Dari balkon DPR, para aktivis perempuan bersama Komnas Perempuan memantau jalannya rapat Panja.
Ruangan balkon terlihat penuh karena banyak yang hadir, tentu saja selain memperjuangkan RUU ini, juga ingin menjadi saksi sejarah bagaimana RUU kekerasan seksual akan disahkan di Indonesia setelah banyaknya korban kekerasan seksual yang tak kunjung berhenti hingga kini.
5 hari ini memang merupakan hari yang melelahkan bagi Ratna Batara Munti, Vivi Widyawati, Khotimun, Ernawati, Ema Mukarramah dan sejumlah aktivis lain yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK). Tiap hari mereka harus mengikuti rapat Panja yang digelar DPR bersama pemerintah. Yang harusnya selesai dalam waktu 4 hari, menjadi 6 hari.
Di ruangan informasi parlemen bawah, Ernawati bersama Lucia Wenehen dan Ajeng, menyiapkan bahan-bahan yang hendak disoundingkan untuk DPR dan pemerintah. Mereka menyulap ruang informasi parlemen menjadi ruang untuk konsolidasi pengesahan RUU TPKS.
Rapat Panitya Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) DPR RI memang dilakukan secara marathon bersama pemerintah sejak 28 Maret hingga 2 April 2022.
Sidang pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah yang seharusnya selesai pada Kamis, 31 Maret 2022 diperpanjang hingga Sabtu, 2 April 2022
Setelah Sabtu hari ini, 2 April 2022 atau setelah rapat Panja selesai, DIM akan digodok oleh tim perumus yang direncanakan dilakukan Senin, 4 April 2022. Setelah itu rencananya selanjutnya akan dibahas dalam rapat paripurna Selasa, 5 April 2022 agar disetujui untuk disahkan
Panitia Kerja RUU TPKS DPR RI dipimpin Willy Aditya, bersama tim pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, menyepakati sejumlah substansi penting selama rapat Panja
Rapat Panja yang dipantau Konde.co di Gedung DPR RI ini membahas DIM sebanyak 588 pasal.
Awalnya ada sejumlah persoalan yang meresahkan para aktivis perempuan ketika dimasukkannya pasal aborsi sebagai perilaku kekerasan seksual, dan tak adanya pasal yang mengatur lembaga pengawasan independen. Namun pasal aborsi sudah berhasil dihapuskan.
Malah di tahap selanjutnya, pembahasan DIM secara umum berjalan progresif dan mengakomodir usulan penanganan kekerasan seksual, seperti publik akan mendapatkan pencegahan, penanganan hingga pemulihan dalam RUU ini dengan korban juga mendapatkan restitusi dan rehabilitasi.
Apa saja pasal-pasal progresif dalam RUU TPKS ini?
Pasal-Pasal Progresif dalam RUU TPKS
Secara khusus, sejumlah pasal progresif ini sudah terekam sejak rapat Panja 30 Maret- 1 April 2022:
1.Pasal aborsi telah dihapuskan
Aborsi tidak tepat jika dianggap sebagai kekerasan seksual. Aborsi adalah suatu proses terhentinya kehamilan atau pengosongan (evakuasi) isi rahim baik secara alamiah maupun dengan menggunakan tindakan (induksi aborsi). Induksi aborsi yang aman sesuai dengan Badan Kesehatan Dunia, WHO terdiri dari 2 metode yaitu medikamentosa/obat-obatan atau dengan cara operatif (aspirasi vakum manual). Dalam pembahasan rapat, akhirnya pasal ini berhasil dihapuskan
2.Dua pasal baru stop kekerasan seksual
Ditambahkannya 2 bentuk kekerasan seksual dalam RUU ini dinilai progresif, yakni perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan. Pemaksaan perkawinan seperti terdapat dalam pasal 81 adalah ketika ada perbuatan memaksa orang lain untuk menggunakan alat kontrasepsi . Sedangkan perbudakan seksual ini bisa dilakukan oleh korporasi yang tertulis dalam RUU seperti Terdapat dalam pasal 88.
3.Dimasukannya pasal tentang korporasi sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual.
Korporasi bisa melakukan tindak pidana kekerasan seksual, ini tertulis dalam pasal 130. Hal ini juga termasuk pembayaran restitusi oleh korporasi selaku pelaku kekerasan seksual kepada korban yang tidak dibatasi oleh persyaratan minimal pidana penjara
4. Pasal tentang pendamping korban yang diakui dalam undang-undang meliputi:
a. Pendamping Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
b. Petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA)
c. Tenaga kesehatan
d. Psikolog
e. Pekerja sosial
f. Tenaga kesejahteraan sosial
g. Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal
h. Lembaga penyedia layanan
i. Pendamping lain, termasuk pendamping komunitas
5. Restitusi adalah hak korban yang harus dibayarkan pelaku
Pada RUU TPKS diusulkan diatur tentang bahwa setiap pelaku tindak pidana kekerasan seksual wajib membayar restitusi pada korban, dan restitusi ini bukan sebagai pidana tambahan, namun bersifat wajib.
