Perempuan Pekerja Rumahan: Kami Bekerja Untuk Perusahaan Tapi Tak Diakui sebagai Pekerja

Pekerja rumahan bekerja berdasarkan target kerja, tapi tanpa kepastian kerja,  tanpa kontrak kerja dan jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja. Ini ironi bagi para pekerja rumahan dan pekerja informal di Indonesia yang sebagian besar adalah perempuan

“Saya dibayar Rp300 untuk satu pakaian yang saya batil (saya rapikan benang-benang pada pakaian yang sudah selesai dijahit).”  

“Saya bekerja  menjahit sarung tangan baseball dari kulit. Upah saya  Rp1000 – Rp. 3000/pasang. Setiap pasang sarung  membutuhkan waktu 1 jam.” 

“Saya dibayar Rp.1700 – Rp.6900/pasang sepatu boots dari kulit tergantung jenisnya.” 

Demikian pengakuan para perempuan pekerja rumahan yang tergabung dalam gabungan kelompok perempuan pekerja rumahan di Ungaran, Kabupaten  Semarang, Jawa Tengah.

Pekerja rumahan adalah pekerja yang memproduksi barang-barang yang dipesan pabrik-pabrik dengan tangan mereka. Mereka bekerja di rumah mereka, bekerja berdasarkan target tapi tanpa kepastian kerja, tanpa kontrak kerja dan jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja. Para pekerja rumahan ini menyediakan rumahnya untuk gudang sekaligus ruang kerja untuk barang-barang yang mereka produksi.

Upah pekerja rumahan selalu kecil, beragam sesuai dengan produk yang mereka buat. Kesamaannya, mereka diupah jauh lebih rendah dibanding buruh yang bekerja di pabrik. Padahal buruh pabrik pun masih banyak yang dibayar di bawah UMR, upah  mereka juga digerus kebijakan yang tak berpihak pada pekerja, seperti UU Cipta Kerja.  Jadi bisa dibayangkan berapa gaji pekerja rumahan.

Beberapa pekerjaan yang mereka lakukan misalnya: membuat sandal, membuat baju, sepatu yang dilakukan di rumah-rumah. Biasanya mereka digaji harian oleh pengusaha atau majikan mereka.

Para pekerja rumahan ini hampir semua adalah perempuan. Mereka bekerja setiap hari dengan datang ke rumah majikan/ pemberi kerja.

Penelitian yang dilakukan Lembaga Semerlak Cerlang Nusa (SCN) di tahun 2018 menunjukkan problem yang dialami pekerja rumahan yaitu adanya eksploitasi yang terjadi pada mereka, selain digaji rendah dengan jam kerja yang tinggi, mereka juga tidak mendapat perlindungan dan jaminan sosial.

Selain upah dan kondisi kerja yang tidak layak, mereka juga rentan menjadi korban kekerasan karena dipandang tidak bekerja atau dianggap bukan pekerja, melainkan hanya mengisi waktu luang atau kalaupun bekerja dianggap hanya untuk tambahan penghasilan. Padahal banyak diantara mereka adalah pencari nafkah utama, bahkan sebagai single parent atau orang tua tunggal.

Hingga sekarang pemerintah belum memberikan regulasi terhadap para pekerja rumahan ini. Dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 misalnya tidak disebutkan klausul tentang pekerja rumahan, sehingga tidak ada perlindungan untuk mereka. Nasibnya hingga hari ini sama dengan Pekerja Rumah Tangga (PRT), yaitu sebagai pekerja informal, belum ada pengakuan sebagai pekerja formal yang dilindungi negara

Trade Union Right Center (TURC), lembaga yang selama ini banyak melakukan advokasi terhadap pekerja rumahan, juga pernah melakukan penelitian yang sama pada beberapa daerah di Indonesia. Hasilnya penelitian menunjukkan bahwa para pekerja rumahan digaji sangat rendah, jauh dari upah layak.

Penelitian TURC ini dulu dilakukan di Jakarta dan Cirebon pada bulan Juni 2015- Januari 2016 lalu. Sejumlah perempuan bekerja sebagai pembuat sandal dengan jam kerja 8-10 jam perharinya. Mereka hanya digaji Rp. 12.500 perhari. Jadi dalam waktu sebulan rata-rata mereka hanya mendapatkan upah Rp. 375 ribu.

Sedangkan di Penjaringan, Jakarta Utara para perempuan pekerja rumahan membuat kaos dan sepatu merk-merk internasional, namun mereka hanya mendapat upah Rp. 15 ribu – Rp. 37.500 perharinya. Upah ini tak sebanding dengan harga sepatu merk internasional yang seharga Rp. 400 ribu.

Sedangkan penelitian TURC di desa Karangsari, Cirebon Jawa Barat menyebutkan, para perempuan pekerja rumahan bekerja untuk membuat kursi rotan ukuran kecil dan besar. Untuk ukuran kecil mereka dibayar Rp. 20 ribu per-satu kursi kecil dan untuk ukuran besar mereka diupah Rp. 70 ribu per-satu kursi rotan besar.

