Hendrika Mayora: 2 Tahun Perjalanan Transpuan Jadi Pejabat Publik di Indonesia

Hendrika Mayora adalah transpuan pertama yang menjadi pejabat publik di Indonesia. Bagaimana pengalamannya setelah 2 tahun jadi pejabat publik di Indonesia? Dalam wawancara khusus dengan Konde.co, Hendrika mengatakan: “saya berpikir ini adalah kesempatan yang baik. Sebagai kelompok minoritas berada di luar sistem itu tidak akan didengar ya, saya berpikir ini mungkin sudah saatnya saya berada di dalam sistem, supaya bisa menyuarakan apa yang menjadi hak dan kebutuhan kami.”

Dua tahun sudah transpuan, Hendrika Mayora Victoria, atau akrab disapa Bunda Mayora, menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Hendrika Mayora adalah transpuan pertama yang menjadi pejabat publik di Indonesia. Lewat pemungutan suara yang melibatkan ratusan penduduk desa Habi, ia terpilih menjadi wakil ketua BPD. Selama dua tahun menjabat, transpuan yang sejak lama aktif di berbagai kegiatan kemanusiaan dan advokasi bagi kelompok marjinal ini mengaku perjuangannya lebih mudah dilakukan ketimbang saat dia berada di luar struktur.

Apa saja kisahnya, berikut cuplikan perbincangan khusus Konde.co dengan Hendrika Mayora, yang dilakukan di Serpong pada Minggu (20/3/2022) lalu.

Setelah dua tahun masuk dalam struktur pemerintahan, perubahan apa yang dirasakan?

Saya bisa lebih leluasa memberikan bantuan, kelompok yang saya jangkau juga lebih luas. Terutama perjuangan kami bagi kelompok rentan, seperti janda, lansia, kelompok dengan ragam gender dan seksualitas, itu kami bersyukur kami bisa melakukan advokasi dengan lebih baik. Terutama saat pandemi ini, kami sebagai BPD bisa memperjuangkannya.

Dalam hal ini, misalnya, penerima Bantuan Langsung Tunai/ BLT dan Bantuan Sosial Tunai/ BST itu kami perjuangkan agar mereka mendapatkan. Dan itu, mereka yang berhak harus mendapatkan. Jika ada yang belum dapat, kita pertanyakan itu alasannya apa. Dengan menjadi pimpinan BPD saya menjadi tahu, informasi apa yang belum didapatkan dan kenapa.

Misalnya seperti apa?

Misalnya, kenapa kartu identitas atau KTP tidak ada. Atau misalnya keterangan domisilinya berbeda, kita bisa segera menghubungi RT/RW atau pihak berwenang lainnya untuk bisa segera ditangani.

Oh ini warga saya, dia tidak punya ini dan harus kita tolong. Kenapa? Karena fungsi saya adalah sebagai fungsi control, mengontrol pelaksanaan pemerintah desa.

Jadi saya bersyukur, selama dua tahun ini saya bisa memastikan seluruh warga Desa Habi bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Kemudian, kalau ada bencana alam seperti tahun lalu, ada rumah warga yang kita bedah. Saya dengan komunitas saya membantu satu ibu yang disabilitas, anaknya juga disabilitas, mereka punya rumah kami bantu bersama pemerintah.

Tetapi kami sebagai kelompok transpuan yang minoritas, juga saya sebagai ketua BPD, kami berperan aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Kami membantu dalam bedah rumah, juga bantuan sembako. Karena kita tahu, BLT itu memang sangat membantu, tetapi datangnya tidak setiap bulan, tapi kadang-kadang 3-4 bulan sekali, tergantung datangnya dana dari pusat.

Jadi sebagai Ketua BPD sekaligus ketua kelompok minoritas gender yang namanya Fajar Sikka, itu saya gerakkan teman-teman saya untuk bagaimana kita membantu masyarakat yang terdampak Covid-19.

Jadi setelah terpilih menjadi Ketua BPD saya tetap melakukan hal-hal baik yang telah saya lakukan sebelumnya.  Saya ingin menunjukkan kepada masyarakat, ini loh kualitas hidup sebagai orang yang hidup dalam keberagaman, sebagai anggota masyarakat.

Jadi saya ajak teman-teman transpuan untuk mensupport para janda, lansia dan tidak sedikit warga desa Habi yang bisa kami tolong.

Bagaimana penerimaan masyarakat setempat?

