MA Tolak Uji Materi Permendikbud Kekerasan Seksual, Kemendikbudristek: Terima Kasih

Kemendikbudristek menyampaikan terima kasihnya kepada seluruh sivitas akademika se-Indonesia dan berbagai lembaga masyarakat sipil dan komunitas yang telah mendukung melalui gerakan maupun amicus curiae agar Permendikbudristek PPKS tidak dibatalkan.

Mahkamah Agung (MA) resmi menolak gugatan uji materiil atau Judicial Review (JR) yang diajukan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Keputusan MA menolak uji materi tersebut diambil pada Kamis (14/4/2022) oleh Hakim Mahkamah Agung Yodi Martono Wahyudi, Hakim Is Sudaryono, dan Hakim Supandi.

Keputusan ini mendapat apresiasi dan ditanggapi positif oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dalam pernyataannya yang dilansir di laman resmi Kemdikbud.go.id pada Senin (18/4/2022) Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan, Permendikbud PPKS hadir sebagai solusi atas berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

“Kita (pemerintah) bersyukur, berdasarkan info yang termuat pada website kepaniteraan MA yang kami terima, bahwa MA telah menolak permohonan hak uji materill (judicial review) terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Saat ini kami menunggu rilis putusan dimaksud dari MA,” terang Chatarina dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/4/2022).

Permendikbud PPKS ini dinilai sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual dan upaya penguatan sistem penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban. Kehadiran Permendikbud ini juga demi terwujudnya lingkungan kampus yang aman bagi seluruh sivitas akademika. Menurut Chatarina, lahirnya Permendikbudristek PPKS adalah momentum untuk menyatukan langkah untuk melindungi warga pendidikan tinggi dari ancaman kekerasan seksual yang merusak masa depan.

“Saya mewakili Kemendikbudristek menyampaikan banyak terima kasih kepada sivitas akademika se-Indonesia serta berbagai lembaga masyarakat sipil dan komunitas yang telah mendukung melalui gerakan maupun amicus curiae agar Permendikbudristek PPKS tidak dibatalkan,” imbuhnya.

Meski ditentang oleh sebagian kalangan, Permendikbud PPKS yang dirilis pada September 2021 ini bisa dikatakan mendapat sambutan positif oleh publik karena dinilai mampu mengisi kekosongan hukum terkait penanganan kekerasan seksual.

Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2022, 92 persen responden yang mengetahui tentang Permendikbudristek PPKS mendukung keberadaan peraturan tersebut.

Pro Kontra

Seperti diketahui, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat mengajukan gugatan berupa JR kepada MA pada Rabu (2/3/2022). Gugatan ini tercatat di MA dengan Nomor Perkara 34 P/HUM/2022.

Dalam gugatannya, LKAAM meminta MA untuk meninjau kembali penerbitan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS, terutama Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang mencantumkan frasa “tanpa persetujuan korban” dan “tidak disetujui korban”.

Frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban”  ini ditafsirkan pemohon sebagai pintu yang membuka terjadinya perzinahan di lingkungan perguruan tinggi.  

Namun uji materi ini disoal sejumlah kalangan, seperti Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Aktivis HAM.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan penolakan MA merupakan wujud penegasan Negara untuk menyediakan ruang aman, khususnya rasa aman dan bebas dari kekerasan seksual terutama di lingkungan perguruan tinggi.

Andy menegaskan, tak ada cacat hukum terkait kehadiran Permendikbud PPKS. Proses kelahiran dan materinya telah sesuai perundang-undangan yang sudah ada. Permendikbud ini, ujarnya, tidak bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 

Komnas Perempuan juga meminta agar dalam memeriksa uji materi, MA melakukakannya secara terbuka dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam memberikan masukan baik secara langsung maupun tidak langsung. 

“Kami mendorong jaringan masyarakat sipil juga memberikan pandangan ke MA berdasarkan keterangan korban seksual untuk mendapatkan keadilan,” beber Andy dalam jumpa pers secara daring Selasa (22/3/2021). 

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menilai, tafsir ini menunjukkan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual juga keliru karena ditafsirkan terbalik (a contrario).

Komnas Perempuan juga meminta MA memperbarui mekanisme pemeriksaan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU menjadi terbuka, akuntabel dan mendengarkan kepentingan pihak-pihak yang terdampak langsung maupun tidak langsung dari keberlakuan peraturan perundang-undangan.

Saat itu Komnas Perempuan juga meminta jaringan akademisi dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi memberikan pendapat dalam uji materiil ini berdasarkan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihan dalam uji materiil ini dan juga cita-cita pendidikan nasional,” imbuhnya.

Baca: Sikap Aktivis HAM atas Permendikbud PPKS

Sementara aktivis hak asasi manusia (HAM) dari organisasi YLBHI, ICJR. MaPPI FHUI, LBH APIK Jakarta, dan SAFEnet yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan tanpa Kekerasan memandang permohonan uji materi ini sebagai langkah mundur terhadap upaya pencegahan dan pelindungan korban kekerasan seksual di lingkup perguruan Tinggi.

Judicial review ini juga dinilai menghambat upaya korban kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi dalam mendapatkan kepastian hukum, mendapat perlindungan serta mendapatkan hak untuk pemulihan. Kasus kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi menjadi salah satu poin perhatian kami.

“Selama ini, publik dihantui oleh tindakan kekerasan seksual yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja,” ujar Muhamad Daerobi dari LBH APIK dalam pernyataan persnya yang diterima Konde, Senin (11/4/2022).

Koalisi menilai Judicial Review ini tidak tepat, karena Permendikbud PPKS disusun dengan memperhatikan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, materi yang dimuat dalam Permendikbud 30/2021 adalah Mengenai Kekerasan Seksual, sedangkan Materi Permohonan adalah Soal Menjaga Kesusilaan, jadi ini merupakan 2 hal yang berbeda

Koalisi juga melihat, objek 1 materi muatan pasal yang dimohonkan pemohon yang menjadi dasar adalah frasa “tanpa persetujuan” dan frasa “yang tidak disetujui” di dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m Permendikbud 30/2021. (Permohonan Uji Materiil Pemohon, poin VI.13), tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian pemohon dengan dan objek permohonan pemohon. “Konsepsi persetujuan/konsen penting dalam dasar pengaturan tentang Kekerasan S

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!