Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS, Pemerintah Janji Perjuangkan Masuk RKUHP

Perkosaan dan pemaksaan aborsi dua bentuk penting kekerasan seksual justru tak masuk dalam RUU TPKS. Oleh sebab itu pemerintah berjanji akan memperjuangkan pengaturan kedua bentuk kekerasan seksual tersebut diatur dalam RKUHP demi melindungi para korban.

Pembahasan Tingkat I Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) atau pembahasan di Panja telah rampung. Selanjutnya pembahasan RUU TPKS akan dilanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II atau Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-undang. Namun, ada satu hal menjadi sorotan yaitu tidak masuknya pasal perkosaan dan aborsi dalam RUU TPKS.

Menyoal hal itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga memastikan bahwa pihaknya akan memperjuangkan pasal tentang perkosaan dan pemaksaan aborsi agar masuk dalam pengaturan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Sebab menurutnya, dua aspek itu penting sebagai bentuk kekerasan seksual yang patut diperhatikan. 

“Kami menyadari pentingnya pengaturan perkosaan dan pemaksaan aborsi sebagai bentuk kekerasan seksual, oleh sebab itu pemerintah akan memperjuangkan pengaturan kedua bentuk KS tersebut diatur dalam RKUHP,” ungkap Bintang di sela acara ‘Media Talk’ yang mengangkat tema “Tok! RUU TPKS Sepakat Diteruskan ke Sidang Paripurna DPR RI” pada Jumat (8/4/2022).

Menteri Bintang menuturkan perjalanan proses penyusunan RUU TPKS ini memang mengalami pasang surut. Proses pembahasan RUU TPKS yang semula dinamakan RUU PKS telah berlangsung selama 6 tahun, dan memberikan pelajaran penting mengenai krusial dan berharganya dialog. 

Tantangan serta hambatan yang ditemui di tahun-tahun sebelumnya, dirinya menganggap sebagai pemecut dalam merampungkan RUU TPKS. Di antaranya perlu terus melakukan upaya memperkuat kerja sama dengan kementerian lain yang menjadi anggota tim pemerintah, belajar memahami pengalaman para pendamping korban, organisasi keagamaan, mahasiswa dan kaum muda serta organisasi pekerja, hingga memahami pandangan pihak-pihak yang menyatakan kontra terhadap RUU tersebut.

“DIM RUU TPKS dibahas dengan hati-hati, sehingga terjadi perpaduan pandangan. Silang pendapat berubah menjadi tukar pikiran, yang semakin kental dengan nuansa musyawarah mencapai mufakat. Prioritas utama Undang-Undang ini adalah kehadiran Negara untuk melindungi korban. Inilah yang menjahit berbagai kepentingan dan semangat berjuang baik Pemerintah, Masyarakat Sipil, dan DPR, memperjuangkan Undang-Undang ini. Kami akan terus membawa semangat itu,” jelasnya.

Disampaikan Menteri Bintang terdapat 12 BAB dan 81 Pasal dari daftar isian masalah (DIM) RUU TPKS yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah. Dalam Pembicaraan Tingkat I, telah disetujui RUU TPKS terdiri dari 12 BAB, 93 Pasal.

Dalam RUU TPKS memuat pengaturan umum mengenai pengertian TPKS, Korporasi, Korban, Anak, Saksi, Keluarga, Penyandang Disabilitas, Pelayanan Terpadu, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Pendamping, Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, Pemulihan, Rehabilitasi, Restitusi, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Menteri.

“Undang-Undang TPKS ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual,” ujarnya.

Bintang menggambarkan secara umum dalam RUU TPKS terdapat pengaturan 9 (sembilan) jenis TPKS yakni pelecehan seksual non fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik serta TPKS lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pasal bridging dengan KUHP dan Undang-Undang lainnya. 

Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. RUU TPKS juga melakukan pembaruan hukum acara sebelum, selama dan setelah proses hukum.

“Terobosan di dalam RUU ini juga terlihat pada pengaturan pelayanan terpadu terhadap korban yang dilakukan secara komprehensif oleh Pemerintah, penegak hukum dan layanan berbasis masyarakat. Pengaturan ini salah satunya diharapkan memberikan implikasi positif terhadap percepatan penanganan dan menghapuskan reviktimisasi pada korban,” tambah Menteri Bintang.

Dalam RUU TPKS, Negara hadir memenuhi hak korban atas dana pemulihan termasuk layanan kesehatan saat korban mendapat perawatan medis, dana penanganan korban sebelum, selama dan setelah proses hukum, termasuk pembayaran kompensasi untuk mencukupi sejumlah restitusi ketika harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup. 

Tidak hanya itu, RUU TPKS juga menjamin pemberian upaya pencegahan dan penanganan di wilayah-wilayah 3T (terdepan, terpencil dan tertinggal), daerah konflik, daerah bencana dan di semua tempat yang berpotensi terjadinya TPKS. Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS, serta partisipasi keluarga dalam Pencegahan TPKS juga diatur dalam RUU TPKS.

“RUU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran Negara untuk melindungi warga negara dari kekerasan seksual. Ini adalah penantian korban, penantian kita semua. Jadi kepentingan korbanlah yang akan kami pastikan terdepan dalam pelaksanaan Undang-Undang ini. Untuk itu kami membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak,” pungkasnya.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!