Jadi hakim yang mengadili perkara kekerasan seksual wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Konsep ini lebih maju daripada konsep sebelumnya di RUU yang diusulkan oleh DPR yang berbunyi bahwa restitusi diberikan sebagai pidana tambahan. Kini, restitusi masuk sebagai hak yang harus diberikan pada korban
6.Unit Pelayanan Terpadu
Dalam rapat Panja 1 April 2022, disepakati tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu pusat dan daerah yang terdapat pada pasal 459. Dalam pasal tersebut disebutkan pelayanan ini sifatnya terpadu dalam hal penanganan, perlindungan dan pemulihan yang di pusat dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Anak dan dikoordinasikan bersama semua kementerian terkait
Aktivis Perempuan: Pembahasan Progresif dan Beberapa Usulan
Dari sejumlah pasal progresif tersebut, aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK) yang ditemui Konde.co menyatakan, dari awal pembahasan, RUU ini memang sangat dinamis dan banyak mengalami capaian.
Walau masih ada beberapa yang diperjuangkan lagi, namun saat ini sudah terdapat 7 bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya hanya ada 5 bentuk kekerasan seksual
“Yang dulu 5 pasal, sekarang sudah ada tambahan 2 pasal baru, yaitu pasal perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan, ini sebuah capaian yang progresif,” kata Vivi Widyawati
Vivi berharap, setelah rapat Panja selesai Sabtu, 2 April 2022, tim perumus bisa lebih dalam pembahasannya, yakni memperbanyak pembahasan dan jangan terburu-buru, karena DPR menargetkan bahwa RUU ini akan disahkan oleh Presiden pada 21 April 2022 di hari Kartini.
Para aktivis berharap, jangan terlalu terburu-buru karena RUU TPKS adalah hukum pidana khusus yang beban muatan hukum materil dan formilnya cukup banyak. Seharusnya pembahasan jangan tergesa-gesa, sehingga bisa lebih eksploratif, lebih cermat, menjangkau kompleksitas kasus kekerasan seksual (KS) dan rumusannya bisa menjawab persoalan di lapangan
Khotimun dari LBH APIK juga menyatakan hal senada, bahwa pembahasan dalam Panja ini berjalan progresif dan berpihak pada korban.
Maka untuk selanjutnya Khotimun mengusulkan soal keberadaan layanan berbasis masyarakat sebagai hal yang krusial untuk dibahas. Selama ini layanan berbasis masyarakat ini dilakukan di banyak daerah dimana ini dilakukan secara swadaya, dimana mereka banyak dibutuhkan di daerah-daerah untuk menjangkau perempuan korban kekerasan seksual
“Pendampingan berbasis masyarakat ini perlu dirumuskan mengingat selama ini pendamping berbasil masyarakat merupakan pihak yang bekerja melakukan pendampingan korban secara swadaya, salah satunya yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan/ FPL.”
Ratna Batara Munti juga mengapresiasi proses pembahasan yang berlangsung kondusif dan pencapaian hasilnya
Namun Ratna Batara Munti menyatakan, bahwa mereka masih mengusulan soal rumusan eksploitasi seksual dan pelecehan seksual berbasis elektronik dimasukkan dalam RUU serta memasukkan pemaksaan aborsi dalam tindak pidana
Ditegaskan oleh Ratna, pemaksaan aborsi merupakan kekerasan seksual, tetapi bukan aborsinya itu sendiri. Menurutnya, perempuan dengan kondisi tertentu, seperti korban perkosaan ataupun menderita penyakit yang mematikan, berhak mengakses aborsi yang aman dan ini telah diatur dalam UU Kesehatan.
Beberapa hal lain yang perlu didorong perbaikannya, misalnya pengaturan hukum acara yang belum sepenuhnya mencerminkan layanan terpadu dan terintegrasi, khususnya menjawab gap antara kepentingan penegakan hukum di satu sisi, dengan kepentingan pemulihan disisi lain.
Konsep layanan terpadu yang diharapkan idealnya bisa menjawab gap antar layanan yang selama ini jalan sendiri-sendiri. Keterpaduan layanan harusnya tercermin dalam hukum acara sejak pelaporan.
Lalu yang lain, setiap korban berhak atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, namun dalam pasal masih membatasi pendampingan hanya pada proses peradilan, padahal faktanya, tidak semua korban memproses laporannya ke jalur hukum pidana.
“Kita tidak bisa abaikan eksisnya pluralisme hukum di Indonesia. Selain itu dalam penyelesaian bentuk lain, korban tetap perlu di dampingi untuk memastikan hak-hak nya terpenuhi. Pendampingan adalah hak korban, apapun bentuk penyelesaiannya.”
Ratna Batara Munti berharap, pembahasan dalam Panja ini bisa menjawab masalah-masalah yang selama ini diperjuangkan dalam penanganan hingga pemulihan korban.
(Foto: Anis Hidayah)