat melakukan konferensi pers dengan melibatkan jurnalis di tingkat nasional dan local.

“Kami berharap sindikat TPPO anak ini dapat dibongkar dan menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan perdagangan orang di NTT yang selama ini terkesan tidak tuntas. Kami akan tetap mem-followup langkah-langkah yang dilakukan pihak-pihak yang telah kami datangi,” imbuh Doti, salah satu aktivis.

Ditambahkan, dibutuhkan kerja sama semua pihak baik itu lembaga-lembaga Negara, Jaringan LSM serta Media, dengan caranya masing-masing mendukung dan pengawal proses penanganan kasus ini oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga penindakan.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!