Saya lahir dan besar di Maumere, umur 6 bulan dibawa orang tua ke Merauke, Papua. Saya lebih banyak di Papua dan menghabiskan masa dewasa di Yogyakarta. Tetapi 2018 itu, seperti sudah diatur semesta, saya kembali ke Maumere bukan Merauke meski sebagian besar keluarga saya ada di sana.

Ternyata di Maumere saya menemukan sesuatu yang berbeda yang membuat saya harus bertahan di Maumere. Kenapa, karena ternyata keluarga dari bapak dan mama itu sulit untuk menerima. Tetapi, usaha saya untuk mendamaikan diri saya dan keluarga saya itu berhasil. Ketika mereka menolak, saya tetap bertemu mereka, ketika mereka susah, saya datang dan saya tidak tinggal diam.

Jadi saya datang dan bekerja (membantu, red). Saat ada kematian saya juga datang membantu. Itu hal-hal baik yang saya lakukan, dan ternyata prosesnya dengan inklusi dan pertemuan.

Satu-satunya jalan itu adalah perjumpaan, ketika mungkin seseorang menolak, tetapi ketika mereka berjumpa, berdialog dan berbagi informasi. Ini loh saya, bukan saya yang membuat-buat, bukan saya yang meminta. Saya juga merasa ini tidak pantas, saya juga sudah berusaha tapi saya tidak bisa.

Tapi akhirnya saya bersyukur, ini adalah bagian dari diri saya yang harus saya terima. Kalau kalian menolak saya, berarti kalian menolak mama saya, ayah saya atau bahkan menolak Tuhan.

Pelan-pelan edukasi itu saya berikan, dan mereka melihat biar dia waria atau transpuan, tetapi dia bisa melakukan hal baik untuk mereka. Seperti misalnya saya mengajar di sekolah Minggu dan pendidikan seni lainnya, dan itu dilakukan dengan baik. Dan puji Tuhan, masyarakat bisa menerima saya, keluarga bisa menerima saya dan pelan-pelan saya bisa berekspresi dengan bebas.

Pergi ke gereja bisa aman, bisa membantu masyarakat. Awal-awal saya sebagai kader Posyandu, kemudian pelan-pelan saya menjadi WPA yang secara sukarela membantu anak-anak yang mau tes HIV dan sebagainya. Saya juga aktif membantu di berbagai kegiatan di desa.  

Dari situ masyarakat mulai melihat saya, dan ketika ada pemilihan BPD, mereka yang mengusulkan saya untuk ikut mewakili dusun saya. Kemudian saya berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang baik. Sebagai kelompok minoritas berada di luar sistem itu tidak akan didengar ya, saya berpikir ini mungkin sudah saatnya saya berada di dalam sistem, supaya bisa menyuarakan apa yang menjadi hak dan kebutuhan kami.

Apalagi BPD memiliki peran yang krusial dalam pengawasan fungsi budgeting, legislasi dalam membuat Peraturan Desa/ Perdes dan sebagainya.

Akhirnya saya menyatakan siap, dan menunjukkan KTP dan identitas saya. Meski di KTP saya tetap menggunakan nama asli, mereka tetap menerima dan menyapa saya dengan Bunda Mayora.

Masyarakat melihat diri saya, kemampuan saya sebagai seorang yang memiliki kapasitas dan kemampuan Sehingga akhirnya saya terpilih mulai dari proses penjaringan dan pemungutan suara. Jadi saya terpilih melalui voting, mengungguli lima calon lainnya, satu perempuan dan empat laki-laki.   

Bunda Mayora (Kaos kuning) mendampingi warga melakukan kegiatan.

Jadi masyarakat tidak mempermasalahkan identitas gender Anda?

Puji Tuhan, saya mengatakan dari gerakan inklusi, perbuatan baik dan kasih dari kelompok saya bisa, dan perjumpaan-perjumpaan bisa menghasilkan hal yang baik. Solidaritas dan keterbukaan menghasilkan hasil yang baik Sehingga masyarakat percaya saya punya kemampuan untuk menduduki jabatan BPD mewakili mereka.

Dan itu saya buktikan dengan kerja, saya bersyukur di desa saya itu ada RTnya perempuan, ada kepala-dusunnya perempuan. Karena keterlibatan perempuan itu penting. Misalnya kebijakan desa yang menyangkut stunting, desa ramah anak itu harus ada keterlibatan perempuan.

