Jadi Kartini Masa Kini? Berani Bermimpi dan Tentukan Hidup Sendiri

Tidak perlu memperdebatkan perempuan yang memilih untuk berkarir, tidak perlu memperdebatkan perempuan ketika ia memilih untuk tidak menikah, tidak perlu memperdebatkan perempuan ketika ia bercita-cita melanjutkan pendidikannya. Dari Kartini, kita belajar bahwa hidup harus diperjuangkan.

Siapa yang tak kenal dengan Kartini yang lekat dengan semboyan dan buku-bukunya yang menukik tajam dan menginspirasi “habis gelap terbitlah terang”?

Kartini adalah pejuang emansipasi perempuan yang saat itu sangat gelisah hidupnya karena pada zamannya ia banyak melihat perempuan yang tinggal di sekitarnya mengalami ketidakadilan dan keseweang-wenangan, dicap sebagai manusia kelas dua yang berada di bawah kuasa laki-laki.

Perempuan tidak boleh bersekolah, kakaknya Kartono boleh sekolah, sedangkan Kartini tidak. Perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan setiap keputusan, itu yang terjadi pada Kartini. Perempuan juga tidak boleh ikut-ikut politik, perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, perempuan tak boleh memutuskan dengan siapa menikah dan memutuskan tubuhnya sendiri. Itu semua terjadi pada Kartini.

Di masa berikutnya, persoalan ini terus muncul seperti perempuan hanya boleh menanggung seluruh pekerjaan domestik dan diperalat unuk menghasilkan keturunan sebanyak-banyaknya, juga perempuan tidak punya kendali penuh atas tubuhnya. Hingga pada akhirnya budaya-budaya patriarki dan paradigma itu terus dilanggengkan dan mengakar semakin kuat di lingkungan masyarakat. Cara pandang itu terus dibenarkan oleh generasi ke generasi, yang pada akhirnya membuat perempuan hidup dalam bayangan stigma-stigma yang mencederai perempuan.

Dampak dari budaya patriarki ini dari masa-masa sangat merugikan perempuan dari berbagai aspek baik pendidikan, kesehatan, politik, sosial kemasyarakatan maupun persoalan individu. Belum lagi perempuan sering kali mendapatkan komentar berbau seksis  seperti  “ngapain sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga di dapur” atau “perempuan lebih baik jadi ibu rumah tangga daripada kerja”.

Perempuan tidak bisa bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri, ia terperangkap dalam stigma-stigma yang ada. Perempuan juga merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan dan termarginalkan di lingkungan kerja. Apa yang diharapkan perempuan masa kini? apalagi kalau bukan keadilan dan kesetaraan, kebebasan untuk memilih menentukan hidupnya sendiri, kebebasan bersuara dan ruang gerak yang aman bagi perempuan.

Di masa sekarang, dimana perkembangan zaman dan teknologi melaju dengan sangat pesat, kita perlu mengingat kembali sejarah perjalanan panjang Kartini dalam pergerakannya memperjuangkan perempuan. Kini kartini terus bereformasi dalam jiwa-jiwa setiap insan perempuan, banyak perempuan yang telah melangkah maju dan bergerak setara dengan laki-laki.

Kehadiran perempuan bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi juga menciptakan inovasi-inovasi dan berkontribusi sesuai dengan bidang kemampuannya. Perempuan mempunyai hak untuk memilih, berbagai pekerjaan yang dahulu didominasi oleh laki-laki di geluti oleh perempuan. Jadi persoalannya bukan karena perempuan tak bisa, namun tidak ada akses dan kesempatan

Kini perempuan tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi belajar, kini perempuan tidak perlu malu ketika mempunyai mimpi. Semua orang harus menyadari bahwa perempuan mempunyai peran yang sangat penting. Budaya serta pemikiran lama dan stigma negatif yang melekat pada perempuan harus dihapuskan. Tidak perlu memperdebatkan perempuan yang memilih untuk berkarir, tidak perlu memperdebatkan perempuan ketika ia memilih untuk tidak menikah, tidak perlu memperdebatkan perempuan ketika ia bercita-cita melanjutkan pendidikannya. Tidak perlu takut ketika perempuan memimpin suatu diskusi, tidak perlu takut saat perempuan menuntut hak nya.

Seperti kata Kartini dalam buku habis gelap terbitlah terang. “Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya”.

Kebutuhan pengetahuan dan pendidikan yang dahulu hanya untuk laki-laki, kini sudah berganti menjadi pendidikan untuk semua, tidak ada lagi narasi mengenai pendidikan hanya untuk gender tertentu saja, keadilan mengenai kesetaraan gender perlu kita jemput serta perjuangkan bersama-sama untuk kehidupan bangsa

Amanda acelia

Kini masih mengenyam pendidikan disalah satu perguruan tinggi swasta di bilangan Tangerang Selatan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Memiliki kegemaran membaca novel yang bergenre roman sejarah dan fiksi. Kini lagi sedang belajar mengenai isu perempuan dan feminisme
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!