Ketemu Mas Menteri: Mahasiswa Frustasi Karena Dosen Pelaku Pelecehan Seksual di UNRI Divonis Bebas

Pasca Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan pelaku pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI), mahasiswa kemudian ke Jakarta menemui Mendiknas Ristek, Nadiem Makarim di Jakarta. Nadiem menegaskan, pihaknya akan serius mendukung penyintas dalam memperjuangkan keadilan.

Putusan bebas Pengadilan Negeri Pekanbaru terhadap dosen yang menjadi terduga pelaku pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI), Syafri Harto diprotes banyak pihak. Putusan ini seperti tidak sesuai dengan semangat diundangkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Berbagai gerakan untuk menolak putusan bebas dosen pelaku pelecehan seksual ini terus dilakukan. Tak hanya pengajuan kasasi atas vonis bebas eks Dekan oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, para mahasiswa juga melakukan audiensi bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada Kamis, 14 April 2022. 

Kepada Konde, Tim Advokasi KOMAHI FISIP UNRI, Muhammad Farhan menceritakan pertemuan itu sebagai bentuk “kepasrahan” dalam menghadapi kasus pelecehan seksual yang dialami seorang mahasiswi korban usai vonis bebas eks Dekan. Menurut mereka, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari proses peradilan di Pekanbaru yang tidak adil bagi korban. 

“Kami ke Jakarta untuk mengadu dan menceritakan hal-hal di Pekanbaru salah satunya bertemu Pak Nadiem. Itu juga atas dasar permintaan penyintas yang ingin sekali bertemu Pak Nadiem,” ujar Farhan ketika dihubungi Konde.co.

Menyambut kedatangan penyintas dan tim pendamping, Farhan melanjutkan, Menteri Nadiem menyambut antusias dan yang terpenting, mau mendengarkan cerita penyintas termasuk permasalahan dalam advokasi yang dialaminya kini. Nadiem menegaskan, pihaknya akan serius mendukung penyintas dalam memperjuangkan keadilan. 

Beberapa hasil pertemuan itu juga mendesak agar Kemendikbud mengeluarkan hasil rekomendasi yang telah disampaikan oleh Satgas PPKS UNRI. Menyoal itu, Farhan bilang, kini Kemendikbud sedang melakukan proses pembentukan tim investigasi terkait hasil satgas. 

“Kemendikbud itu akan secepatnya menyusun tim investigasi dan mengeluarkan bentuk arahan (kepada Rektor UNRI) yang akan dilaksanakan,” ujar Farhan. 

Dalam pertemuan itu, Nadiem menegaskan komitmen penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan memberikan dukungan moril kepada penyintas. Nadiem lantas mengapresiasi penyintas beserta tim pendamping yang terus berani bersuara dan berjuang, meski tak mudah.

“Saya sangat berempati atas insiden yang terjadi. Semoga korban bisa terus menjaga semangat dan kami berdiri di belakang korban dalam perjuangannya,” kata Nadiem dalam rilis resmi Kemendikbud, Kamis (14/4/2022).  

Kemendikbud Ristek mengatakan pihaknya juga bakal terus mengedepankan kebijakan-kebijakan yang bersifat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di seluruh tingkat satuan pendidikan. Di samping intoleransi dan perundungan, Nadiem menyadari kekerasan seksual merupakan salah satu dari “Tiga Dosa Besar Pendidikan” yang dampaknya dapat mengakibatkan trauma jangka panjang dan memberikan pengaruh buruk terhadap keberlanjutan hidup korban. 

Maka dari itu, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 diharapkan bisa menjadi wujud nyata dari upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Poin terpenting dalam Permendikbud Ristek itu adalah keberpihakan kepada korban. Sehingga korban mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk memproses kasusnya serta mendapatkan pemulihan.

“Saat ini Kemendikbud Ristek akan memproses pemeriksaan berdasarkan rekomendasi satgas UNRI untuk diberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku. Kita meminta Pak Rektor untuk memastikan  hak-hak korban dapat terpenuhi dan mendapatkan perlindungan dari stigma dan tekanan, mengingat putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap sampai saat ini, sehingga suasana pembelajaran tetap kondusif bagi seluruh warga kampus sehingga mereka dapat menyelesaikan studinya dengan optimal,” kata Nadiem.

Audiensi Antar Lembaga Awasi Tindak lanjut Kasus

Tak hanya pertemuan dengan Menteri Nadiem, penyintas bersama tim pendamping, juga sempat melakukan audiensi beberapa lembaga sehari sebelumnya, Selasa (13/4/2022). KOMAHI melaksanakan audiensi dan rapat koordinasi terbatas dengan KemenPPPA, Komisi Kejaksaan RI, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Yudisial RI. 

Audiensi tersebut diadakan di gedung KemenPPPA, Jakarta. Tujuannya, sebagai desakan tindak lanjut penyelesaian kasus kekerasan seksual di Universitas Riau serta permohonan penanganan lanjutan kepada lembaga-lembaga terkait. Adapun poin-poin hasil audiensi tersebut di antaranya: Lembaga-lembaga tersebut akan melakukan pengawasan penuh pada proses kasasi di Mahkamah Agung (MA), pelaporan Hakim kepada Komisi Yudisial RI. 

Tak kalah penting, audiensi itu juga menegaskan permintaan pendampingan penuh pada pemulihan psikologis korban dan laporan dan pengaduan lengkap oleh KOMAHI terhadap kondisi yang terjadi selama di lapangan selama prosesnya.

Menyoal tindak lanjut pihak UNRI atas hasil pertemuan dengan Menteri Nadiem dan audiensi beberapa lembaga itu, Farhan mengungkap sampai saat ini pihak kampus maupun fakultas belum memberikan tanggapan resmi. Termasuk tindakan yang diberikan kepada SH, inisial eks Dekan. 