Dan, kami nanti akan ada program desa sadar hukum. Jadi perempuan akan dilatih untuk lebih sadar hukum. Juga akan ada pemberdayaan perempuan, walau kemudian terhambat karena adanya wabah Covid-19. Jadi dalam banyak hal perempuan harus dilibatkan, karena mereka yang paling terdampak sekaligus menjadi garda paling depan.

Perubahan yang paling dirasakan?

Bisa saya katakan benar ada perubahan. Saat Covid-19 itu saya memastikan, kalau dulu janda itu jarang diperhatikan, dengan adanya saya di BPD saya bisa memastikan para janda sebagai kelompok rentan harus diperhatikan, Juga kelompok Lansia. Saya pastikan Program Keluarga Harapan/ PKH penerima BST dan BLT itu betul-betul memenuhi kriteria. Maka selama dua tahun saya di BPD, karena saya juga punya gerakan agar semua masyarakat yang membutuhkan bantuan dapat mengakses bantuan tersebut.    

Dengan masuk BPD suara Anda lebih didengar?

Ya suara saya bisa lebih didengar, karena saya di sini relasi kuasa itu kadang penting. Kita punya jabatan itu penting. Makanya dari awal itu saya berpikir, kalau saya masuk BPD meskipun saya seorang transgender, kalau saya sudah di depan dan sudah bicara saya bisa mempengaruhi pengambilan kebijakan itu. Saya ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan. Makanya saya bersyukur ada di sana.   

Untuk tahun ini saya ingin menggolkan dua usulan. Salah satunya adalah ketahanan pertanian. Maka dari itu saya akan membentuk satu kelompok tani yang sudah lama tidak mendapatkan bantuan, kami support mereka sekitar Rp30 juta untuk membuka lahan pertanian. Lahan itu akan memberdayakan mereka dan memperkuat ketahanan pangan mereka. Kelompok taninya sedang dipersiapkan dan lahannya saya bantu advokasi di 2022 ini. Yang ini mungkin tidak terwujud jika saya tidak duduk di BPD.

Rencana ke depan?

Saat ini saya sedang merancang beberapa Perdes, seperti Perdes Tata Ruang Desa, Perdes Hukum Adat, Perdes Ruang Belajar, Perdes Perempuan Sadar Hukum. Yang menjadi inisiatif saya saat ini adalah bagaimana kita bisa punya Perdes tentang keberagaman.

Karena Desa Habi sudah plural, tidak hanya warga asli Maumere saja, tetapi juga dari desa lain dan suku lain, selain juga ada keragaman gender dan seksualitas. Ada juga suku Bugis dan Makassar, ada orang dari Toraja, Bima, Alor atau Sabu. Karena itu saya punya inisiatif untuk membuat Perdes Keberagaman.

Apa yang ingin dicapai dengan Perdes ini?

Saya ingin Desa Habi menjadi contoh yang bisa merangkul semua yang ada di dalamnya. Saya ingin desa ini nggak ada diskriminasi, untuk semua kelompok bisa hidup dengan aman tanpa diskriminasi. Kenapa, karena sudah saatnya kelompok minoritas menyuarakan perdamaian dan perjuangan kesetaraan.

Juga saya ingin katakan, ini bisa menjadi awal untuk menghilangkan radikalisme dan intoleran. Mengapa, karena masyarakat desa itu sangat mudah terpengaruh oleh berita tidak benar atau hoaks. Maka menjadi tugas kita, bagaimana kita menjadi inisiator untuk keberagaman, perdamaian dan kesetaraan. Maka yang ingin saya golkan, semua orang bisa hidup berdampingan tanpa diskriminasi. Tidak ada pembedaan minoritas dan mayoritas.

Saya berharap, Maumere mulai dari Desa Habi, bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia. Bahwa ini loh Desa Habi punya kekuatan keberagaman.

Respon masyarakat atas Perdes ini?

Saya melihat masyarakat merespon dengan baik, karena posisinya di desa kami bukan hanya warga local tapi sudah beragam. Jadi tidak ada penolakan, tetapi kita tetap harus melalui proses dan saya sangat berharap Perdes ini bisa segera disahkan karena masih banyak Perdes-perdes lain yang dibutuhkan masyarakat.

Mengapa Perdes Keberagaman ini perlu didahulukan, karena Desa Habi semakin plural. Sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik maka dibutuhkan Perdes ini. Jadi ini lebih untuk pencegahan.

Demikian juga Perdes Tata Ruang juga harus disiapkan dari sekarang. Besok luas kalau masyarakat sudah membangun, sementara Desa belum punya rencana tata ruang apalagi membangun infrastruktur jalan.