Ini merupakan bentuk eksploitasi yang terjadi pada pekerja rumahan, selain digaji rendah dengan jam kerja yang tinggi, mereka juga tidak ada perlindungan dan jaminan sosial.

Di Indonesia, munculnya pekerja rumahan dilatarbelakangi oleh meningkatnya arus globalisasi dan meningkatnya permintaan konsumen dari negara-negara maju. Hal inilah yang menyebabkan banyak investor asing mendirikan pabrik di Indonesia. Untuk menekan biaya pembayaran buruh-buruhnya, maka mereka kemudian memberikan modal untuk mendirikan usaha-usaha rumahan. Hal ini mereka lakukan agar bisa menekan biaya dibandingkan jika mereka harus menggaji para buruh yang kerja di pabrik mereka.

Pekerja rumahan tentu saja bukan konsultan pembangunan yang dapat bekerja dari rumah dan bisa mengatur ritme kerjanya.

Terbayang betapa rendah perusahaan menghargai keringat dan waktu pekerja rumahan? Sudah itu, mereka juga tidak mendapatkan tunjangan apa pun seperti tunjangan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja, tunjangan hari raya, bonus produksi dari perusahaan yang mempekerjakan mereka.

Kondisi Pekerja Rumahan di Solo dan Semarang

Para perempuan pekerja rumahan di Ungaran, Semarang dan Solo, Jawa Tengah juga selalu dibayangi ketidakpastian, antara bekerja terlalu banyak atau sama sekali tidak ada pekerjaan, karena target produksi ditentukan sepihak oleh perusahaan. Bila mengeluh, mereka diancam tidak akan lagi diberi orderan atau orderan akan dialihkan kepada pekerja lain. 

Di masa pandemi, mereka pernah tidak mendapatkan pekerjaan hingga berbulan-bulan. Sebaliknya di masa perusahaan mendapat banyak pesanan, mereka bisa bekerja lebih dari 8 jam sehari –lebih berat dari pengaturan sesama buruh yang bekerja di pabrik. Seringkali mereka harus melibatkan suami, anak-anak, bahkan tetangga untuk membantu mereka bekerja bersama agar target produksi dapat diselesaikan tepat waktu. 

Apakah mereka mendapat perhatian dari perusahaan saat mereka menganggur, ternyata tidak. Apakah mereka mendapat uang lembur yang layak saat bekerja lebih dari 8 jam? Tidak juga.

Perusahaan juga hanya memberi sebagian alat-alat kerja seperti jarum, benang dan tas untuk membawa produk dari rumah ke perusahaan, selebihnya ibu-ibu ini harus menyediakan alat kerja sendiri. Perusahaan membebankan alat produksi kepada para ibu ini?

Tak hanya alat kerja yang mereka siapkan. Mereka mengeluarkan biaya sendiri untuk mengambil bahan dan mengirim produk ke perusahaan. Atau bagi mereka yang mendapatkan order melalui perantara, upah mereka akan dipotong jasa perantara.

Ibu-ibu ini juga harus merelakan rumahnya untuk dijadikan tempat produksi. Kebanyakan ruang tamu dan teras mereka dimulti-fungsikan menjadi pabrik kecil. Perusahaan tidak pernah menghitung sewa rumah yang dijadikan tempat produksi, termasuk penerangan dan daya listrik yang digunakan selama proses produksi. 

Rumah-rumah itu bukan pabrik yang telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk tempat produksi. Di dalam rumah, bisa ada lansia, anak-anak dan balita. Tidak menjadi masalah bagi mereka yang alat kerjanya tidak membahayakan. Tapi akan berisiko misalnya bagi ibu-ibu yang menggunakan gunting, jarum yang besar dan tajam untuk pengerjaan sarung tangan baseball atau sepatu kulit. 

Mereka bekerja sambil mengawasi agar alat-alat kerja yang tajam tidak terjangkau balita, anak-anak atau terinjak lansia di rumah mereka. Juga bagaimana kandungan kimia dari bahan produk yang dikerjakan, apakah ramah lingkungan atau membahayakan rumah mereka. Apakah perusahaan membekali cara menerapkan kesehatan, keselamatan kerja ini? 

Lalu bagaimana dengan keselamatan para pekerja rumahan ini? Mereka tak pernah  mendapatkan pelatihan atau pembekalan dari perusahaan bagaimana mengerjakan orderan dengan memperhitungkan keselamatn kerja. Bahkan, keterampilan untuk mengerjakan produk saja tidak diberikan. Pokoknya mereka dituntut siap kerja dengan sendirinya dan siap menanggung kecelakaan kerja. Bila terjadi kecelakan kerja, para perempuan ini harus mengurus sendiri dan menanggung biaya untuk pemulihan. 