“Belum ada, itu yang kita kecewakan dari pihak kampus. Semenjak ada putusan vonis bebas itu tidak ada sama sekali (tanggapan) pihak kampus maupun fakultas,” kata Farhan yang selama ini menjadi tim pendamping korban itu. 

Sampai berita ini ditayangkan, Wakil Rektor II UNRI, Sujianto, juga belum memberikan respons ataupun penjelasan apapun kepada Konde.co menyoal langkah konkret pihak UNRI dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual eks Dekan-nya itu. 

Petisi hingga Kasasi: Perjuangan Terjal Penyintas Dapat Keadilan 

Majelis Hakim PN Pekanbaru telah menjatuhkan putusan bebas kepada Terdakwa SH, Dekan Non-Aktif Sementara FISIP UNRI, atas tindak pidana pencabulan yang didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum, Rabu, 30 Maret 2022.

Perjuangan penyintas bersama tim pendamping dalam kasus itu, memang tak bisa dibilang mudah. Berbagai upaya telah diupayakan baik jalur hukum (litigasi) maupun non-hukum (non-litigasi). Sebelum audiensi yang dilakukan, pasca vonis bebas kepada eks Dekan, Komahi misalnya bergerak cepat untuk menggalang dukungan lewat petisi yang disiarkan di sosial media Instagram mereka per 7 April 2022. 

Pada petisi kerjasama dengan Changeorg_id, Komahi mendorong Jaksa Penuntut Umum ajukan kasasi ke MA. Tujuannya, agar terduga pelaku kekerasan seksual tidak bebas. Selain itu, Komahi juga mendesak pentingnya negara punya aturan hukum lebih kuat agar bisa memberi keadilan ke korban. Mahasiswa di KOMAHI UNRI bilang, jika hakim sudah mengecewakan korban. 

“Hari ini kita tahu bahwa pengadilan bukanlah tempat bagi penyintas kekerasan seksual untuk mencari keadilan,” tulis petisi yang kini telah ditandatangani oleh lebih dari 47 ribu orang itu. 

Tak hanya dari publik, dukungan untuk penyintas atas  atas Putusan Kasus Kekerasan Seksual di Universitas Riau oleh PN Pekanbaru juga digalakkan dari berbagai lembaga hingga gerakan masyarakat sipil seperti ICJR, IJRS, PUSKAPA, Aliansi Kampus Aman dan KOMPAKS. Intinya menyebut, putusan Hakim telah mengabaikan KUHP, KUHAP dan Perma 3/2017. Sehingga, putusan ini bisa berdampak buruk bagi pendidikan dan kelangsungan hidup korban. 

Mereka memberikan beberapa catatan utamanya terkait dengan ketiadaan alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya pelecehan seksual terhadap Korban. Alat bukti yang diajukan untuk memperkuat dilakukannya pelecehan oleh Terdakwa adalah alat bukti surat pemeriksaan korban dan juga keterangan ahli yakni Psikiater. Kedua alat bukti ini, seharusnya sudah dapat mendukung keterangan saksi Korban atas peristiwa yang terjadi terhadapnya. Namun, nihil dilakukan. 

“Pasal 185 ayat (3) menyatakan bahwa satu orang saksi sudah cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah apabila disertakan alat bukti lainnya, dalam hal ini ada alat bukti surat dan ahli. Dengan demikian ketentuan Pasal 183 KUHAP tentang syarat 2 (dua) alat bukti yang sah telah terpenuhi,” tulis rilis bersama mereka yang diterima Konde.co. 

Selanjutnya, Berkaitan dengan ketiadaan saksi yang mengetahui secara langsung kejadian. Majelis Hakim di dalam perkara ini, menurut mereka telah gagal memahami sifat utama dari kekerasan seksual yakni mayoritas terjadi di ruang tertutup tanpa adanya saksi sama sekali. 

Dalam kasus ini, Majelis Hakim dengan jelas telah mengabaikan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tertuang di dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Berdasarkan Pedoman ini, Hakim diharapkan dapat memeriksa kasus dengan menggunakan analisis gender dan tidak menghadirkan narasi stereotip-stereotip gender yang melingkupi suatu kasus.

Berkaitan dengan relasi kuasa yang disampaikan Majelis Hakim, mereka juga menganggap Majelis Hakim gagal memaknainya sebagai kekerasan dan ancaman kekerasan. Padahal, dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa merupakan salah satu faktor utama yang hampir selalu ada. 

“Relasi kuasa ini, harus digali dengan hati-hati oleh hakim melalui analisis gender, yang diharapkan dilakukan berdasarkan Pasal 6 Perma 3/2017. Sayangnya, Majelis Hakim menurut mereka malah bersikap acuh,” kata mereka. 

Berkenaan itu, setidaknya ada 3 rekomendasi yang mereka sampaikan yaitu mendorong adanya kasasi, Majelis Hakim di tingkat kasasi untuk dapat memperbaiki kesalahan penilaian fakta di dalam perkara ini dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa secara proporsional hingga Rektorat FISIP UNRI untuk dapat mendorong kejelasan mekanisme etik untuk menyelesaikan kasus ini dan tidak terpengaruh dengan putusan PN Pekanbaru. 

“Dikarenakan tidak terbuktinya kasus ini di dalam sistem peradilan pidana karena pendapat hakim soal kurang alat bukti tidak serta merta menjadi dasar tidak adanya perbuatan cabul. Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan Korban,” pungkasnya. 

(Sumber Foto: Instagram KOMAHI UR)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!