Kalau dari pribadi bunda?

Saya sebagai transgender yang duduk di BPD, orang akan melihat bahwa kapasitas lah yang akan berbicara. Karena saya sadar betul, diskriminasi dan stigma terhadap kelompok transgender masih sangat kuat.

Tapi saya mengajak teman-teman untuk tidak menyerah, karena banyak teman-teman yang trans itu seringnya mengalah ketika Negara tidak hadir untuk mereka. Tetapi karena saya dari kelompok minoritas, kita punya keprihatinan, kita merasakan bahwa kita punya hak dan punya tanggung-jawab, maka saya ingin bantu mereka.

Makanya saya bersyukur, karena saya juga mendirikan komunitas Fajar Sikka untuk membantu advokasi dan menyuarakan hak-hak teman-teman Trans. Salah satu program kita yang berhasil adalah KTP yang sudah berlangsung sejak 2020. Dari sini ingin saya sampaikan, ketika komunitas yang bergerak, kita akan bergerak dengan hati. Ketimbang orang-orang yang mempunyai misi di balik itu.

Anda puas dengan apa yang dicapai saat ini ?

Saya punya kebahagiaan jika warga saya bahagia. Saya punya gaji itu 3-4 bulan baru terima, dan itu tidak saya pakai sendiri. Ada beberapa lansia yang saya support sembako. Bahkan ada anak sekolah yang butuh bantuan uang sekolah saya bantu mereka untuk uang sekolah. Dan saya bersyukur ketika saya memberi, berkat itu akan membantu saya terus menerus.

Saya juga bersyukur dengan kemampuan yang diberikan Tuhan saya Sehingga saya bisa membantu orang lain. Apakah itu dengan menjadi MC, memasak atau pekerjaan lainnya. Jadi bagi saya menjadi transgender itu adalah paket lengkap untuk saya.

Anda akan menjabat hingga 2026, apa yang menjadi perhatian Anda?

Sampai saat ini yang bisa saya lakukan adalah menjaga kepercayaan masyarakat. Saya berharap bisa mengawal uang rakyat agar tetap manfaat dan tepat sasaran. Kalaupun masih ada yang menganggap aneh, ya nggak masalah karena mereka belum selesai.

Itu tidak akan membuat saya marah, karena itu proses ya. Ketika saya proses menerima diri saya sendiri juga lama. Masyarakat ketika menemukan hal yang baru itu mereka berproses juga, tetapi dari pengalaman saya di Desa Habi itu tidak terlalu lama.

Saya juga mengajak warga untuk sadar akan perubahan iklim, bahwa alam atau iklim sudah tidak bersahabat. Kami sekarang lebih sering merasakan badai atau kemarau berkepanjangan.

Itu sudah kami pikirkan di komunitas Fajar Sikka, kami support masyarakat dengan memberikan bantuan bibit. Di saat musim hujan mereka bisa menanam pepaya, kemudian mereka yang tinggal di pesisir saat kemarau kita bantu dengan bibit sayur, bibit pisang. Untuk apa? Saya juga ingin kalau ada bibit mangga yang bagus bisa kasih bantu masyarakat, untuk apa? Itu untuk ketahanan pangan.

Ada keinginan menapaki posisi yang lebih tinggi?

Untuk saat ini saya mengalir saja, menjalani apa yang yang harus kerjakan saat ini. Memang ada yang mendorong untuk maju menjadi Kepala Desa atau pun anggota DPR di 2024, tapi saya belum berpikir ke sana.

Saya mengalir saja, kita kan tidak tahu akan ke mana. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang pasti saat ini kita tidak bisa jalan sendiri, sudah saatnya kita berinklusi dengan membuat perjumpaan-perjumpaan dan membangun sikap terbuka.

Terbuka untuk semua orang dan semua golongan, bahwa bhineka tunggal ika bukan hanya semboyan tetapi harus menjadi sikap dan perbuatan yang nyata. Kita didik anak-anak kita untuk semakin mencintai keberagaman, damai dan menghormati perbedaan.

Terkhusus untuk teman-teman minoritas gender yang paling terdampak. Kami tidak asal hadir, menurut saya semua yang hadir di dunia adalah bagian dari rencana semesta. Kami menjadi waria ataupun translaki bukan kami yang meminta. Kami terlahir dengan kondisi seperti ini, makanya mari saling menghormati karena kualitas hidup masing-masing sudah ditentukan Tuhan.  

(Foto; Facebook dan dokumen pribadi)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!