Ada sejumlah elemen yang tidak dilindungi oleh perusahaan terkait posisi mereka sebagai pekerja. Pertama, upah layak, upah lembur dan perlindungan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja. Juga tunjangan hari raya dan bonus produksi.

Kedua, tidak ada pembekalan untuk pengetahuan dan keterampilan mereka bekerja. Keterampilan ini bukan hanya untuk menghasilkan produk bermutu, yang utama juga untuk menghindari kecelakaan kerja. Termasuk mengamankan rumah mereka dari kecelakaan yang tidak saja dialami langsung oleh pekerja tapi balita, anak-anak, lansia dan binatang piaraan di dalam rumah, juga paparan kimia beracun dari bahan produksi ke lingkungan rumah pekerja. 

Ketiga, biaya listrik, tempat usaha di rumah pekerja juga tidak masuk dalam perhitungan perusahaan.

Menurut pegiat gabungan kelompok pekerja rumahanini, semua penyangkalan terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja bersumber dari tidak adanya kontrak kerja antara pekerja dan perusahaan yang berakar dari belum diakuinya mereka sebagai pekerja.

Pengakuan Pekerja Rumahan sebagai Pekerja

Dalam kondisi seperti ini tak ada pilihan lain, perempuan pekerja rumahan ini harus bersatu memperjuangkan berbagai perlindungan dan pengakuan mereka sebagai pekerja.

Mengorganisir diri menjadi fondasi ibu-ibu ini untuk berjuang. Walaupun ragam produk dan berbeda perusahaan yang mempekerjakan mereka, mereka dipersatukan oleh kebutuhan untuk menjadi pekerja yang layak. 

Para perempuan pekerja rumahan ini awalnya membentuk komunitas di tingkat desa, kemudian meningkat ke atas hingga gabungan kelompok di tingkat kabupaten. Di dalam kelompok ini, mereka didukung Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) –organisasi perempuan yang bekerja untuk menguatkan kelompok perempuan pekerja– untuk menumbuhkan perspektif buruh yang berdaya, pengetahuan dan keterampilan untuk kesetaraan pekerja dengan yang mempekerjakan. 

Salah satu yang dilakukan adalah pendidikan terkait perspektif feminis dan pekerja; hak-hak sebagai perempuan dan pekerja; keterampilan negosiasi, lobi  dan advokasi dengan pemberi kerja, pemerintah desa hingga pemerintah provinsi.

Peran serta ibu-ibu ini dibutuhkan di tingkat desa hingga provinsi guna memastikan  suara mereka didengar dan diintegrasikan dalam program pembangunan dan percepatan akses mereka pada tunjangan sosial dan kesehatan Seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, akses terhadap vaksin dan booster  penangkal Covid-19 dan bantuan sosial lainnya.

Berkat advokasi ini, saat pandemi sebagian perempuan pekerja rumahan mendapat bantuan sebesar Rp. 200.000/pekerja untuk bahan makanan dari dinas sosial dan bantuan sembako dari presiden melalui program keluarga harapan.  

Anggota kelompok juga mendapat pelatihan keterampilan dari Yasanti untuk menjahit, mengolah makanan untuk dijual dan pendidikan kewirausahaan. Negosiasi ibu-ibu dengan pemerintah provinsi juga membuahkan hasil. Sebagian anggota kelompok mendapat bantuan ijin usaha mikro dan modal usaha Rp. 2.400.000/orang. 

Kreatifitas melakukan usaha kecil sangat penting untuk menopang pendapatan mereka di tengah ketidakpastian kerja sebagai pekerja rumahan.  Lobi mereka dengan pihak BPJS, menghasilkan subsidi 3 bulan  premi dari pihak BPJS kepada anggota kelompok. Ini langkah awal, sebelum perusahaan membayarkan BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan untuk mereka.

Negosiasi dengan pihak perusahaan membuahkan hasil. Sebagian perusahaan mulai memberikan biaya kesehatan untuk kecelakaan kerja, walaupun  masih sistem reimburse. Setelah berorganisasi, para perempuan pekerja rumahan mampu bernegosiasi untuk mendapatkan bayaran tepat waktu. Mereka juga dibayar penuh untuk memperbaiki produk yang tidak memenuhi mutu. Sebelumnya mereka sering tidak dibayar untuk kerja perbaikan produk.

Perjuangan mendasar mereka untuk diakui sebagai pekerja masih diperjuangkan di tingkat provinsi. Berjaringan dengan kelompok pekerja rumahan di Kota Semarang, Kota Solo, dan didukung Yasanti, LBH Semarang dan PBHI, ibu-ibu yang tergabung dalam gabungan Serikat Perempuan Pekerja Rumahan Ungaran ini terus melobi pemprov Jawa Tengah untuk segera menerbitkan peraturan gubernur yang mengakui pekerja rumahan sebagai pekerja dan melindungi mereka. 

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular